29.3 C
Jakarta

Mencekal Haikal Hassan, Melawan Dakwah Kebencian

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMencekal Haikal Hassan, Melawan Dakwah Kebencian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Haikal Hassan kembali menjadi perbincangan publik belakangan ini. Setidaknya ada dua kasus yang tengah menimpa sosok yang merupakan salah satu pentolan gerakan 212 ini.

Pertama, kasus pengusiran dirinya saat akan berceramah di Malang. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial tampak sekumpulan massa berteriak “Usir Haikal Hassan” dan “NKRI harga mati”. Sementara dalam video itu, tampak Haikal Hassan tengah masuk ke mobil SUV hitam.

Kedua, beredarnya poster di media sosial yang menyebut Haikal Hassan akan melaksanakan kegiatan di Yonif Para Raider 502/UY. Namun, informasi dalam poster itu dibantah oleh Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Tatang Subarna. Menurut Kadispenad, sebelumnya Haikal meminta izin mengadakan pengajian di Yonif Para Raider 502/UY dengan mengundang masyarakat umum. Namun, pengajuan izin itu ditolak.

Polemik, kontroversi, dan kegaduhan seolah memang telah melekat pada sosok yang satu ini. Sejak kiprahnya mencuat pada demonstrasi berjilid-jilid bertajuk “Aksi Bela Agama”, “Aksi Bela Ulama”, “Aksi Bela Islam” di momen panas Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, namanya kian masyhur di jagad politik Indonesia.

Di satu sisi ia kerap tampil sebagai oposisi pemerintah yang keras mengkritik setiap kebijakan pemerintah. Apa pun program dan kebijakan pemerintah pasti tidak luput dari kritiknya.

Di sisi lain, ia juga kerap tampil sebagai agen isu khilafah atau syariah. Dalam banyak kesempatan, ia kerap mengampanyekan sistem khilafah dan penerapan syariah. Ironisnya, ia pandai mengkamuflasekan propaganda khilafah dan syariahnya itu melalui sejumlah istilah. Mulai dari “NRKI Bersyariah”, “Khilafah Nusantara”, sampai “Khilafah Pancasila”. Jargon-jargon itu sengaja diciptakan untuk mengemas isu khilafah dan syariah agar relevan dengan konteks keindonesiaan.

Haikal Hassan, hanyalah satu dari sekian banyak pendakwah baru yang berkarakter konservatif, radikal, dan anti-nasionalisme. Di dalam dakwahnya, ia memang kerap mengaku mendukung Pancasila dan NKRI. namun, pernyataan itu tidak lebih dari sebuah lip service belaka. terbukti dalam setiap dakwahnya, ia kerap menebar kebencian, baik pada kelompok agama lain maupun terhadap pemerintah.

Model dakwah berbasis kebencian ala Haikal Hassan, dan sejumlah nama lain, sebut saja misalnya Bahar Smith, Yahya Waloni, Sugik Nur, atau mendiang Maher Tuwailibi ini jelas mengancam kerukunan umat dan persatuan masyarakat. Maka, sudah tepat kiranya jika masyarakat bergerak sendiri untuk mencekal para ustaz abal-abal yang gemar menebar kegaduhan.

BACA JUGA  Darurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!

Mencekal Haikal Hassan tidak bisa diartikan sebagai memberangus kebebasan berpendapat. Justru sebaliknya, mencekal Haikal Hassan ialah bagian dari merawat kebebasan berpendapat.

Sistem demokrasi kita harus ditegakkan dengan jalan memastikan bahwa ruang publik kita tidak dikuasai oleh para penebar hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian. Pencekalan Haikal Hassan dengan demikian bisa dikatakan sebagai bagian dari melawan dakwah kebencian.

Sudah terlalu lama kita dibuat jengah oleh para oknum ustad, ulama, atau penceramah agama yang membajak panggung dakwah untuk menebar kebencian. Mereka menjadikan agama sebagai alat agitasi politik untuk menghasut publik agar tidak percaya lagi pada umara-nya. Bertahun-tahun lamanya ruang publik beragama kita kotor oleh oknum-oknum semacam ini.

Sayangnya, pemerintah acap kali pasif dalam merespons fenomena ini. Ada kesan pemerintah melakukan pembiaran. Bisa jadi pemerintah sungkan menindak para ustaz provokatif itu lantaran khawatir diserang oleh isu islamofobia, anti-Islam, kriminalisasi ulama dan isu sejenis yang kerap menjadi senjata kelompok oposisi.

Pada akhirnya, publik lah yang turun tangan, dengan jalan mencekal para penceramah agama provokatif tersebut. Selama ini, tidak hanya Hassan Haikal saja yang pernah ditolak berceramah oleh masyarakat. Penceramah lain seperti Abdul Somad, Bahar Smith, Sugik Nur, Yahya Waloni, Bachtiar Nasir, dan sejumlah nama lainnya pernah mengalami hal serupa. Ini menandakan bahwa sebenarnya masyarakat sudah jengah dengan manuver para oknum ustaz tersebut.

Ke depan, persoalan terkait ceramah agama provokatif yang meresahkan umat ini patut disikapi lebih serius. Perlu ada aturan hukum yang jelas untuk memastikan panggung dakwah tidak dicemari oleh kebencian dan provokasi. Di saat yang sama, pemerintah tidak perlu takut menindak para penceramah agama yang terbukti melanggar aturan, seperti menyebar hoaks, memfitnah, dan menyebarkan ujaran kebencian.

Di sisi lain, penting pula untuk membangun pemahaman dan kesadaran di kalangan umat beragama, utamanya Islam agar selektif memilih kajian keagamaan. Umat perlu kritis dalam memilih ustaz atau ulama yang akan dijadikan rujukan sekaligus teladan dalam beragama.

Nurrochman
Nurrochman
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru