28.3 C
Jakarta

Meningkatkan Nasionalisme tanpa Intimidasi dan Persekusi

Artikel Trending

Milenial IslamMeningkatkan Nasionalisme tanpa Intimidasi dan Persekusi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Indonesia dan dinamika keagamaannya, akhir-akhir ini masih berlangsung baik. Keagamaan yang dipelopori oleh ormas-ormas moderat bahu membahu untuk saling menguatkan dan membuang praha yang sering kali timbul. Seperti intimidasi dan persekusi.

Peran agama-agama (Islam) menjadi senjata fantastis untuk pertahanan sosial di Indonesia. Tidak ada agama-agama (Islam) yang dipinggirkan. Dan tidak ada pula narasi bahwa Islam terus digerus dari berbagai upaya supaya hilang dari tataran praktis.

Narasi Peminggiran

Dari kalangan aktivis kanan, memang kita sering mendengar bahwa Islam diperlakukan sebagai keyakinan mayoritas rakyat, tetapi dimandulkan dalam penerapan aturan. Kita juga sering mendengar bahwa ajaran Islam diskriminalisasi dan dibelokkan pemahamannya. Selain itu, ulama dan aktivis pejuangnya dipersekusi dan diintimidasi. Ini sama tidak ada.

Apalagi narasi-narasi di atas dicangkokkan dengan trem sekularisme yang kata mereka memisahkan agama dari kehidupan yang kini banyak dianut masyarakat dunia. Ini salah paham namanya.

Ingat, sekularisme tak pernah berbahaya bagi umat Indonesia. Sekularisme hanyalah paradigma yang mencoba membedakan mana yang akal, ilmu, sains, dan agama. Sayangnya, aktivis khilafah, selalu mencoba mengglorifikasi bahwa sekularisme adalah wujud nyata dari impasnya agama di Indonesia. Aneh kan?

Kekuatan Agama di Indonesia

Umat Indonesia begitu kuat dari sisi keagamaannya. Jika memang ada paradigma yang mencoreng agama, pastilah mereka tidak terima atas alasan apapun. Misalnya, HTI, FPI, PKI yang selalu mencoba mencabik-cabik agama untuk kepentingan politik dan negara. Karena paradigma HTI, FPI, PKI tidak koheren dengan kebutuhan umat Indonesia mereka ditolak mentah-mentah.

BACA JUGA  Rajab, Bulan Penuh Pahala untuk Memerangi Khilafahisme

Jadi masalahnya bukan di sekularisme, demokrasi, atau Pancasila. Tapi soal sebesar apa paradigma itu menyatu, sejalan dan harmonis dengan umat beragama Indonesia. Prinsip paradigma adalah ditentukan dari dampak baik yang dibuatnya.

Jadi, misal muncul paradigma khilafah yang diperuntukkan sebagai sistem politik pemerintahan HTI, hukum dan sebagai aturan segala perilakunya. Tapi kenyataannya di lapangan tidak pas dengan kebutuhan masyarakat haruslah ditolak.

Bagi aktivis khilafah, tidak penting membahas agama lain yang hidup di samping kita karena mereka tidak menyukainya. Keyakinan agama yang mereka ikrarkan sebatas formalitas dan emosi. Lebih parah lagi, mereka beranggapan umat Islam adalah yang berhak hidup di bumi ini, agama yang lain harus binasa. Ngeri sekali, bukan?

Menentukan Sikap

Lalu bagaimana sikap kita sekarang? Yang terpenting, kita mesti menggerakkan sikap nasionalisme paham Pancasila sedekat mungkin dengan masyarakat tanpa intimidasi dan persekusi.

Merefleksikan ke dunia generasi Z dan milenal. Memupuk ulang semangat generasi muda akan Pancasila dengan cara yang lebih kekinian. Agar pengetahuan dan kepercayaan rakyat di seluruh pelosok daerah kembali.

Akan tetapi, pengembalian kepercayaan rakyat terhadap nasionalisme dan nilai Pancasila tidak cukup dengan mereinvensi, merekayasa-ulang pemerintahan. Sebagian kita termasuk otoritas pemerintah juga perlu terbuka, sehingga lebih mudah dipahami oleh rakyat.

Transparansi tidak cukup hanya berbuat peringatan “Hari Generasi Muda”. Tetapi pemerintah mesti menggolakkan nasionalisme dengan nilai-nilai Pancasila yang lebih bermoral, lebih fakta, lebih kepada tindakan nyata, sehingga masyarakat tahu dan percaya bagaimana proses lahirnya keputusan yang mempengaruhi kehidupan rakyat. Itu.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru