28 C
Jakarta

Menguak Kegelisahan Istri Eks-Narapidana Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMenguak Kegelisahan Istri Eks-Narapidana Terorisme
image_pdfDownload PDF

 

“…. maaf saya menangis ini ingat masa lalu, saat suami saya masuk penjara. Pokoknya doa saya, jangan sampai kambuh lagi. Selama tiga tahun tahanan, saya hanya sekali bisa berkunjung. Bukan karena tidak mau, itu karena saya memang tidak punya biaya untuk berkunjung,” U.S (istri narapidana teroris kasus Bom Bali I)

Harakatuna.com – Di atas adalah cuplikan salah satu paper yang saya presentasikan pada Agustus 2018. Paper dengan judul “Voices of the Wives of Ex-Terrorism Inmates (Rebelling and Accepting Extremist Doctrine in Household Relationship)” ini dipresentasikan pada APRiSH 2018 Conference Program di Jakarta, dan ditulis oleh Fitria Sari dkk, (2018). Berbagai perasaan menyeruak tiada terkira. Sedih, haru, mengenaskan, kasihan, campur aduk menjadi satu selama proses presentasi.

Perempuan dalam lingkaran terorisme memang selalu menjadi korban. Pun dalam keadaan menjadi pelaku kelompok maupun lone wolf posisinya tetap menjadi korban. Korban dari penetrasi narasi ekstremis yang dimaknai sebagai kebenaran tunggal. Begitu pula ketika ia menjadi istri dari narapidana, tersangka, eks-narapidana terorisme, ia justru mengalami beban yang berlipat-lipat.

Harus berperan sebagai ibu yang mengurusi kebutuhan sekolah anak, harus menjadi ayah yang harus mencari nafkah, dan diwaktu yang sama juga dituntut untuk menaati suami secara mutlak di balik narasi ekstrimis. Jangankan memikirkan self reward untuk dirinya, tidak mendapatkan blaming dan penghakiman atas perilaku suaminya saja sudah sangat bersyukur sekali.

Namun sayangnya pembahasan mengenai isu terorisme masih sering memfokuskan diri pada ranah penegakan hukum, kerja sama pemberantasan antar negara, analisis Undang Undang, hingga pendefinisian terorisme dari kacamata hukum, agama, dan politik. Pembahasan tentang perempuan/istri dalam terorisme seringkali terlupakan dalam wacana dan diskusi mengenai isu terorisme, baik dalam penyelesaian masalah maupun pada proses pembuatan kebijakan untuk melawan terorisme di Indonesia.

Perempuan juga menjadi sosok yang tereksklusi dalam proses perencanaan, dialog, dan respons mengenai isu pencegahan dan penanganan ektremisme, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, keamanan hingga perdamaian.

Istri dalam Pusaran Terorisme

Menurut Sarwono (2016), istri menjadi sosok penting dalam kehidupan para pelaku teroris. Melalui pernikahan dengan pelaku teroris, istri memiliki kepentingan ketika suaminya tertangkap, tertuduh dan menjadi tersangka kasus terorisme.

Hal tersebut dikarenakan suami menjadi sosok tunggal sebagai panutan sekaligus pemimpin dalam keluarga mereka. Apabila pemimpin tersebut meninggalkan anggota keluarga, memberikan dampak besar dalam keberlangsungan kehidupan istri dan anak-anaknya.

Sjober dan Neil membagi tipologi istri pelaku terorisme menjadi tiga jenis. Tipologi pertama mengarahkan perempuan atau istri sebagai pelaku aksi terorisme, atau lebih dikenal dalam aksi “martir” dalam aktivitas terorisme. Tipologi kedua, istri yang masuk sebagai pendukung aktivitas terorisme suami.

Dukungan biasanya dalam hal pemahaman ekstremisme, penyalur informasi dalam jamaah, maupun menyembunyikan informasi terhadap keberadaan suami maupun kelompok jaringannya. Tipologi ketiga yaitu para istri yang pada dasarnya tidak mendukung aktivitas suami, dan atau yang membantu pemerintah memberikan informasi tentang aktivitas suami. Tipologi ini lebih banyak ditemukan pada istri yang kurang menyetujui aktivitas terorisme suami.

BACA JUGA  Mengapa Orang Bisa Patriarkis Tanpa Mengakuinya?

Berdasarkan penelitian Fitria Sari, dkk (2018), terdapat pergulatan pemikiran pada eks narapidana terorisme tentang relasi suami istri. Sebagaimana dinyatakan oleh May (44 tahun), istri dari Fahmi, narapidana terorisme jaringan bom bunuh diri di Masjid Kepolisian Resort Cirebon-.

Ada masa tertentu yang membuat May merasa gelisah dengan kondisi perekenomian rumah tangganya. May mengaku selalu mendapatkan upaya penenangan dan penghiburan dari sang suami untuk sabar dengan keterbatasan ekonomi. Akan tetapi, pada saat itu pula May berusaha mempertanyakan ulang mengenai kondisi dan kata-kata yang disampaikan suami. Kebutuhan ekonomi tak bisa ditunda, sedangkan pemasukan nyaris tak ada.

Pun demikian, May tidak berani menentang dan menuntut kepada suami karena meyakini bahwa ketaatan kepada suami adalah sebuah kemutlakan. Melalui doktrin ideologi tersebut, muncul sebuah mekanisme kontrol kepada perempuan tentang imajinasi surga. Dapat dikatakan bahwa tidak ada penyangkalan tentang posisi suami dan imajinasi tentang surga (male senter).

May menerima secara langsung nilai ekstremis dari suami tentang imajinasi surga dan kehidupan yang damai secara kekal di akhirat. Sang istri yang patuh dan tunduk kepada suami juga tidak perlu mendapatkan perhitungan dan penyiksaan di akhirat.

Stigmatisasi, Dampak Bersuami Teroris

Meskipun keempat subjek penelitian Fitria Sari, dkk (2018), tidak mendukung aktivitas terorisme, maupun menegakkan hukum Islam di jalan Allah melalui aksi pemaksaan maupun pembunuhan, namun mereka mengalami stigmatisasi luar biasa. Selain mendapatkan pelabelan bahwa mereka juga terlibat dalam aksi terorisme, pelabelan tersebut juga dapat berujung pada diskriminasi yang dialami dalam keseharian.

Misalnya saja, May yang mengungkapkan seringkali mendapatkan pandangan sinis hingga cibiran dari orang-orang yang ditemuinya saat berjalan di tempat umum. Atas dasar narasi itulah, perempuan yang kedirian dan penampilannya diatur oleh nilai ekstremisme sedemikian rupa, justru menimbulkan pelabelan negatif hingga diskriminasi bagi perempuan itu sendiri.

Aktivitas istri tidak hanya terhenti setelah mempersiapkan sekolah anak-anak, melainkan mereka juga tetap harus merawat anak, membersihkan rumah, sekaligus bekerja di sektor informal hingga sore hari. Pekerjaan tersebut sesuai dengan keyakinan narasi dalam ekstremis (berdagang), serta adanya ajaran bahwa tugas perempuan adalah ranah domestik.

Akan tetapi, perempuan juga tetap dituntut untuk membantu suami. Ironisnya, mereka tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama, atau sampingan. Hal ini jelas menimbulkan beban pekerjaan yang berlapis bagi para subjek dalam kehidupan sehari-hari.

Perlunya Kemandirian Istri sebelum Berumah Tangga

Berdasarkan pemaparan di atas, maka di sini saya tekankan pentingnya kemandirian perempuan sebelum memutuskan untuk berumah tangga. Kemandirian disini tak hanya berhubungan dengan finansial, namun juga kemandirian dan mengambil keputusan, dan kemandirian untuk mampu bernegosiasi.

Jika perempuan sudah membekali dirinya dengan kemandirian, maka ketika berumah tangga, ia tidak akan dibayangi dengan superioritas laki-laki. Salah satunya adalah  superioritas dibalik narasi ekstremis yang acap kali membebani perempuan. Sekaligus untuk memastikan bahwa anggota dalam keluarganya tidak ada yang terpapar radikalisme. Maka yang paling utama adalah menguatkan peran istri terlebih dahulu.

Lutfiana Dwi Mayasari
Lutfiana Dwi Mayasari
Anggota Puan Menulis sekaligus alumni Magister Kajian Timur Tengah UI. Saat ini mengajar Sejarah Peradaban Islam di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian gender, perdamaian, hukum, dan politik Timur Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru