34.3 C
Jakarta

Mengantisipasi Ceramah Politik Praktis di Masjid dari Aktivis Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamMengantisipasi Ceramah Politik Praktis di Masjid dari Aktivis Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berjalannya Ramadan, kadangkala tidak menjadikan kita bijak dalam memahami persoalan dan konteks sosial. Kita malah sering terjebak ke persoalan-persoalan artifisial. Misalnya, seharusnya pada bulan Ramadan kita menyublimkan diri pada makna Ramadan yang sesungguhnya, atau ke hal-hal yang asketisme, namun kita malah bertengkar pada ranah yang sebaliknya.

Hal-hal demikian terjadi juga pada ranah keagamaan. Di masjid misalnya, kita malah diarahkan untuk membicarakan politik praktis. Padahal, para ulama atau akademisi telah mengingatkan bahwa di tempat-tempat ibadah harus dijauhkan dengan pembicaraan yang memicu dan mengandung politik praktis.

Masjid Boleh Berpolitik?

Namun, yang saya lihat, peringatan di atas tidak pernah diindahkan. Hanif Kristianto, yang katanya analis senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD), secara langsung menolak warta di atas. Dia malah menganjurkan bahwa di masjid, gereja, dan tempat-tempat ibadah lainnya boleh membicarakan politik.

Dia memberikan pernyataan seperti itu, dengan dasar bahwa untuk mengedukasi umat katanya. “Di tempat ibadah, termasuk masjid boleh membicarakan politik. Hanya saja sebenarnya, panduannya adalah politik yang mengedukasi umat. Ini karena masyarakat perlu diberikan panduan tentang penggunaan tempat ibadah, hanya sebagai tempat ritual atau ada aspek-aspek yang lain,” ujarnya dalam “Masjid Antipolitik?” di kanal Khilafah News, Sabtu (25-3-2023).

Dia juga menambahkan bahwa di masjid boleh diisi apa saja. Misalnya membicarakan politik praktis. Baginya, masjid seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah saja. Namun lebih ke ranah yang lebih luas, salah satunya adalah bagaimana umat Islam yang mayoritas dapat menjadi ceruk dalam memilih pemimpin yang benar, yang bernafaskan Islam.

“Kemudian, di mana biasanya umat itu berkumpul dalam suatu suasana yang religius adalah di masjid. Apalagi, masyarakat masih memiliki patronase, yakni tokoh agama yang diyakini memiliki pemahaman benar, terutama saat dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan. Jika kampanye dilakukan di lapangan diiringi joget yang mengeluarkan biaya besar, maka di masjid dengan menggunakan tema-tema perayaan dapat melakukan pendekatan kepada umat,” jelasnya.

Masjid Tempat Strategis Politik

Jadi bagi Hanif, masjid adalah tempat yang tepat untuk melakukan konsolidasi dan pembicaraan politik. Sebab baginya, daripada membicarakan politik hanya di lapangan yang membutuhkan banyak biaya, mending dilakukan di masjid disertai juga minimnya biaya dan dari ketidakbermanfaatan: dosa.

BACA JUGA  Ramadan dan Gerilya Radikalisasi, Bagaimana Menanganinya?

Menurut dia, politik dan agama tidak bisa dilepaskan. Sebagaimana masjid juga tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan politik praktis. Karenanya, kenapa masjid tidak dijadikan saja tempat untuk membicarakan politik. Bukankah masjid adalah tempat umum dan strategis dalam membicarakan politik. Hanif juga menolak bahwa membicarakan politik bukanlah termasuk bernuansa politik identitas. “Lantas kalau tidak ada identitas, apa identitasnya? Kan, jadi aneh,” tanyanya.

Aktivis HTI itu menyarankan, bahwa perlunya mengembalikan makna politik, dalam makna sebenarnya, yakni mengurusi urusan umat, serta dijadikan wahana mencerdaskan politik umat, misalnya menyampaikan karakteristik pemimpin menurut Islam, mengelola ekonomi dalam Islam, pendidikan Islam, pergaulan Islam, dan tata kelola kenegaraan dalam Islam. “Termasuk menyampaikan kepada umat bahwa agar kehidupan ini lebih berkah harus diatur dengan syariat Islam kafah,” sebutnya.

Ceramah Politik Praktis Tidak Boleh

Menurut aktivis HTI itu, agar masjid bisa hidup, maka masjid harus dikelola dengan kajian-kajian yang mendekatkan umat kepada syariat Islam kafah. Karena menurutnya, gelombang umat akan kembali ke masjid, seperti terjadi pada masa 80-an. Jadi sekali lagi, bagi Hanif, masjid boleh dijadikan sebagai tempat strategis politik praktis dan amalan menjalankan syariat Islam kafah.

Sampai di sini kita melihat, bagaimana aktivis khilafah ini membangun narasi bahwa masjid boleh digunakan sebagai perengguh suara dari umat Islam. Artinya, masjid boleh difungsikan selain untuk mensyiarkan politik Islam, syariat Islam, negara Islam, masjid menurutnya boleh juga dijadikan sebagai tempat politik praktis Islam. Ini adalah versi cara melihat masjid dari aktivis khilafah. Jadi kita sudah mengetahui bagaimana jalan pikiran aktivis khilafah ini.

Lalu bagaimana dengan kaca mata kenegaraan? Menurut Menkopolhukam, Mahfud MD, ceramah politik di masjid boleh, asal ceramah politik inspiratif, seperti politik kebangsaan, kenegaraan, kemanusiaan, dan kerakyatan boleh dilakukan di rumah ibadah dan tempat pendidikan. Jadi sudah jelas, ceremah politik kenegaraan boleh di masjid, sedangkan praktis tidak boleh. Dan saya setuju dengan pernyataan Mahfud MD.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru