28.8 C
Jakarta

Menyikapi Radikalisme dan Narasi Keislaman yang Dipolitisasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenyikapi Radikalisme dan Narasi Keislaman yang Dipolitisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Inti dari era teknologi adalah bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam perjalanan menuju masyarakat yang semakin terkoneksi secara digital, teknologi telah menjadi alat utama dalam menyebarkan narasi keislaman yang dipolitisasi dan propaganda radikalisme.

Fenomena ini telah menghasilkan dampak yang signifikan tidak hanya dalam ranah keamanan, tetapi juga dalam konteks sosial dan politik. Dengan penyebaran yang cepat dan luas, berbagai informasi dapat dikonsumsi publik dengan instan.

Narasi keislaman yang dipolitisasi muncul ketika agenda politik tertentu mencoba untuk mengkooptasi dan memanfaatkan aspek-aspek agama Islam untuk kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh, kelompok-kelompok ekstremis seringkali memanipulasi ayat-ayat suci Al-Qur’an atau hadis untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka yang ekstrem.

Dalam konteks ini, perlu dicermati bahwa propaganda radikalisme di media sosial tidak hanya merupakan ancaman terhadap keamanan nasional, tetapi juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Masyarakat yang terpapar dengan narasi keislaman yang dipolitisasi cenderung mengalami polarisasi dan terpecah belah, yang pada gilirannya dapat mengancam stabilitas sosial.

Selain itu, dalam menyikapi narasi keislaman yang dipolitisasi dan propaganda radikalisme di media sosial, penting untuk menekankan bahwa solusi yang efektif tidak dapat hanya bersifat teknis atau keamanan semata. Langkah-langkah kontra-radikalisme yang efektif harus mencakup pendekatan holistik yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, lembaga agama, dan platform media sosial untuk tidak hanya memerangi propaganda radikalisme, tetapi juga mengatasi akar penyebab yang mendorong penyebarannya.

Narasi yang Dipolitisasi

Penting untuk diakui bahwa narasi keislaman yang dipolitisasi tidaklah monolitik. Dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural, narasi tersebut dapat muncul dari berbagai sudut pandang politik dan agama yang berbeda.

Narasi keislaman yang dipolitisasi merupakan fenomena yang kompleks dan multi-dimensional.  Meskipun seringkali dianggap sebagai fenomena yang terjadi secara unilateral oleh kelompok-kelompok ekstremis, narasi tersebut juga dapat muncul dari berbagai pihak yang memiliki agenda politik tertentu.

Misalnya, dalam konteks geopolitik global, negara-negara atau aktor-aktor politik tertentu mungkin menggunakan narasi keislaman yang dipolitisasi untuk memperkuat posisi mereka di panggung internasional atau untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa narasi tersebut tidak hanya merupakan fenomena lokal, tetapi juga terkait dengan dinamika geopolitik yang lebih luas.

Faktor-faktor seperti ketidakpuasan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan konflik politik sering kali menjadi landasan bagi penyebaran narasi tersebut. Penggunaan narasi keislaman yang dipolitisasi dapat menjadi sarana bagi kelompok-kelompok politik untuk menggalang dukungan atau memperkuat legitimasi mereka di mata masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa narasi keislaman yang dipolitisasi tidak hanya merupakan masalah teologis, tetapi juga terkait erat dengan dinamika politik dan sosial yang lebih luas. Misalnya, konflik politik atau intervensi asing dapat memperkuat polarisasi politik dan sosial, yang pada gilirannya memperkuat narasi keislaman yang dipolitisasi.

Namun, analisis kritis juga harus mengakui bahwa penanganan narasi keislaman yang dipolitisasi tidak selalu berhasil jika dilakukan secara represif atau otoriter. Pendekatan yang terlalu keras terhadap narasi tersebut dapat memperkuat persepsi bahwa pemerintah atau otoritas politik adalah musuh agama, yang nantinya dapat memperkuat solidaritas di antara kelompok-kelompok ekstremis.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Titik Tolak Kontra-Propaganda Khilafah

Propaganda Radikalisme di Medsos

Ini telah menjadi salah satu tantangan utama dalam memerangi ekstremisme dan terorisme di era digital. Platform-platform media sosial memberikan ruang yang luas bagi kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan pesan mereka secara cepat dan efektif kepada audiens yang luas.

Penggunaan algoritma-algoritma yang memperkuat filter bubble dan echo chamber semakin memperparah masalah ini dengan mempersempit perspektif-perspektif yang diperoleh pengguna, meningkatkan kemungkinan mereka terpapar dengan propaganda radikal.

Propaganda radikalisme di media sosial sering kali mengandalkan teknik-teknik psikologis yang canggih untuk mempengaruhi dan memanipulasi audiens. Misalnya, mereka memanfaatkan rekayasa sosial untuk memperkuat identitas kelompok dan meningkatkan solidaritas antara anggota-anggota potensial dengan kelompok tersebut.

Dengan mengidentifikasi dan memanfaatkan kebutuhan psikologis dan emosional individu, propaganda radikalisme dapat menjadi sangat memikat dan meyakinkan, bahkan bagi mereka yang awalnya tidak memiliki kecenderungan untuk meradikalisasi diri.

Namun demikian, propaganda radikalisme di media sosial tidak hanya mempengaruhi individu secara langsung, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas terhadap dinamika sosial dan politik. Penyebaran propaganda radikalisme dapat menyebabkan polarisasi masyarakat, memperkuat konflik antaragama dan antarkelompok, serta mengancam stabilitas sosial.

Lebih lanjut, propaganda tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan sikap intoleransi dan kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu, yang pada gilirannya dapat mengarah pada tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Ambil Sikap

Propaganda radikalisme di era media sosial telah menjadi salah satu ancaman utama dalam upaya memerangi ekstremisme dan terorisme. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil.

Pertama, penegakan hukum dan pengawasan. Pemerintah perlu meningkatkan upaya penegakan hukum untuk mengidentifikasi, menghentikan, dan menuntaskan konten radikal yang melanggar hukum di media sosial. Hal ini melibatkan kerja sama yang erat antara lembaga penegak hukum, platform media sosial, dan badan intelijen untuk mengawasi aktivitas yang mencurigakan dan menindak tegas pelanggaran hukum.

Kedua, pendidikan dan kesadaran publik. Inilah kunci melawan propaganda radikalisme. Program-program pendidikan yang menyasar pada pemahaman agama yang moderat, kritis, dan inklusif perlu ditingkatkan untuk mempersenjatai masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan menolak propaganda radikalisme.

Ketiga, pembangunan narasi alternatif. Selain menanggapi secara langsung konten radikal, penting juga untuk membangun narasi alternatif yang menarik dan memperkuat nilai-nilai moderat, perdamaian, dan toleransi. Ulama, cendekiawan agama, dan tokoh masyarakat perlu berperan aktif dalam menyajikan narasi-narasi yang membumi dan menentang radikalisme.

Keempat, pengembangan konten positif. Platform media sosial perlu mengambil peran yang lebih aktif dalam mengurangi penyebaran konten radikal dan mempromosikan konten yang positif, edukatif, dan inspiratif. Ini melibatkan pengembangan algoritma-algoritma yang dapat memprioritaskan konten-konten yang bermanfaat bagi masyarakat dan mengurangi visibilitas konten-konten radikal.

Yuni Setiowati
Yuni Setiowati
Perempuan pejuang strata dua. Tertarik dengan kajian-kajian mengenai gender, feminisme, keperempuanan, dan sejarah

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru