29.1 C
Jakarta

Mewaspadai Gerakan Ekstremisme di Tengah Kemunduran Demokrasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMewaspadai Gerakan Ekstremisme di Tengah Kemunduran Demokrasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024, sejumlah kontestan baik itu peserta (mencakup pelaku politik/partai politik) maupun penyelenggara telah mempersiapkan sejauh mungkin, agar proses hajatan pemilu 2024 dapat berjalan dengan baik.

Namun, Sebagian masyarakat berbalik arah, seolah penyambutan baik menjadi sirna atau mengambang, sejak adanya dugaan penyelundupan hukum dalam konstitusi yang menguntungkan salah satu pihak, sejak mendekati pendaftaran pasangan Capres-Cawapres 19-25 Oktober 2023.

Hal tersebut berangkat dari dikabulkanya sebagian delik gugatan batas pendaftaran Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada pasal 169 huruf q UU Np.7/2017 tentang Pemilu, oleh Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Ilmu Hukum dikampus swasta Kota Surakarta, melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, dipimpin oleh Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Anwar Usman (16/10/2023).

Dalam putusan tersebut, terdapat penambahan klausul norma pasal 169 huruf q, “pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah”. Tentu putusan tersebut terindikasi conflict of interest (konflik kepentingan), skenario yang memuluskan langkah anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan sebagai Cawapres, berpasangan dengan Prabowo Subianto, sebagai Capres. Pasalnya, sebagian gugatan yang dikabulkan terdapat kesamaan variabel yang menguntungkan Gibran.

Misalnya, gugatan dalam putusan tersebut, memuat penilaian Tsaqibbirru atas prestasi Gibran yang sedang menjabat sebagai Walikota Surakarta. Misalnya, pertumbuhan ekonomi di kota Solo tersebut, pertahun 2022 mencapai 6,25%. Pada tahun 2016, mencapai 5,36% dan tahun 2020, anjlok mencapai -1,76%.

Namun di sisi lain, Hakim Usman tersendiri merupakan adik ipar dari Presiden Jokowi (paman iparnya Gibran). Tentu sejak menjabat sebagai Walikota Surakarta, tak lepas dari peranan penting dari ayahnya, Jokowi yang menjabat sebagai Presiden diwaktu yang bersamaan.

Ditambah dengan indikasi dugaan penggunaan instrumen negara (misalnya aparat keamanan untuk pemasangan Alat Peraga Kampanye atau Bantuan Sosial) atas nama Presiden Republik Indonesia (yang meng-endorse Prabowo Subianto, dalam Blusukan ke masyarakat), yang berpotensi membantu dalam Marketing of Politics salah satu kontestan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden. Menjadikan publik (dalam hal ini warga sipil yang mempunyai hak pilih) merasakan keraguan atas dugaan ketidaknetralan pelaksanaan pemilu 2024.

Meskipun demikian, bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), melalui Ketua Jimly Asshiddiqie, memutuskan bahwa Hakim Usman yang memimpin sidang putusan, terbukti melanggar kode etik persidangan, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan (MKRI.go.id), sehingga Usman diberhentikan sebagai Ketua Hakim MK.

Sejumlah tokoh politik, pengamat hingga elemen masyarakat menunjukkan kegelisahan atas kemunduran  demokrasi. Misalnya, Capres Anies Baswedan, dalam dialog terbuka Muhammadiyah di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Rabu (22/11/2023), kemunduran Indonesia dalam kenegaraan dan berdemokrasi, yang mana indeks demokrasi tahun 2015 menunjukkan angka 7,03, turun pada tahun 2022 dengan angka 6,71.

Kemudian Ganjar Pranowo, dalam pidato pengundian nomor urut Pilpres, Selasa (14/11/2023) menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia saat ini sedang tidak baik baik saja. Bahkan, ia mengatakan dalam kuliah umum di Universitas Parahyangan, Bandung, Rabu (11/10/2023) menyoroti bahwa sejumlah 35,9% anak muda tidak puas dengan mekanisme pelaksaaan demokrasi saat ini.

Mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Revolusioner Jawa Barat, melakukan aksi protes atas drama persidangan MK soal batasan umur pendaftaran Capres-Cawapres merupakan pengkhianatan demokrasi (Sindonews: 2023).

Sejalan dengan sikap dari tokoh sebelumnya, menurut pengamat hukum Uninversitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona menilai putusan MK merupakan kemerosotan independensi hakim konstitusi dalam negara demokrasi. Tentunya, demokrasi memberikan ruang bagi semua warga negara untuk berpartisipasi, terutama pemuda menjadi kunci dalam membangun masa depan politik di Indonesia.

Gerakan Ekstremisme: Ekspresi Lemahnya Demokrasi

BACA JUGA  Metamorfoshow: Titik Tolak Kontra-Propaganda Khilafah

Meminjam pemikiran lulusan PhD International Relationship, University of Wollongong, Adriana Elisabeth, (19/2/2018), dalam diskusi bertajuk ‘Kekuatan Nasionalisme dalam Kepungan Kelompok Radikal’, ia berpendapat bahwa defisitnya demokrasi di Indonesia, ketika menguatnya Politik Identitas yang terlembaga dalam mekanisme pelaksanaan Pilkada 2017 di Jakarta. Hal ini maraknya, identitas keagamaan, seperti Islam dijadikan sebagai senjata untuk menghantam lawan politiknya.

Seyogyanya, bahwa menempatkan identitas dalam konstalasi politik, tentu jatuhnya adalah pertarungan fanatisme buta, bukan dengan menawarkan gagasan maupun konsepsi dalam penyusunan roadmap berupa program yang akan dijalankan, ketika memenangkan pertarungan Pemilu.

Begitupun menjelang Pilpres 2024, pemilih dibiaskan politik gagasan dengan isu politik identitas non-produktif, misalnya diksi ‘gemoy’, yang jadi guyonan publik, merujuk pada salah satu kontestan, yakni Prabowo Subianto.

Tentunya, elit politik, terutama timses Prabowo Subianto, harus menggiring publik yang terjebak pada politik identitas (dalam hal ini penyebutan ‘gemoy’) kearah politik gagasan. Tentunya bagaimana masyarakat dapat teredukasi dengan baik. Begitupun jauh sebelumnya, Prabowo Subianto pada saat itu menjadi tim suksesnya Anies Baswedan pada Pilkada 2017, terlihat abai terhadap menguatnya Politik Identitas Keagamaan, yang menguntungkan salah satu kontestan, yakni Anies Baswedan.

Begitupun kemudian pada 2019, meletusnya gerakan Islamis (dalam hal ini kelompok FPI mendukung Capres Prabowo Subianto) melakukan protes atas putusan dari KPU, berdasarkan hasil Pilpres 2019 yang memenangkan Pasangan Jokowi-Ma’ruf).

Sehingga demikian, benih Politik Identitas Keagamaan, menurut Boni Hargens, kelompok inilah yang disebut sebagai radikal, dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingannya. Meskipun tidak hanya sekadar muncul ditahun politik, melainkan bakal berkembang. Ditambah dengan kemunduran demokrasi pasca Putusan MK, menambah bebal masalah dalam bernegara era Rezim Joko Widodo.

Yang dikhawatirkan adalah ketidakadilan dalam berbangsa, menciptakan gerakan protes yang dilakukan oleh kelompok ekstremisme keagamaan, atas rezim yang bergeser ke otoritarianisme.

Ditambah dengan masuknya Prabowo Subianto masuk ke dalam kabinet Presiden Jokowi, yang pada saat itu merupakan lawan politiknya, menambah kekecewaan kelompok islamis, yang pada saat itu loyal terhadap Prabowo  Subianto.

Lain juga adanya gerakan separatisme di Papua yang hingga sampai saat ini masih belum terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pentingnya keterlibatan dari aparat keamanan, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) ataupun dari Presiden Jokowi tersendiri.

Tak lain juga adanya kemunduran demokrasi, yang motif umunya gerakan separatisme, salah satunya yakni ketidakpercayaan terhadap pemerintah Indonesia rezim Jokowi, terutama mengenai situasi dan perasaan yang tidak adil, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat Papua, seiring dengan potensi Sumber Daya Alam dikawasan tersebut melimpah.

Bibit ekstremisme akibat kemunduran demokrasi era Jokowi melalui pembungkaman ekspresi. Berdasarkan data LBH Papua, terdapat penangkapan sejumlah 76 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditangkap oleh aparat kepolisian di Jayapura dan dibawa ke Polsek Abepura (15 orang), Polsek Heram (45 orang), dan Polres Jayapura (16 orang).

Kasus tersebut bermula saat aktivis tersebut mengajak melalui selebaran kertas untuk hadir dalam mimbar bebas dengan menuntut pembebasan Victor Yeimo, juru bicara KNPB, yang saat ini ditahan di Pengadilan Negeri Jayapura dalam perkara dugaan makar.

Padahal, sudah jelas dalam instrumen hukum tentang HAM, dijamin Hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai sudah dijamin dan dilindungi. hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.

Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD 1945, serta pada Pasal 14 dan 25 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Saat ini mengenyam pendidikan di Magister Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelumnya mengenyam Sarjana di Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Kesehariannya saat ini menulis kolom atau opini seputar atau isu aktual, serta mengkaji dalam perspektif akademik secara konstruktif.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru