31.2 C
Jakarta

Mengkaji Ayat Perang Melalui Dialektika Hegel

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMengkaji Ayat Perang Melalui Dialektika Hegel
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada era digital saat ini, kerap ditemukan isu yang menjadikan berbagai ayat perang sebagai justifikasi terhadap tindakan kekerasan atas-nama agama yang dilakukan oknum tertentu. Realita seperti ini perlu dikoreksi agar tidak membiarkan Islam mendapat kesan ‘mencederai nilai perdamaian’.

Salah satu ayat yang sering disalah-pahami tersebut adalah “apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik dimana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasi mereka di tempat pengintaian (terus intai mereka). Jika mereka bertaubat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. al-Taubah: 5).

Untuk mengkaji ayat di atas, perlu ditegaskan terlebih-dahulu tentang perspektif kebaikan yang akan dinarasikan dalam tulisan ini. Menurut “dialektika” Hegel, kebaikan bukan sebuah bentuk melainkan sebuah proses (Ali Harb: 100-188). Maka kebaikan harus dibaca sebagai proses bukan dibaca sebagai bentuk.

Kebaikan dibaca sebagai bentuk adalah tentang apa yang dinilai baik sejak awal antara tesis dan antitesis. Sehingga bilamana antitesis yang dinilai sebagai kebaikan maka sebagai perdamaian adalah nilai menurut antitesis tersebut, begitupun sebaliknya.

Sedangkan kebaikan dibaca sebagai proses adalah hasil melalui dialog tesis dan antitesis. Maka kebaikan adalah proses mendialogkan tesis dan antitesis dengan cara sebaik mungkin; bisa diterka bahwa hasil dari dialog itu bersifat tidak mesti karena tergantung pada proses. Atau dengan bahasa yang lebih lugas, perdamaian adalah sintesis yang dihasilkan melalui dialog tesis dan antitesis.

Seruan untuk memerangi orang musyrik yang disebutkan dalam ayat di atas, tidak bisa dinilai sebagai kebaikan ataupun sebagai kejahatan, karena seruan untuk memerangi orang musyrik adalah sebuah bentuk, atau lebih jelasnya adalah sebuah antitesis (atau tesis) sebab berhadapan dengan bentuk lain berupa perbuatan orang musyrik sebagai tesis (atau antitesis).

Maka kebaikan yang bisa dibaca melalui ayat di atas adalah sintesis yang dihasilkan melalui dialog antara apa yang dilakukan orang Muslim (suatu bentuk yang tersurat dari ayat di atas) dan apa yang dilakukan orang musyrik (bentuk lain yang tersirat dari ayat di atas).

Peperangan dari orang Muslim dan perlawanan dari orang musyrik di zaman Rasul—atau bisa dibaca sebaliknya—adalah dialog, proses, untuk kebaikan (sintesis). Maka harus dinilai terlebih-dahulu bahwa ‘memerangi orang musyrik’ di zaman Rasul hingga beberapa periode berikutnya bukan kebaikan sekaligus bukan sebagai kejahatan; karena ‘memerangi orang musyrik’ adalah bentuk.

BACA JUGA  Perempuan dan Ancaman Ekstremisme: Upaya Preventif

Proses itu telah selesai, dan sejarah mencatat –terhitung sejak zaman rasul hingga Islam tersebar pada seluruh Jazirah Arab dan daerah sekitarnya (Jazirah Arab)–bahwa sintesis yang dihasilkan di saat Islam berjaya melalui dialog tersebut adalah terbentuknya kesadaran-kesadaran sosial tentang kerukunan, hak asasi manusia, bahkan kesadaran teologi.

Maka kesadaran-kesadaran sosial dan bahkan kesadaran teologi yang dipengaruhi oleh ajaran Islam di saat Islam berjaya adalah sebuah (sintesis) kebaikan yang lahir melalui dialog ‘memerangi orang musyrik’.

Membaca nilai perdamaian sebagai kebaikan di zaman ini, tidak akan sama (dalam berbagai aspek) ketika membaca nilai perdamaian di zaman periode awal Islam. Ketika saat ini ada PBB dam HAM dilindungi oleh lembaga nasional maupun internasional, maka memerangi siapapun akan dinilai sebagai kejahatan sebab mencederai nilai perdamaian.

Berbeda dengan zaman periode awal Islam, yang menganggap perang sebagai hal biasa. Sehingga dalam keadaan tertentu Islam harus melakukan perang untuk menguatkan eksistensinya; untuk menyuarakan pesan-pesan Islam tentang nilai-nilai kebaikan (termasuk di dalam kebaikan adalah nilai perdamaian) itu sendiri dan (terlebih) tentang teologi.

Seandainya di zaman periode awal Islam sudah ada PBB, HAM dilindungi oleh lembaga nasional maupun internasional, kemungkinan wahyu yang akan diturunkan tidak akan menjadikan perang sebagai pilihan untuk menyebarluaskan Islam. Maka spirit yang terkandung dalam ayat di atas yakni, seruan untuk berperang, bisa dianggap ditangguhkan berdasarkan membaca konteks saat ini (naskhun bi al-‘aqli); ditangguhkan untuk diamalkan di zaman ini.

Sangat tidak tepat menjadikan ayat perang sebagai dalil kebolehan untuk melakukan kekerasan dan atau perang saat ini atas-nama agama. Karena, pertama, seruan untuk berperang di zaman periode awal Islam tidak bisa dinilai sebagai kebaikan pun sebagai kejahatan, maka sangat emosional—tidak ilmiah—jika menilai seruan untuk berperang zaman periode awal Islam adalah sebuah kebaikan terlebih (lebih emosional dinilai sebagai) kebaikan untuk saat ini.

Dan, kedua, karena perbedaan antara perang di zaman ini dan perang di zaman periode awal Islam; bahwa perang di zaman awal periode Islam dinilai sebagai hal biasa berdasarkan konteks, sedangkan perang di zaman ini dinilai sebagai hal yang mencederai nilai perdamaian pun berdasarkan konteks.

Daftar Pustaka

Harb, Ali. Al-Ta’wīl wa al-Ḥaqīqah: Qirā’āt Ta’wīliyyah fi al-Ṡaqāfah al-‘Arabiyyah. Terj. Sunarwoto Dema. Hermeneutika Kebenaran. Yogyakarta: LKiS. 1993.

A. Faiqil Faqih
A. Faiqil Faqih
Mahasantri Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru