31.2 C
Jakarta

Merebut Tunangan, Bolehkah?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamMerebut Tunangan, Bolehkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari yang lalu teman saya melamar seorang gadis dikampung, namun saat menemui orang tuanya dan menyampaikan maksud kedatangannya tiba-tiba orang tua si gadis mengatakan “maaf nak, putri saya sudah ada yang melamar”. dengan penuh kekecewaan diapun pulang dengan sederet pertanyaan yang terbersit di benaknya, hak siapakah menentukan dan menerima tunangan? Anak atau ayah? Melamar tunangan orang lain, bolehkan (all Khitbah ‘ala al-Khitbah)? Kalau tidak boleh, sejauh mana? Dan bagaimana status nikah dari hasil merebut tunangan orang? Sahkah pernikahan itu? Dari sekian banyak pertanyaan, mari kita simak bagaimana komentar Fikih.

Tunangan kurang lebih (dalam istilah arab) disebut Khitbah. Yang artinya permohonan persetujuan dari seorang laki-laki (khatib) untuk menikahi seorang perempuan (makhtabah) [Fathu aI-Wahab, ||, 33]. Sementara hak untuk menerima pertunangan tersebut sejatinya ada pada si perempuan. Tidak pilih kasih janda ataupun gadis. Karena dialah yang hendak kawin dan akan merasakan manis pahitnya kehidupan berumah tangga. Namun karena ada alasan tertentu, seorang ayah diperbolehkan untuk campur tangan.

as-Syafi’i -misalnya ketika membahas tentang hak wali, berpendapat bahwa wali mujbir (ayah dan kakek dari ayah) sah-sah saja memaksa anaknya yang masih gadis dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa seorang ayah tidak Iagi diragukan kasih sayangnya. Sebuas apapun singa, tidak akan memangsa anaknya sendiri.

Konsekuensi dari pendapat al-Syafi‘i tersebut, seorang ayah atau kakek (wali mujbir) dibenarkan memaksa anak gadisnya ditunangkan dengan orang yang ia kehendaki. Lain halnya dengan perempuan yang sudah janda. Wali sama sekali tidak mempunyai hak paksa. Yang demikian karena memandang bahwa janda sudah pernah menelanjangi samudera rumah tangga, meski akhirnya biduk retak di tengah perjalanan. Pendapat ini berdasarkan hadits:

Orang yang sudah janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada Walinya, Sementara gadis harus didengarkan persetujuannya, izinnya adalah diamnya. [Syarh Muslim 174:IX no:412l]

Menurut sebagian ulama, karena hadits ini teksnya berbunyi “Janda lebih berhak atas dirinya”, maka yang bukan janda (gadis) tidak berhak atas dirinya untuk memilih.

Lalu bagaimana dengan mazhab lain? Sampai detik ini hak paksa (ijbar) terhadap orang dewasa sama sekali tidak ditemukan dalam mazhab lain. Memang untuk sahnya akad nikah, para Imam-seperti Malik, Ahmad bin Hanbal-menetapkan wali sebagai syarat sahnya nikah. Namun demikian, wali tidak boleh memaksa untuk anak gadis yang sudah dewasa. [Bidayah aI-Mujtahid, 12-13:||]. Bertolak dari pendapat ini, tunangan paksa tentunya tidak diperkenankan. Oleh sebab itu, seharusnya tidak terjadi. Apalagi terhadap anak gadis yang sudah mencapai taraf kematangan/ maturitas. Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa pada suatu waktu ada seorang gadis mengadukan masalahnya pada Nabi tentang perilaku ayahnya yang memaksa untuk kawin dengan seorang laki-laki yang tidak ia sukai (karihah). Setelah disampaikan kepada Rasulullah, beliau memutuskan untuk mengembalikan urusan perkawinan tersebut kepada anak gadis itu. Memang akhirnya ia menerima pilihan orang tuanya. Tetapi ia mengatakan:

Akan tetapi yang paling saya pentingkan (dalam pengaduan ini) adalah agar supaya perempuan itu tahu bahwa dalam masalah pernikahan, orang tua tidak punya andil (hak paksa. [Ibnu Majah, 588:|]

Tentu sudah jelas, perempuan dalam riwayat hadits tersebut seakan menyerukan supaya para perempuan tahu bahwa Nabi menyerahkan masalah pernikahannya pada dirinya sendiri, dan hadits itu menjadi pegangan bagi para orang tua agar apabila menentukan calon suami bagi anak gadisnya didasarkan pada kemaslahatan sang anak. Bukan atas dasar keinginan orang tua semata. Sehingga tidak akan terjadi lagi -setelah masa Rasulullah anak perempuan mengalami hal seperti yang dialami gadis dalam hadits itu : dinikahkan dengan orang yang tidak disukainya.

Kemudian bagaimana dengan melamar tunangan orang lain? Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa pertunangan merupakan permohonan kawin terhadap pihak bersangkutan. Sudah barang tentu tunagan merupakan janji yang tidak mengikat (Muinm), karena khitbah (ikatan tali pertunangan) merupakan awal (mukaddimah) untuk menuju ke pelaminan, bukan perkawinan itu sendiri. Ibarat jual peli masih dalam proses tawar menawar. [al-Manahij al-Ushuliyah, 211} Nabi bersabda:

BACA JUGA  Hukum Mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi

Janganlah seorang lelaki melamar tunangan saudaranya kecuali dia mengijinkan. [H.R. Muslim, 1412]

Tujuan dari hadits ini adalah mencegah adanya permusuhan antara sesama manusia, saling dengki, cemburu terhadap orang lain. Berangkat dari larangan ini, para ulama berpendapat bahwa melamar tunangan orang lain adalah haram. Namun seperti kita duga, tak setiap sesuatu adalah mutlak. Hukum haram yang ditetapkan para ulama masih terkait dengan beberapa catatan dan untuk beberapa catatan itu pula, ada banyak pendapat yang mesti diketengahkan di sini. Pertama, sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa yang masuk dalam ruang lingkup larangan, manakala pinangan yang pertama secara tegas diterima oleh wali mujbir (bapak atu kakek), tentu saja bagi perempuan yang punya wali muj’bir. Sedangkan bagi gadis yang tidak punya wali mujbir, maka persetujuannya merupakan suatu keharusan, orang lain tidak punya hak [Fath aI-Wahhab, llz33; Mughni al-Muhtaj, ll|:136]. Kedua, Syafi’iyah dan segolongan Hanabilah berpendapat bahwa yang haram manakala disetujui oleh si gadis baik ia menerima Iangsung proses pertunangan itu atau melalui orang lain [al-Majma’, 261:XVI]. Ketiga, Abu al-Qasim mengatakan bahwa yang haram apabila merebut tunangan orang saleh [Bidayat al-Mujtahid]

Tiga pendapat tersebut adalah satu hal yang aksentuasinya lebih pada kemaslahatan sang gadis itu sendiri. Untuk itu, apabila si gadis Jelas-jelas tidak menghendaki pertunangannya, maka boleh bagi orang lain meminangnya dan ia tidak menolaknya. Bahkan meski si gadis jelaslelas menolak atau menerima pertunangan itu, dalam satu kesempatan Imam Syafi’i mengatakan, “Sah-sah saja orang lain meminangnya. Hal itu karena-meski si gadis diam ketika dimintai persetujuannya diamnya bukan berarti ia senang dengan pertunangan itu” [Tafsir Fakhru ala kazi,141:VI]

Lalu bagaimana perihal pernikahannya-bila terjadi-yang bermula dari Pertunangan semacam itu (al-khitbah ‘ala aI-khitbah)? Bertolak dari hadits riwayat Muslim di atas, sebagian besar ulama mengatakan bahwa orang yang melakukan tindakan demikian adalah berdosa, tetapi sah nikahnya, karena khitbah bukanlah syarat sahnya nikah. “Ini adalah pendapat kita, pendapat Jumhur (sebagian besar) ulama’, kata al-Nawawi. Namun, menurut Daud-yang tergolong seorang literalis mengatakan bahwa nikahnya adalah fasakh/rusak. [Syarh Shahih Muslim, 168:|X; al-Maij’, 261:XVI]

Meski ada orang kedua meminang seorang gadis, dan menanamkan luka pada orang yang pertama, namun demi menyelamatkan bahtera rumah tangga dari ketegangan-ketegangan yang mungkin terjadi saat hidup bersama, maka pinangan orang kedua itu diperbolehkan secara syar’i. Tentu tidak lepas dari catatan yang telah tertera di atas. Karena pernikahan adalah mempertaruhkan kehormatan dan masa depan masing-masing pasangan dan juga keturunannya. Untuk itu, Allah menggarisbawahi bahwa pernikahan merupakan perjanjian yang berat serta mendalam Mitsa’qan Ghalidza. Dengan demikian praktik tersebut adalah sebagai langkah alternatif untuk menyelamatkan perkawinan dari berbagai kemudaratan yang terkadang sulit untuk dihindari.

Namun demikian, agar praktik pertunangan tidak meninggalkan luka terhadap semua pihak, seharusnya perihal pertunangan diserahkan sepenuhnya terhadap anak perempuan sebagai yang akan menjalani langkah selanjutnya; berumah tangga dengan pria idamannya. Dan orang tua tidak punya hak untuk menentukan pilihan bagi anak tersayang. Bukan karena sang anak lebih tahu tentang masa depannya. Akan tetapi karena ia yang akan menjalani, yang akan merasakan manis pahitnya berumah tangga, tentu orang tua hanya bertugas mendoakan dan mendukung penuh terhadap pilihan sang anak Dalam hal ini prinsip musyawarah sangat relevan untuk dijadikan pedoman. Bukankah Allah menganjurkan kita untuk itu? Wa syawirhum fi al-Amri.

sumber: Fiqih Progresif

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru