31.2 C
Jakarta

Menyelamatkan NKRI dengan Kontra-Terorisme dan Anti-Korupsi

Artikel Trending

Milenial IslamMenyelamatkan NKRI dengan Kontra-Terorisme dan Anti-Korupsi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Eks-Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI), Munarman ditambah masa hukumannya menjadi empat tahun penjara. Munarman yang merupakan terdakwa kasus tindak pidana terorisme itu sebelumnya divonis tiga tahun. Artinya, putusan dengan nomor perkara 114/PID.SUS/2022/PT DKI akhir Juli kemarin ini mengubah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 925/Pid.Sus/PN.Jkt.Timn tanggal 6 April lalu. Bertambah setahun.

Putusan tersebut pantas diterima Munarman. Pasalnya, ia terlibat dalam organisasi teror ISIS, sehingga menjerat dirinya dengan berat merupakan upaya aparat membungkam pergerakan teroris. Kontra-terorisme semacam itu, dalam klasifikasinya, disebut sebagai hard approach. Jadi tidak ada yang perlu diributkan. Apresiasi untuk kepolisian karena kesigapan dalam kontra-terorisme juga laik diberikan. Demi NKRI, terorisme tidak boleh mendapat tempat di negara ini.

Namun, cukupkah membangun NKRI hanya dengan kontra-terorisme? Sama sekali tidak cukup. Ada satu ancaman lagi yang sering kali diabaikan, yaitu korupsi. Sejumlah koruptor terutama di kalangan pejabat pemerintah justru menjadi bola api yang membakar integritas pemerintah bahkan sistem negara. Terlebih, kesigapan penegak hukum untuk menangkap koruptor tidak jarang dinilai lamban. Sehingga muncul perpeloncoan, kesigapan aparat bersifat tebang pilih.

Tentu saja ini masalah serius. Misanya, Mardani Maming, politisi PDIP yang jadi tersangka kasus korupsi. Korupsi tersebut terjadi saat ia menjabat Bupati Tanah Bambu, yaitu suap izin pertambangan. Apa saja yang kena imbas dari maling negara tersebut? Paling tidak ada tiga pihak yang dirugikan. Pertama, partainya yakni PDIP. Ini jelas, tidak perlu dijabarkan. Kedua, NU. Ia menjabat sebagai Bendahara PBNU, dan PBNU sendiri malah bergeming—untuk tidak menyebut lembek.

Ketiga, aparat. Maling negara tersebut sudah tersangka sejak dua bulan lalu, tetapi usaha penangkapannya penuh drama. Ketika jadi DPO, ia bahkan berdalih sedang ziarah ke Walisongo—suatu alibi memuakkan dan menjijikkan. Tebak apa yang terjadi setelah kasus Mardani? Banyak orang bilang bahwa PDIP partai koruptor, banyak orang bilang bahwa NU melindungi koruptor, dan banyak pula yang bilang bahwa aparat berkomplot dengan koruptor.

Tuduhan-tuduhan semacam itu tidak benar, tetapi harus diakui bahwa semua itu merupakan akibat dari minimnya komitmen anti-korupsi. Hanya karena seorang maling negara seperti Mardani Maming dan Harun Masiku, negara jadi tercitra buruk terutama oleh pihak yang memang selama ini skeptis terhadap aparat dan NU. Imbasnya, deradikalisasi ala aparat jadi tumpul dan moderasi beragama yang disuarakan—salah satunya—oleh NU juga jadi loyo.

Terorisme dan Korupsi

Seperti terorisme, korupsi adalah sesuatu yang paling wajib kita benci. Sama juga dengan keduanya ialah oligarki. Menarik untuk menelaah statement Prof. Franz Magnis-Suseno, dalam kanal YouTube Asumsi berjudul “Manifesto: Pemikiran-Pemikiran Romo Magnis Suseno”. Dalam pandangan Romo Magnis, Indonesia punya ancaman utama yaitu populisme. Di Indonesia, populisme ini pernah semarak ketika Pilpres 2019 lalu, yang bahkan terjadi sejak tiga tahun sebelumnya.

Bahasa “populisme” adalah bahasa intelektual. Romo Magnis, sebagai cendekiawan, menggunakan bahasa ilmiah untuk menjaga objektivitas dan menghindari adanya ketersinggungan. Dalam bahasa umum, istilah tersebut dapat dimaknai sebagai maraknya politik identitas; ketika umat Islam merasa merekalah yang paling berhak atas NKRI sehingga sistem pemerintahan yang tidak sesuai harus dilawan tidak peduli dampak buruknya yakni perpecahan bangsa.

Belakangan, spirit populisme semacam itu ternyata menjadi aksi yang lebih buruk, yaitu maraknya radikalisme dan terorisme. Para radikalis dan teroris ingin NKRI yang berdasar syariah, menuntut supremasi Islam, bahkan menjejali hasrat mereka dengan aksi-aksi teror yang mengerikan dan memecah-belah bangsa. Artinya, bahaya populisme sebagai ancaman besar bagi NKRI adalah potensinya untuk memantik eksklusivitas, ekstremitas, bahkan teror.

BACA JUGA  Ketika Ulama dan Intelektual Membebek Pada Penguasa

Namun, yang lebih mengkhawatirkan dari itu, bagi Romo Magnis, adalah korupsi. Revisi UU KPK, menurutnya, adalah perkembangan terburuk yang akan menyemarakkan korupsi. Menurut Romo Magnis, NKRI terpecah secara vertikal, yaitu maraknya oligarki dan kemiskinan. Orang di atas, yakni pejabat, semakin kaya, tetapi orang di bawah yakni masyarakat umum justru semakin melarat. Berikut kutipan langsung dari Romo Magnis,

“Kalau itu menjadi kesan dalam masyarakat, jangan heran kalau orang di bawah itu mencari ideologi lain daripada yang diumumkan Pancasila atau demokrasi, reformasi, atau sebagainya. Sila kelima Pancasila, keadilan sosial, adalah kunci. Maka kalau kita membiarkan oligarki korup terus berkembang di sini, kita secara serius mengancam masa depan Indonesia.”

Artinya, korupsi sebagai ancaman bagi NKRI karena ia adalah sebab. Akibatnya adalah ketidakpercayaan masyarakat. Ketidakpercayaan tadi akan mendorong masyarakat mencari ideologi alternatif, dan bahkan jika alternatif tersebut adalah terorisme, mereka akan setuju masuk ke dalamnya. Berbeda dengan korupsi, terorisme sebagai ancaman NKRI adalah akibat, dan sebabnya adalah maraknya transnasionalisme; khilafah dan daulah Islam.

Oleh karena akibat, terorisme bisa ditanggulangi dengan menghilangkan sebabnya. Deradikalisasi dan moderasi beragama adalah cara yang ampuh. Tetapi sebagai sebab, yang wajib diberantas dari korupsi adalah korupsi itu sendiri. Sebab jika tidak, maka akibatnya akan fatal: masalah vertikal, ketika masyarakat tidak lagi percaya pemerintah, aparat, bahkan sistem negara. Di tengah konflik vertikal akibat korupsi, deradikalisasi dan moderasi beragama juga akan ikut mati suri.

Menyelamatkan NKRI

Segala masalah kebangsaan, meliputi makar dan perpecahan, terjadi paling sering karena tiadanya kepercayaan masyarakat. Baik itu tidak percaya pada pemerintah maupun sistem yang ada. Namun demikian, ketidakpercayaan pada sistem bisa ditanggulangi dengan edukasi holistis tentang kebangsaan. Selama resource ada, maka penanggulangan terorisme akan membuahkan hasil baik. Buktinya, kontra-terorisme dengan melibatkan eks-napiter telah banyak menuai hasil.

Tetapi sebaliknya, jika kepercayaan pada pemerintah yang hilang, maka kontra-terorisme pun terhambat. Salah satu mengatasi itu adalah juga menyemarakkan kontra-korupsi atau spirit anti-korupsi. Aparat harus tegas terhadap maling negara, bahkan kalau perlu maling seperti Mardani Maming dan Harun Masiku dihukum mati. Jika anti-korupsi di kalangan aparat dan pemerintah sangat lemah, lalu pada saat yang sama mereka ingin melakukan kontra-terorisme, maka akan lahir cercaan seperti,

Pemerintah tidak bisa dipercaya, untuk apa mengikuti mereka?”, “Mengatasi korupsi lembek, giliran ada teroris sigap,” atau bahkan yang paling parah masyarakat akan bilang, “Kalau pemerintah tak lagi bisa dipercaya, mending gabung dengan teroris untuk sama-sama berjuang menghancurkan pemerintah dan negara korupnya.”

Siapa yang akan disalahkan jika itu terjadi? Karena itu, kontra-terorisme dan anti-korupsi harus berjalan berdampingan. Teroris harus ditindak tegas, dan koruptor juga harus lebih tegas lagi. Kontra-terorisme dan anti-korupsi adalah ikhtiar menyelamatkan NKRI dari perpecahan horizontal dan vertikal. Koruptor harus dimusnahkan dari negara ini, sebagaimana teroris juga demikian.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru