28.2 C
Jakarta

Menerima Hasil Pemilu 2024 sebagai Wujud Kedewasaan Berdemokrasi

Artikel Trending

Milenial IslamMenerima Hasil Pemilu 2024 sebagai Wujud Kedewasaan Berdemokrasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2024 sudah keluar. Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden-wakil presiden periode 2024-2029. Dari total surat suara sah sebanyak 164.227.475, Prabowo-Gibran meraih 96.214.691 suara, Anies-Muhaimin memperoleh 40.971.906 suara, dan Ganjar-Mahfud meraih 27.040.878 suara.

Pelantikan presiden terpilih dijadwalkan pada 20 Oktober mendatang. Sebelumnya, 1 Oktober, diagendakan pelantikan calon terpilih anggota DPR RI dan DPD RI. Dengan demikian, pesta demokrasi sudah selesai. Jika ada keberatan terhadap hasil tersebut, maka sesuai Pasal 475 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, gugatan dipersilakan melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Dua tahun terakhir, negara ini sibuk dengan urusan elektoral. Karena itu, ketika hasilnya telah keluar, masyarakat dan pemerintah perlu kembali fokus pada aspek yang substansial, yaitu bagaimana membangun negara bersama-sama. Riak narasi kecurangan mesti dilakukan secara konstitusional dan tidak dengan memprovokasi, mempolarisasi, dan merusak kerukunan masyarakat. Itulah cara berdemokrasi secara dewasa.

Mengapa hal tersebut penting dipedomi bersama? Sebab, pasca-penerapan hasil Pemilu ini, ada narasi tendensius yang mengarah pada perpecahan. Seiring dengan riak narasi kecurangan tadi, kelompok transnasionalis memanfaatkan keadaan dengan menebarkan propaganda tentang bobroknya demokrasi, zalimnya penguasa, dan sejenisnya. Propaganda tersebut sangat masif dan bak mendapat sambutan masyarakat.

Tentu saja, hal itu berbahaya. Demikian karena bersamaan dengan merosotnya spirit nasionalisme, transnasionalisme seolah menguat. Padahal semestinya Pemilu disikapi secara dewasa, bahwa siapa pun pemenangnya ia merupakan pilihan demokratis dari, oleh, dan untuk rakyat. Presiden terpilih, yang memilih adalah rakyat. Sudah semestinya menikmati pilihan tersebut dan bergotong-royong menuju kemajuan Indonesia.

Presiden: Pilihan Rakyat

Ada pernyataan menarik dari cendekiawan tanah air, Prof. Quraish Shihab, tentang Pemilu. Bagaimana pun hasilnya dan siapa pun pemenangnya, ia menegaskan bahwa rakyat harus menerima dengan lapang dada. Sebab, menurut Prof. Quraish, yang berpartisipasi dalam Pemilu adalah rakyat. Maka siapa pun yang menjadi presiden, ia adalah cerminan dari rakyat itu sendiri. Rakyat sudah ikut berdemokrasi, hasilnya pun perlu disikapi secara demokratis.

Penting dicatat bahwa demokrasi tidak hanya memberi kebebasan memilih, tetapi juga konsekuensi atas pilihan tersebut. Terlepas dari bagaimana cara demokrasi menyiasati pemenangan, dalam demokrasi rakyat mesti menikmati pilihannya secara suportif. Dalam konteks pemilihan presiden, rakyatlah yang menjadi kunci kemenangan. Bahwa sementara suara mereka dipolitisasi, itu perkara lain.

Pemilu, sebagai panggung utama warga negara, merepresentasikan kehendak kolektif. Dalam konteks ini, menerima hasil Pemilu lebih dari sekadar kepatuhan hukum, melainkan—sekali lagi—ekspresi tegas ihwal kedewasaan berdemokrasi. Menerima hasil Pemilu adalah tahap krusial perjalanan demokrasi. Di situlah kesetiaan pada prinsip-prinsip yang lebih besar: kesatuan sebagai bangsa, diuji. Ujian berdemokrasi.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Menerima hasil Pemilu menunjukkan kematangan berpolitik. Kendati beragam secara dukungan, masyarakat telah sepakat untuk menghormati proses demokrasi. Di tengah gejolak politik seperti saat ini, demokrasi adalah framework yang menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya. Dan pemerintah mesti melayani semua warga negara, termasuk yang tidak mendukung mereka.

Kedewasaan berdemokrasi mencerminkan pandangan yang maju untuk negara-bangsa. Bahwa kesiapan kita sebagai masyarakat ialah mengatasi perbedaan dan bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, menerima hasil Pemilu dengan lapang dada adalah langkah pertama dari proses mendamaikan perbedaan dan membangun konsensus untuk kepentingan bersama: Indonesia Emas 2045.

Maka, di tengah dinamika politik yang tak terelakkan, mari kita tetap teguh dalam keyakinan bahwa menerima hasil Pemilu adalah tonggak penting perjalanan demokrasi Indonesia. Spirit semacam itu tidak sekadar wujud menghormati suara rakyat, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi itu sendiri. Lebih dari itu, dengan berdemokrasi secara dewasa, rakyat telah menyelamatkan nasionalisme dari rongrongan transnasionalisme.

Nasionalisme vis-à-vis Transnasionalisme

Para propagandis khilafah hari-hari ini berusaha menggerus nasionalisme secara masif. Mereka kerap nyinyir di media sosial, untuk memengaruhi generasi muda, bahwa Indonesia sedang di titik terburuk untuk umat Islam. Mereka seolah memberikan ‘tawaran alternatif’ bahwa rakyat butuh sistem yang lebih mementingkan kepentingan bersama, yakni khilafah yang merupakan doktrin Hizbut Tahrir belaka.

Ihwal nasionalisme, identitas nasional merupakan fondasi kesatuan sosial-politik. Namun, di era globalisasi yang semakin terintegrasi, tantangan dan masalahnya melintasi batas nasional. Para aktivis khilafah mencoba untuk membangun jaringan kerja sama dalam menanggapi masalah nasional menjadi transnasional. Bahwa apa pun yang terjadi pada negara ini hari ini, terutama pasca-Pemilu, solusinya adalah negara khilafah.

Sementara itu, menerima hasil Pemilu memiliki kaitan erat dengan jiwa nasionalisme. Prinsip kedaulatan diproyeksikan untuk negara, dengan cara memperbaiki tatanan demokrasi—alih-alih merombaknya. Hanya dengan spirit nasionalisme, seseorang akan kebal dari propaganda para transnasionalis yang selalu khilafah tahririyah. Tidak hanya itu, dengan spirit nasionalisme pulalah kedewasaan berdemokrasi akan tergapai.

Dengan demikian, mari bersama-sama berdemokrasi secara dewasa. Pemilu usai, gotong-royong menuju Indonesia yang lebih baik merupakan sesuatu yang niscaya. Jika tidak bisa ke tahap itu, paling tidak menghindari nyinyiran-nyinyiran ala transnasionalis HTI yang meresahkan. Pada saat yang sama, gerakan propaganda HTI juga perlu ditindak tegas. Jika mereka selalu memprovokasi masyarakat, aparat harus turun tangan menyelesaikannya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru