31.9 C
Jakarta

Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifNeo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menurut M. Hasyim Kamali dalam bukunya “The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasathiyah” (2015), esensi Islam pada dasarnya adalah keadaan damai yang diliputi oleh rahmat dan kasih sayang, yang tidak mengesahkan kekerasan, tetapi mengakui keberagaman sosial, serta memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar.

Istilah populer yang saat ini dikenal sebagai moderasi beragama atau Islam wasathiyah, yang berarti berusaha untuk menghindari merumuskan bentuk paling ekstrem yang disebut brutal religiosity (brutalitas keagamaan).

Dalam konteks sosio-agama, “brutal” merujuk pada sikap kasar, kejam, dan beringas. Ketika konsep ini diterapkan pada tindakan yang menuju kekerasan, kekejaman, dan agresi dalam ranah sosio-agama, maka dapat disebut sebagai brutalitas keagamaan. Gerakan ini biasanya diinisiasi oleh kelompok militan, semacam HTI untuk melakukan pemaksaan pemahaman terhadap kelompok lain.

Meskipun unsur-unsur brutalitas keagamaan mungkin memiliki kesamaan dengan radikalisme atau bahkan konservatisme agama, perbedaannya terletak pada tingkat keparahan yang mengarah pada kekerasan, bahkan pembunuhan. Mereka yang terlibat dalam brutalitas keagamaan gagal memahami bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Seperti yang pernah dikatakan Gus Dur, “Tidak masalah apa agamamu atau latar belakangmu, jika tindakanmu membawa kebaikan bagi semua orang, orang tidak akan bertanya tentang agamamu.” Bagi Gus Dur, menghormati kemanusiaan berarti menghormati Sang Pencipta, dan sebaliknya.

Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2011), Gus Dur menolak masuknya kelompok-kelompok ekstremis ke Indonesia, seperti konservatif, radikalis, puritanis, bahkan teroris yang melegitimasi kekerasan atas nama agama. Baginya, ketika tindakan mencapai titik kekerasan, pembunuhan, atau terorisme, hal tersebut tidak dapat ditoleransi. Gus Dur percaya bahwa Indonesia adalah negara yang moderat, yang dibentuk oleh budaya lokal dalam menjalankan praktik keagamaan.

Menurut Gus Dur, toleransi, saling menghormati, dan mengutamakan perdamaian adalah inti dari ajaran agama, yang harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Gus Dur menekankan bahwa keberagaman di Indonesia adalah kekayaan yang harus dijaga dan diperkuat, bukan sebagai alasan untuk konflik atau kekerasan.

Dengan keyakinan bahwa agama seharusnya menjadi sumber kedamaian dan kebijaksanaan, Gus Dur mempromosikan wawasan yang inklusif dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama. Dalam visinya tentang Islam yang moderat, dia menegaskan pentingnya memahami dan menghormati perbedaan, serta menekankan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus diutamakan di atas segalanya.

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Mewaspadai Kebangkitan Identitas Neo-HTI

Neo-HTI yang didominasi gerakan brutal religiosity adalah masalah besar yang harus disingkirkan untuk memperoleh pluralitas bangsa Indonesia. Menurut laporan dari data Indonesia Knowledge Hub (I-KHub) yang dirilis oleh BNPT pada tahun 2023, ditemukan bahwa kelompok yang paling rentan terhadap radikalisasi baik secara daring maupun luring adalah perempuan, anak-anak, dan remaja. Temuan ini menyoroti kekhawatiran akan penyebaran ideologi radikal di kalangan kelompok rentan ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute dari tahun 2016 hingga 2023 juga memberikan gambaran yang serupa, menunjukkan adanya peningkatan migrasi radikalisasi khususnya di kalangan remaja melalui platform media online. Data ini mengindikasikan bahwa pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi diperlukan untuk melindungi kelompok-kelompok ini dari pengaruh radikalisme dan ekstremisme.

Dalam konteks nasionalisme, sangatlah krusial untuk mencegah penerus bangsa terjerumus ke dalam jaringan terorisme. Kita tidak boleh membiarkan bangsa Indonesia menjadi lumbung dalam produksi bibit-bibit terorisme yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara.

Oleh karena itu, langkah-langkah konkret harus segera dilakukan untuk menghadapi ancaman identitas Neo-HTI yang berpotensi merusak keharmonisan dan keselamatan masyarakat.

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kesadaran akan bahaya radikalisme dan dalam memupuk sikap kritis serta toleransi di kalangan generasi muda. Melalui sistem pendidikan yang menyeluruh dan terintegrasi, baik di tingkat sekolah maupun di luar sekolah, individu dapat diberi pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan toleransi.

Di dalam lingkungan pendidikan, siswa diajarkan untuk mengidentifikasi dan menganalisis berbagai ideologi serta pandangan yang beragam dengan cara yang rasional dan kritis. Mereka juga diajak untuk memahami akar penyebab radikalisme, konsekuensinya yang merugikan, dan dampak negatifnya terhadap masyarakat dan negara.

Dalam konteks di luar lingkungan pendidikan, individu bisa didorong dengan pemberdayaan diskusi serta pengadaan komunitas untuk membahas tentang bahaya terorisme dan pentingnya toleransi. Tentunya hal ini diimbangi dengan konten yang menarik dan edukatif. Dengan modal inilah, kita bisa menghadang identitas Neo-HTI merebak ke generasi penerus bangsa.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru