Harakatuna.com – Dalam Editorial Harakatuna, Kamis (8/6) kemarin, disinggung bahwa pendanaan menjadi basis eksistensi sel-sel terorisme di seluruh dunia. Para teroris melakukan segala cara untuk keberlangsungan organisasi mereka, termasuk melalui bisnis narkotika sebagaimana di Afghanistan. Di Indonesia, narko-terorisme merupakan sesuatu yang mustahil. Karenanya, teroris punya jurus lain yang sesuai dengan lokalitas, yakni melalui pondok pesantren dan rumah-rumah tahfiz.
Pondok Pesantren Imam Syafi’i dan Rumah Tahfiz Qur’an (RTQ) Khairukum di Bogor, yang juga disinggung dalam Editorial kemarin, adalah bukti konkret bahwa para pendukung Daulah ISIS menggunakan lembaga pendidikan Islam sebagai saran gerilya mereka. Tentu saja, Sonata alias Abu Hamzah bukan satu-satunya gembong teroris yang membina pesantren semacam itu. Ada juga binaan Suherman alias Abu Jauhar yang basisnya masih di Jabodetabek.
Berdasarkan penelusuran di Instagram, Suherman memiliki beberapa lembaga, seperti Baitul Mal Iltizam, Baitul Mal Muhzatul Ummah, Baitul Qur’an Muhajirin, dan Rumah Qur’an Dzurriyyati Syamsuddin. Semuanya full access, terang-terangan melakukan promosi penggalangan dana di medsos, baik untuk operasional lembaga maupun infak dan sedekah kurban. Dan menariknya, kalau dilihat dari postingannya, mereka sudah lama beraksi. Artinya, dana yang masuk juga tidak sedikit.
Pertanyaan pentingnya adalah, perlukan atensi terhadap lembaga-lembaga tersebut? Dan jika iya, mengapa? Yang jelas, masyarakat tidak boleh mengabaikan fakta-fakta tentang lembaga pendidikan bentukan teroris pendukung ISIS. Orang seperti Sonata dan Suherman yang tidak populer sama bahayanya dengan Aman Abdurrahman yang kini mendekam di Lapas Nusakambangan. Rumah tahfiz dan pesantren-pesantren tersebut punya implikasi besar di masa yang akan datang.
Implikasi dan Faktor Pendorong
Kehadiran rumah tahfiz dan pondok pesantren yang dikelola oleh eks-teroris atau para pendukung Daulah ISIS memiliki konsekuensi serius yang perlu diatensi. Ia memberi peluang diseminasi ekstremisme-terorisme di kalangan pelajar. Paham-paham intoleran-eksklusivisme yang tersebar bebas mengancam kerukunan dan keberagaman di masyarakat. Selain itu, implikasi buruknya ialah lahirnya generasi Muslim pendukung ISIS yang siap jadi teroris kapan saja.
Selain itu, rumah tahfiz dan pondok pesantren yang dikelola para pendukung Daulah juga menjadi sarana untuk penggalangan dana ilegal. Lembaga-lembaga tersebut dijadikan jaringan mengumpulkan dana yang digunakan untuk kehidupan pribadi dan mendukung aktivitas terorisme yang destruktif bagi Islam dan Indonesia. Pendek kata, rumah tahfiz dan pesantren tersebut mencetak teroris dalam jumlah besar dan militan sebagai penerus para teroris yang kini mulai punah.
Tetapi, apa faktor pendorong maraknya rumah tahfiz dan pesantren semacam itu. Sedikitnya ada dua faktor. Pertama, latar belakang pendukung Daulah itu sendiri, seperti Sonata dan Suherman. Mereka punya pengalaman terlibat dalam gerakan radikal-terorisme. Pengalaman tersebut dijadikan alat untuk merekrut dan mempengaruhi generasi muda melalui lembaga pendidikan terselubung agenda radikalisasi. Gerakan bawah tanah merupakan keahlian mereka.
Kedua, celah dalam pengawasan dan regulasi. Kurangnya pengawasan yang ketat terhadap izin pendirian serta operasional rumah tahfiz dan pondok pesantren memberikan kesempatan besar bagi merebaknya lembaga pendidikan yang terafiliasi teroris. Pemerintah maupun civil society hanya bangga dengan ribuan pesantren di Indonesia, namun tidak pernah melakukan tracking mendalam tentang kurikulumnya. Pengawasan dan regulasinya masih prosedural belaka.
Akhirnya, para teroris tercetak secara massal. Aman Abdurrahman memang dihukum mati, tapi generasi penggantinya telah disiapkan. Sonata dan Suherman dua puluh tahun lagi pasi sudah mati, tetapi kader pendukung Daulah yang lebih berbahaya sudah terbentuk sempurna. Rumah tahfiz dan pesantren pencetak teroris yang kini berjumlah puluhan akan segera jadi ratusan pun implikasinya jelas: kembali berjayanya terorisme di Indonesia sebagaimana pada tahun 2000-an.
Langkah Preventif
Sebenarnya, langkah preventif sudah terlambat. Rumah tahfiz dan pesantren pencetak teroris sudah banyak berdiri, yang artinya sudah tidak bisa lagi dicegah. Kalau pun bisa, mungkin pencegahannya mengarah pada beranak-pinaknya lembaga para pendukung Daulah. Selain itu, pencegahan bisa diarahkan pada generasi muda Muslim secara umum agar tidak terjerumus lembaga-lembaga pencetak terorisme. Faktanya, hari ini, anak muda diincar banyak kekuatan jihadisme.
Langkah prioritas yang bisa diambilpenguatan regulasi dan pengawasan. Perumusan UU yang tegas terkait pendirian dan operasional rumah tahfiz dan pondok pesantren sifatnya wajib. Kerja sama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam melaksanakan monitong bisa menjadi langkah efektif. Pembinaan dan pendidikan yang inklusif, juga pemasifan rehabilitasi dan kontra-radikalisasi juga bisa dilakukan sekalipun tidak populer. Butuh kesungguhan otoritas terkait.
Harus diakui memang, langkah pemerintah untuk mengatasi kelompok radikal-terorisme sudah komprehensif. Namun, lembaga pendidikan yang dibina para pendukung Daulah ISIS berbeda halnya dengan mengatasi kelompok radikal-terorisme itu sendiri. Hal itu karena berurusan dengan peserta didik yang notabene belum paham apa-apa. Merebut hati mereka, menjelaskan bahwa mereka tengah dimanfaatkan simpatisan teroris bukan perkara mudah.
Apa pun langkah yang mesti diambil, para stakeholders lebih tahu tentang itu. Yang terang, masyarakat harus disadarkan oleh ancaman radikalisasi di rumah-rumah tahfiz atau pesantren para pendukung Daulah. Literasi kontra-terorisme harus lebih dimasifkan lagi.
Ada ironi yang mesti disadari bersama, yaitu: dari puluhan rumah tahfiz dan pesantren yang dimanfaatkan sebagai sarana penghidupan teroris, sangat sedikit masyarakat yang mau peduli tentangnya. Bahkan juga tidak memikirkan dampak buruknya terhadap masa depan Indonesia.
Jadi bagaimana cara menindak rumah tahfiz dan pesantren pencetak teroris itu? Tangkap dan penjarakan para pembina dan pimpinannya. Tidak ada kompromi. Tidak bisa ditawar lagi. Para pendukung Daulah punya sepak terjang yang jelas, pengalaman yang banyak, dan militansi yang kuat terhadap terorisme. Menunggu mereka insaf adalah wujud ketidakseriusan terhadap tindakan preventif itu sendiri.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…