29.5 C
Jakarta

Menempatkan Feminisme pada Tempatnya

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMenempatkan Feminisme pada Tempatnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Feminisme lekat dengan pengertian bahwa ketertindasan perempuan seolah-olah hanya disebabkan oleh diskriminasi gender. Pengertian tersebut lahir dalam konteks negara Barat dan menjadi postulat pada kajian gender. Dengan kata lain, dalam negeri dan bangsa mana pun hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang akan menindas perempuan.

Dalam perenungan historis, Margaret Walters melalui garapannya “Feminisme: Sebuah Pengantar Singkat” menjelaskan bahwa konteks feminisme bagi wanita kulit putih (perempuan Eropa) kelas menengah sering berkonsentrasi pada diskriminasi gender, sementara cenderung mengabaikan masalah perbedaan kelas dan diskriminasi ras.

Sedangkan, perempuan Brasil berpendapat bahwa feminisme terlalu eurosentris, bernuansa Eropa. Seakan melupakan masalah lokal yang mendesak, seperti kekerasan rasial, masalah kesehatan, dan kesulitan yang mungkin perempuan kulit hitam hadapi ketika mencari pekerjaan (Walters, 2021:172).

Jadi realitas perempuan di tiap masyarakat berbeda. Dalam penjelasan Margaret Walters, feminisme Barat berjuang keras melawan ketidaksetaraan sosial dan politik serta seksisme sementara feminisme di negara dunia ketiga memiliki masalah yang lebih kompleks. Yakni, ketidaksetaraan sosial dan politik dan juga seksisme ditambah dengan praktik lokal yang mengakar, agama, kelas, kasta, bias etnis dan warisan kolonialisme.

Akar Feminisme di Barat

Dalam berbagai buku feminisme terkhusus pada part yang membahas sejarah munculnya feminisme sering kali merujuk pada kisaran abad ke-18 di Eropa. Konteks zaman tersebut menggambarkan kondisi perempuan yang disubordinasikan oleh sistem. Perempuan memiliki akses yang terbatas dibanding laki-laki. Misalnya dalam pendidikan, perempuan dilarang memasuki perpustakaan tertentu.

Mary Wollstonecraft mengakui bahwa, pada zaman yang ia tinggali yakni paska Revolusi Perancis pada abad 18-an, wanita lebih rendah, tertindas sejak lahir dengan imajinasi kecantikan yang menjadikannya sebagai objek seksual, tidak berpendikan, dan terisolasi dari dunia nyata (Walters, 2021:58).

Secara lebih lanjut, Wollstoncecraft mengatakan bahwa jika ada wanita yang bertindak seperti manusia (rasional) akan dicap sebagai ‘maskulin’ atau dalam bahasa sekarang ‘tomboy’. Dengan nada sinis ia melanjutkan ‘jika menjadi lebih maskulin diartikan lebih rasional, maka perempuan seharusnya menjadi lebih maskulin’.

Secara umum, pada abad ke-18 an ini gerakan feminisme dinamai dengan gerakan feminisme gelombang pertama. Pada fase ini, penghapusan standar ganda, pemerataan pendidikan, hak pilih perempuan menjadi suatu persoalan yang wajib diperjuangkan.

Namun dengan keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki oleh para aktivis feminsime zaman itu masih berkutat pada struktur tunggal, dengan kata lain masih berkutat pada menunut kesamanan antara perempuan dan laki-laki dalam klausa yang sama yakni sistem yang patriarkis.

BACA JUGA  Perempuan dan Keadilan Gender: Sebuah Telaah Ulang

Mereka mengabaikan kejamakan struktur perempuan yang beragam. Seperti, warna kulit, suku, ras, kecenderungan seksual dan lain sebagainya.

Ambil contoh misalnya, perempuan kulit hitam yang menerima penindasan di negeri kulit putih yang tentunya akan menimpa beban ganda ketimbang perempuan kulit putih. Misal lain, perempuan di negeri dunia ketiga yang tidak hanya dihantam dengan relasi kuasa yang didominasi laki-laki namun dibombardir dengan kolonialisme.

Feminisme Multikultural sebagai Solusi

Feminisme multikultural meyakini bahwa di dalam satu negara sekalipun, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksi secara seragam. Ada kompleksitas yang lebih konkret untuk memotret perempuan secara lebih aktul.

Seperti aspek ras, etnis, suku dan kelas, kecenderungan seksual, usia, agama, dan lain sebagainya yang secara tidak langsung akan mengimplikasikan perbedaan opresi yang dialami seorang perempuan dengan perempuan lainnya.

Sehingga feminisme model ini menolak suara yang berbicara atas perempuan lain (Tong, 2008:309). Hal tersebut dikembangkan oleh tokoh poskolonial India, Gayatri Spivak melalui essaynya yang bertajuk “Can Subaltern Speak?”. Spivak menanyakan dengan tajam siapakah yang berhak berbicara atas nama perempuan di negeri terjajah.

Juga Mohanty yang membongkar beberapa gagasan feminisme Amerika yang malah menjadikan perempuan sebagai objek. Bell Hooks juga mengecam feminisme ala kulit putih yang menafikan kebangkitan Black-Female.

Gagasan feminisme multikultural jauh lebih mengupayakan diskurus yang bersifat emansipatoris bahwa perempuan dalam relasinya bukan semata-mata menjadi subordinat laki-laki dan patriarki. Hemat Melani Budianta, bukan hanya budaya patriarki yang menjadi klausa tunggal yang menindas perempuan, namun kapitalisme dan tafsir atas agama juga dapat menjadi faktor yang lain.

Di sini perempuan tidak hanya menjadi kaum yang tertindas, melainkan menjadi kaum ‘subaltern’ yakni kelompok yang tertindas dan juga tidak dapat berbicara.

Feminisme ala Barat, menjadikan tradisi atau budaya sebagai faktor yang mengakibatkan ketertindasan bagi perempuan. Di sini mengimplisitkan pengertian bahwa dalam konteks budaya Indonesia atau Jawa seperti peran domestik perempuan akan mendangkalkan perempuan.

Namun apakah demikian, apakah peran perempuan dalam kegiatan ‘rewangan’ tidak memuat nilai liberte? Atau seruan kepada perempuan untuk keluar rumah pasti akan menghasilkan nilai liberte bagi perempuan?

Kembali pada poin utama, feminisme pada awalnya memuat tujuan pembebasan perempuan dari ketertindasan. Sehingga tidak seyogianya faktor ketertindasan yang ada di sana (Barat) diadopsi dengan kita yang ada di Indonesia. Di sini perlunya melihat konteks bangsa sendiri dan menempatkan perjuangan feminisme pada tempatnya.

Satrio Dwi Haryono
Satrio Dwi Haryono
Pegiat Komunitas Dianoia. Minat pada kajian kefilsafatan, keislaman, dan kebudayaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru