29.5 C
Jakarta

Menentang Tuduhan Kaum Radikal: Islam Moderat Bukan Islam Pro-Barat!

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenentang Tuduhan Kaum Radikal: Islam Moderat Bukan Islam Pro-Barat!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sudah banyak menggema wacana-wacana terkait moderasi Islam di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Wacana tersebut sangat patut untuk diimplementasikan di negara yang mayoritas masyarakatnya beragama.

Urgensinya adalah mewujudkan masyarakat madani yang berlandaskan kemanusiaan sehingga membentuk komunitas yang mampu berdialog dengan baik, rukun, dan penuh rasa saling menghargai.

Moderasi: Identik Barat?

Di kancah peradaban dunia sekarang ini, kita kenal peradaban wilayah Timur dan wilayah Barat. Wilayah Timur identik dengan corak keislaman yang kental dengan eksklusivisme agama. Sedangkan wilayah Barat dipelopori oleh gagasan kritis dari para ilmuwan, yang menganjurkan untuk berpikir secara bebas.

Dalam moderasi beragama, masyarakat dituntut untuk mampu secara kritis membaca ulang realita teks agama yang kemudian direlevankan dengan problematika zaman. Dalam artian, praktik penafsiran teks agama perlu dilakukan secara kritis. Berbeda dengan paham agama yang bersifat eksklusif, yaitu menyembah literatur teks apa adanya.

Dengan demikian, dengan adanya wacana kritis dari Barat untuk berpikir kritis, moderasi beragama sering kali dikaitkan dengan wacana kebarat-baratan, Islam liberal, dan lainnya.

Haruskah Moderat?

Moderat merupakan sikap keagamaan yang lurus, di tengah, tidak bertendensi ke mana pun, sebagai upaya menjaga stabilitas umat. Islam yang moderat berarti sikap atau upaya berpikir yang lurus, dengan landasan keimanan dan keilmuan, serta membentuk pola pikir masyarakat yang mencintai keadilan dan perdamaian.

Berkaca dari tragedi-tragedi kekerasan yang mengatasnamakan agama, bahwa hal semacam itu merupakan kecacatan dalam beragama yang bersumber dari ideologi pikiran yang anarkis dan radikal.

Pada akhirnya, yang ditunjukkan adalah sikap sentimentil dan subjektivitas dalam menegakkan syariat, yang pada akhirnya membentuk gerakan seperti transnasional dan terorisme. Islam moderat menganggap hal itu sebagai ghulluw fi al-diin (berlebih-lebihan dalam beragama).

Ghulluw fi al-diin sendiri merupakan sikap beragama yang dikecam oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam negara-bangsa (nation-state) yang perlu ditunjukkan bukanlah agresivitas melainkan kualitas. Hal yang semacam itulah yang diinginkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Moderat Bukan Pro-Barat

Telah dijelaskan di atas, bahwa Barat memiliki jalan interpretasi yang kritis dan radikal, yang tidak dimiliki oleh bangsa Timur. Pikiran moderat dalam beragama mewarisi sikap-sikap kritis dari bangsa Barat, termasuk mengaplikasikan sikap kritis tersebut ke dalam ranah interpretasi teks agama.

BACA JUGA  Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Kendati demikian, sejatinya Islam telah memiliki nilai-nilai kritis tersebut. Hal itu tercermin dari tokoh-tokoh Islam pada masanya seperti al-Farabi, Ibn Arabi, Ibn Khaldun, al-Khawarizmi, dan lain-lain. Akan tetapi, yang mencolok di mata dunia adalah bahwa peradaban Baratlah yang memberikan pondasi metodologis tersebut.

Yusuf Qardhawi pernah menyebut umat Muslim yang mengekor ke Barat dengan sebutan budak pemikiran Barat (‘abid al-fikr al-gharabi). Ia menilai bahwa kelompok Islam jenis ini merupakan kelompok yang tidak bangga dengan keislamannya.

Mereka tidak menggunakan Al-Qur’an, sunah, pendapat para sahabat, tabiin, dan pengikut tabiin sebagai pedoman, melainkan hanya mengekor kepada gagasan Barat yang mereka nilai sebagai simbol kemajuan.

Ini tidak bisa dibenarkan. Juga bukan berarti umat Islam tidak boleh berdialektika dengan pemikiran Barat. Akan tetapi yang harus ditetapkan di dalam hati mereka adalah keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah hudan, Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya memuat pengetahuan yang kompleks, lahiriyah maupun rohaniah.

Hakikat Paham Moderat

Barat melihat Islam sebagai agama yang teror dan radikal. Asumsi itulah yang menjadi salah satu faktor terbesar dari adanya gagasan Islam moderat. Pada dasarnya Islam moderat memiliki fungsi memberikan definisi Islam yang berwibawa tentang Islam yang benar.  Islam moderat juga menjadi wacana tentang sikap kontradiksinya dengan Islam ekstrimis.

Akan tetapi, nilai-nilai Barat yang terinternalisasi dalam paham moderasi yang diharapkan mampu membentuk ajaran yang sistematis dan relevan, justru membawa kepada paham yang relatif jauh. Paham moderat ditampilkan dengan keimanan dan kepercayaan terhadal nilai-nilai liberal.

Lebih jauh lagi, bahwa Islam moderat tercipta dari nilai-nilai pencerahan bangsa Eropa/Barat. Jika tidak dengan gerakan liberalisme sekuler, maka tidak akan muncul paham Islam moderat. Asumsi tersebut tidak benar-benar bisa disalahkan, tetapi akan menjadi kekacauan jika dengan asumsi tersebut pada akhirnya Islam moderat menjadikan Barat sebagai kiblat agama.

Pada hakikatnya, Islam moderat menginginkan Islam yang tertib, damai, dan toleran. Nilai-nilai tersebut, pastinya sudah tercantumkan dalam ayat-ayat Tuhan dan titah Rasul. Nilai-nilai Barat, hanya perlu dijadikan opsi untuk mengupas perintah-perintah Tuhan dan rasul-Nya tersebut. Kiblat Islam moderat tetaplah Al-Qur’an dan sunah, sedangkan peradaban Barat tidak patut dijadikan kiblat.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru