30 C
Jakarta

Menyemarakkan Literasi Digital  untuk Melawan Paham Radikal di Media Sosial

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenyemarakkan Literasi Digital  untuk Melawan Paham Radikal di Media Sosial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comSadar atau tidak sadar, Revolusi Industri telah memberikan dampak dan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pola interaksi sosial yang terbangun dalam masyarakat kita. Salah satu dampak paling nyata yang kita rasakan adalah kita dihadapkan dengan gempuran arus informasi di tengah perkembangan teknologi yang tumbuh dengan sangat pesat khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Literasi digital untuk menangkal paham radikal pun menjadi urgen.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadikan setiap informasi di belahan dunia mana pun dengan cepat sampai kepada kita. Namun, sayangnya masih banyak yang belum bijak dan cerdas menyikapi fenomena ini, karena tidak semua informasi yang sampai kepada mereka adalah sebuah kebenaran.

Tak jarang berisi hoaks, ujaran kebencian, rasis dan yang paling bahaya adalah konten-konten yang berisi ideologi-ideologi tertentu yang bertentangan dengan Pancasila seperti radikalisme yang belakangan mulai merongrong kesatuan dan persatuan bangsa yang kita cintai ini.

Media Sosial dan Generasi Milenial

Kalangan yang paling merasakan dampak kemajuan teknologi informasi ini adalah generasi muda, atau yang umum kita kenal dengan generasi milenial. Apalagi di tengah kehadiran berbagai macam fitur media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp dan lainnya.

Saat ini, mayoritas atau rata-rata pengguna media sosial didominasi generasi muda. Tujuannya bermacam-macam, ada yang hanya sekadar mencari informasi, mencari teman baru, ngobrol dengan teman, dan bahkan dijadikan sebagai tempat mencari pacar.

Generasi muda dalam konteks penggunaan media sosial, mereka bersifat lebih terbuka terhadap informasi apa saja yang datang kepada mereka. Apalagi rata-rata umur mereka sekitar 12 sampai 15 tahun. Dalam kajian ilmu psikologi, kondisi jiwa dalam rentan umur sekian dicirikan sebagai individu dalam masa pertumbuhan dan proses pencarian jati diri sehingga mereka memiliki rasa keingintahuan yang lebih besar dibanding dengan orang yang lebih dewasa.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi media sosial telah banyak memberikan dampak positif bagi penggunanya, manfaat media sosial yang paling mendasar adalah sebagai saluran komunikasi jarak jauh. Namun dampak negatifnya jauh lebih besar, diantaranya adalah dijadikan sebagai alat penyebaran paham radikal, dan aksi terorisme.

Dengan persentase pengguna paling tinggi adalah generasi muda, menjadikan mereka sebagai kelompok yang paling rentan terhadap penyebaran paham-paham radikal dan semacamnya di media sosial. Apalagi karakteristik media sosial, kalau kita cermati secara jeli memang diciptakan mengikuti karakteristik generasi milenial.

Belakangan, media sosial dengan kecanggihan fitur-fitur yang ditawarkan mulai digunakan oleh kelompok-kelompok yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita. Salah satu yang bisa kita jadikan contoh adalah gerakan radikal seperti yang dilakukan kelompok Negara Islam Irak Suriah (ISIS).

Kelompok radikal ini disinyalir oleh beberapa sumber bahwa gerakan radikal ini banyak dikembangkan melalui internet dan media sosial, sehingga memiliki jangkauan dan pengaruhnya berkembang luas dan cepat di seluruh dunia (Andang Sunart, 2017).

Dalam konteks Indonesia, kita mengenal Front Pembela Islam (FPI) yang masuk sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah. Meskipun demikian, akhir-akhir ini, Front Pembela Islam muncul kembali mendeklarasikan FPI yang baru. Siapa pun pasti tahu, bagaimana kedua kelompok ini dalam menjalankan gerakan-gerakan keagamaan mereka di masa lalu dengan menggunakan kekerasan yang mereka sebut amar makruf dan nahi mungkar.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Titik Tolak Kontra-Propaganda Khilafah

Mirisnya, aksi-aksi kekerasan atas nama agama yang mereka lakukan mendapatkan simpati dari banyak orang. Jangankan dalam konteks Indonesia, dalam lingkungan pertemanan disekitar kita sehari-hari, kerap kali kita menemukan teman dan sahabat diskusi kita yang bersimpati dan mendukung model perjuangan yang dilakukan oleh ISIS dan FPI.

Tentu yang menjadi pertanyaan, dari mana mereka mendapatkan informasi sehingga mereka membenarkan dan melegalisasi cara-cara kekerasan yang dilakukan ISIS dan FPI? Padahal sangat bertentangan dengan islam yang kita pahami rahmatan lil alamin. Jawabannya tentu dari media sosial.

Dari fenomena ini dapat dilihat bagaimana pengaruh media sosial dan dampak informasi yang dibawanya. Kaum muda atau generasi milenial sebagai pengguna terbanyak media sosial harus benar-benar mendapatkan pelajaran dan pemahaman  tentang literasi digital, agar mereka menjadi generasi yang cerdas dan bijak dalam menyikapi setiap laju  informasi yang mereka terima dan berseliweran di media sosial, khususnya yang terkait dengan paham-paham radikal.

Literasi Digital Sebagai Filter

Literasi digital dalam pengertian yang lebih luas adalah sebuah kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan di komputer (Retnowati, 215). Kenapa literasi digital itu penting di tengah masifnya laju informasi di media sosial yang bertujuan untuk menyebarkan paham radikal?

Jawabannya sangat sederhana, yaitu sebagai penyaring atau filter terhadap informasi negatif, seperti paham radikal. Tanpa kompetensi digital, atau literasi digital yang memadai, informasi apa pun yang diterima di media sosial akan dimakan secara mentah-mentah begitu saja sebagai sebuah kebenaran, padahal belum tentu itu adalah informasi yang benar.

Untuk menyiapkan generasi muda yang memiliki kompetensi digital atau literasi digital yang memadai, kehadiran negara sangat dibutuhkan. Menurut penelitian Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) pada sembilan kota di Indonesia dalam kegiatan pemetaan kegiatan literasi digital, diketahui bahwa gerakan literasi digital di Indonesia masih dilakukan secara sukarela, insidental dan sporadis karena belum ada sinergi antar pelaku gerakan. Selain itu, gerakan lebih didominasi oleh perguruan tinggi dengan metode sosialisasi dan ceramah yang membidik generasi muda.

Ke depan, literasi digital harus menjadi program prioritas pemerintah. Idealnya adalah melalui lembaga terkait Kementerian Pendidikan memasukkan literasi digital dalam kurikulum setiap satuan pendidikan. Sehingga pemahaman tentang literasi digital tidak hanya digalakkan pada usia muda, tapi sudah mulai sejak dini.

Sehingga kompetensi literasi digital generasi muda bangsa ini tidak seperti yang ditemukan oleh beberapa hasil penelitian saat ini bahwa literasi digital generasi muda kita sangat rendah. Dengan demikian, kemungkinan generasi muda kita di masa depan terpapar gerakan-gerakan radikal di media sosial rendah.

Khairul Huda, M.A
Khairul Huda, M.A
Alumni Magister Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dosen di STAI Al-Furqan Makassar.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru