27.4 C
Jakarta

Mengatasi Radikalisme dengan Vaksin “Bodo Amat”

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMengatasi Radikalisme dengan Vaksin “Bodo Amat”
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Laris manisnya buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat; Pendekatan yang Waras Demi Menjalani Hidup yang Baik karya Mark Manson memberi tahu kita tentang satu tren, yaitu munculnya kesadaran khalayak umum bahwa mereka merasa sudah cukup lama tenggelam dalam mengurusi hal-hal yang tak perlu.

Frasa “mengurusi” dalam hal ini mungkin lebih dominan dalam aktivitas berpikir. Artinya, mereka merasa telah banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu. Sehingga membuat mereka kelelahan dan tidak maksimal dalam melakukan suatu pekerjaan positif, yang seharusnya bisa mereka lakukan. Lalu mereka pun merasa perlu untuk bersikap “masa bodo”.

Lalu apa hal-hal yang tak perlu tersebut? Saya belumlah membaca buku tersebut secara keseluruhan. Namun, saya ingin mengulas tren tersebut melalui kacamata Islam. Dan menunjukkan bagaimana hal-hal yang sebenarnya tak perlu kita pikirkan, bahkan dilarang oleh Islam, telah membuat pikiran kita kelelahan.

Tak hanya kelelahan, tapi juga memancing sikap seperti sikap radikal atau kaku dalam beragama. Suatu sikap yang sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad, untuk tidak perlu dilakukan. Lalu apa saja hal-hal yang tak perlu tersebut.

Memikirkan Perilaku Buruk

Mungkin banyak yang akan mendukung bahwa hal itu memang tidak perlu dilakukan, tapi memikirkan perilaku buruk orang lain entah disengaja atau tidak telah menjadi makanan sehari-hari. Mungkin itu tidaklah buruk kalau tujuannya positif seperti mencari cara terbaik untuk mengingatkan si pelaku, tapi menjadi tak perlu kalau hanya sekedar menjadi pergunjingan; menjadikannya bahan pembicaraan tatkala mengobrol dengan orang lain.

Melakukan atau memikirkan sesuatu tentunya harus melihat apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak untuk dilakukan atau dipikirkan. Kalau tidak ada manfaatnya, untuk apa dilakukan atau dipikirkan? Dan di sini kita perlu insaf untuk tak perlu berlebihan mencari alasan mengada-ada seperti mengatasi ketakutan kalau-kalau kita menjadi objek perilaku buruk tersebut.

Sebab sikap hati-hati lebih dari cukup daripada memikirkan individu. Karena yang berbahaya bukanlah individual seseorang, tapi perilaku buruk tersebut. Dan perilaku itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Entah yang sebelumnya sudah diketahui melakukannya maupun belum.

Mengurusi Kewenangan Allah

Seorang dai yang populer sebab rekaman pengajiannya populer di YouTube, Gus Baha’, menceritakan adanya fenomena muslim mengurusi apa yang menjadi kewenangan Allah. Salah satunya adalah kejadian yang beliau alami sendiri, adanya suatu masyarakat yang enggan menyalati orang yang baru saja meninggal sebab meminum minuman keras oplosan.

Menurut beliau, sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut tidak boleh dilakukan. Karena disolati maupun tidaknya disolatinya seseorang tidak boleh digantungkan dengan keadaan mati orang tersebut, melainkan harus melihat apakah orang itu Muslim atau bukan. Demikianlah fiqh Islam mengatur.

Dari sini kita bisa belajar bagaimana tindakan buruk seseorang tidak boleh membutakan kita akan syariat yang berlaku. Apalagi menutup kemungkinan bahwa seusai ia bertindak buruk, ia berbuat baik yang kemudian menghapus dosa dari perilaku buruk yang sudah ia lakukan.

Siapa yang tahu orang yang meninggal saat meminum minuman keras, ia tidak sempat mengucapkan kalimat syahadat saat meninggal? Sehingga kita bisa memastikannya meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.

Memikirkan Kewajiban Orang Lain

Diakui atau tidak, banyak dari kita melakukan hal tersebut. Sebab, kita merasa bahwa kewajiban kita bisa kita lakukan kapan saja dan bagaimana saja sesuai keinginan kita, tapi kewajiban orang lain harus kita awasi. Entah kenapa tiba-tiba kita mengangkat diri kita menjadi pengawas tak resmi, kadang dengan dalih demi kepentingan orang banyak.

BACA JUGA  Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Lalu, apakah sikap ini dibenarkan oleh agama? Dan bagaimana ia bisa tahu bahwa mengawasi kewajiban orang lain lebih penting daripada mengawasi kewajiban diri sendiri?
Akibat buruk dari lebih sibuk memikirkan kewajiban orang lain daripada diri sendiri akan timbul tatkala kelalaian kita dalam menjalankan kewajiban itu menjadikan kita kurang mempertimbangkan beratnya melaksanakan kewajiban tersebut.

Suatu contoh ringan, mengkritik sosok kepala desa yang dalam seminggu ia tidak pernah bisa berjamaah solat subuh selama 7 hari penuh. Padahal si pengkritik sendiri dalam seminggu hanya berjama’ah subuh 1 atau 2 kali. Dan hanya bermodal tindakan 1-2 kali ia menafikan beratnya untuk konsisten berjama’ah subuh dan menahan diri dari keinginan-keinginan sesaat seperti solat di rumah.

Ia merasa sudah berpengalaman, dan lupa bahwa berjemaah Subuh tidak hanya berkutat dengan menahan rasa dingin serta kantuk yang sering menjadi perhatian kebanyakan orang, tapi juga rasa bosan dan ingin sesekali tidak melakukan hal tersebut. Hal itu belum lagi saat “orang lain” tersebut memiliki medan atau keadaan yang lebih berat daripada si pengkritik.

Seperti Subuh berjemaah di area Malang yang memiliki suhu dingin lebih dari daerah sekitarnya akan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dari daerah lain. Dan jangan lupa, Allah tidaklah memandang ibadah seorang muslim hanya dari jumlah ibadah, tapi dari kerasnya usaha yang ia lalui.

Memikirkan Sesuatu

Kebanyakan dari kita tahu bahwa media sosial seperti Facebook selama beberapa tahun ini diisi oleh tanggapan-tanggapan dari orang yang bukan ahlinya. Hanya bermodal semangat membela agama semisal, hal itu menafikan akan pentingnya memiliki pengetahuan yang cukup akan sesuatu yang hendak kita bicarakan.

Tentu kemudian yang muncul adalah tanggapan atau perdebatan-perdebatan tak berguna karena argumentasi yang mereka bangun untuk mempertahankan keyakinan mereka tidak didukung oleh data yang cukup.

Sebuah contoh kecil, menanggapi fenomena masyarakat yang melaksanakan salat tarawih super cepat dengan pandangan miring. Padahal pandangan miring itu hanya berdasar bahwa masyarakat tersebut melakukan sesuatu yang tidak seperti umumnya dilakukan. Ia lupa, apakah sesuatu yang tidak lazim akan selalu salah di mata syariat agama?

Memikirkan Sesuatu yang Belum Jelas

Faktor terakhir ini lebih pada tergesa-gesa menerima sekaligus menanggapi informasi yang belum jelas kebenarannya. Tentu ini menjadi tidak berguna saat tahu bahwa infomasi tersebut ternyata adalah kabar bohong.

Lima hal di atas adalah sekian dari hal-hal yang yang sebenarnya tidak perlu kita masukkan ke dalam pikiran, sehingga membuat kita kelelahan dan justru lalai dengan kebutuhan diri sendiri. Dampak negatif dari “kelelahan” tersebut tentu saja sikap emosional yang membuat kita buta dan tuli akan keadaan maupun saran dari orang lain.

Sikap emosional ini kemudian mendorong kita untuk melakukan tindakan-tindakan negatif tak lazim yang sebenarnya membutuhkan cukup banyak keberanian dalam melakukannya. Seperti melakukan bom bunuh diri.

Lalu bagaimana cara mencegahnya? Tentu saja dengan mengedepankan sikap “bodo amat”. Kita mendorong diri kita untuk lebih peduli pada mengatasi perilaku buruk yang biasa kita lakukan, lebih peduli pada apa yang menjadi kewajiban kita sendiri, pada apa yang menjadi kewenangan kita, pada apa yang kita ketahui, dan pada apa yang sudah jelas kebenarannya.

Sehingga diri kita pun sibuk melakukan hal-hal positif. Tidak menganggur dan kemudian “mencari-cari kesibukan” dengan melakukan hal-hal negatif.

Mohammad Nasif
Mohammad Nasif
Lulusan Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru