28.2 C
Jakarta

Membuang Jauh-jauh Stigma Islamofobia di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembuang Jauh-jauh Stigma Islamofobia di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tidak bisa disalahkan juga bahwa dari kacamata Barat Islam masih dijadikan sebagai objek ketakutan dan kekhawatiran akan kedamaian dunia. Pasalnya, dalam internal Islam masih banyak ajaran yang berbasis fundamentalisme, yaitu sikap keagamaan yang kaku dan brutal.

Di Indonesia, gerakan anti-terorisme dan radikalisme masih gemar dilancarkan karena memang masih banyak gelombang terorisme yang merebak di sudut-sudut negara. Maka dari itu, Islam harus diwujudkan sebagai agama yang suci dan yang tidak mudah terprovokasi, sehingga jauh dari anggapan bahwa Islam adalah agama yang kaku.

Istilah Islamofobia

Islamofobia adalah ketakutan terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Bersumber dari ketakutan yang hinggap di dalam diri seseorang, maka muncullah sikap kekhawatiran, kebencian, prasangka buruk, dan sikap-sikap negatif lain yang itu tertuju pada Muslim dan agama Islam itu sendiri.

Pada mulanya, islamofobia ini diperkenalkan oleh Etienne Dinet pada tahun 1922 dalam bukunya yang berjudul L’Orient vu del’Ocident. Kemudian, pada tahun 1990 istilah islamofobia semakin marak sehingga sudah menjadi bahasa yang didefinisikan sebagai bentuk diskriminasi orang Barat kepada masyarakat Muslim.

Kendati demikian, para ahli tetap merumuskan islamofobia sebagai ideologi ketakutan yang tidak rasional (irrasional fear) terhadap umat Islam. Salah satu paham yang terbesar dalam ideologi ini adalah bahwa setiap Muslim merupakan penganut fanatik agamanya, yang menolak dan menafikan wacana-wacana tentang kesetaraan, humanitas, demokrasi, dan toleransi.

Islamofobia dan Sejarahnya

Satu hal yang sangat mengkhawatirkan oleh kalangan Islam adalah bahwa islamofobia mencurigai agama Islam dan para penganutnya adalah gembong fenomena terorisme. Hal ini bukan tanpa sebab. Dalam sejarah, kebencian terhadap kaum Muslim sudah terepresentasikan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah Perang Salib.

Kebencian tersebut semakin bertambah dengan tragedi bom di Amerika Serikat tahun 2001, dan juga pengeboman yang terjadi di London pada tahun 2005. Tragedi ini dimanfaatkan oleh kelompok kanan konservatif di seluruh belahan dunia Eropa untuk semakin menambah kecurigaan, prasangka, dan kebenciannya terhadap Islam.

Organisasi-organisasi tersebut antara lain French National Front (Prancis), British National Party (Inggris), Austrian Freedom Party (Austria), Belgian Flemish Block (Belgia), Italian Northern League (Italy), dan Pim Fortuyn List (Belanda). Organisasi-organisasi tersebut menyamakan suara untuk menyudutkan Islam sebagai biang dari tragedi peneroran tersebut.

Setelah didalami oleh para ahli, kemudian terungkap bahwa Al-Qaeda, kelompok Islam konservatif, ditetapkan sebagai biang keladi dari kejadian radikalisme sejak 1.300 tahun yang lalu. Dari kejadian tersebut, negara Turki juga mendapatkan dampak yang tidak kecil. Kerja sama yang dilakukan Turki dan Uni Eropa dalam European Economic Community mengalami kendala, karena Turki yang budayanya kental dengan Islam dicurigai oleh sebagian anggota organisasi.

BACA JUGA  Menjaga Persatuan dalam Keberagaman Agama

Islamofobia di Indonesia?

Fakta yang tidak bisa dibantah adalah Indonesia merupakan negara dengan Muslim terbanyak di dunia. Negara yang diterpa isu islamofobia biasanya negara dengan penduduk Muslim yang minoritas seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa fenomena islamofobia di Indonesia muncul.

Disebutkan oleh Global Terrorism Database dalam dua dekade terakhir, terdapat 682 insiden teroris yang terjadi di Indonesia yang berarti Indonesia memperoleh indeks sebesar 5.5, dan itu merupakan angka yang tinggi. Dengan banyaknya insiden semacam ini, maka fenomena islamofobia bisa semakin naik ke permukaan, dan umat Islam akan mendapatkan stigma negatif oleh penganut agama lain.

Di Indonesia, nuansa islamofobia pernah terasa pada tahun 2015. Kejadiannya adalah pemblokiran yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo RI kepada 19 situs yang di antaranya adalah arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, dan situs-situs keislaman lainnya.

Selain itu, fenomena hijrah juga pernah dicurigai oleh pemerintah pada masanya. Pembahasan tentang “Tren Gaya Hidup Hijrah: Peluang atau Ancaman NKRI”, pada tahun 2019, juga merupakan satu fenomena yang menyisir terminologi islamofobia.

Tren hijrah tersebut dicurigai dengan usaha kelompok radikal untuk naik ke permukaan, sehingga dalam diskusi tersebut pemerintah menyarankan agar masyarakat yang mengikuti tren hijrah tidak terjangkit virus radikalisme dan eksklusivisme.

Membuang Term Islamofobia

Dengan kumpulan informasi tersebut, lantas bagaimana cara masyarakat Muslim untuk membasmi islamofobia di Indonesia? Sebagaimana ajaran langsung dari Nabi Muhammad bahwa Islam harus menampakkan kelembutan. Seperti hadis beliau yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,

يَسِّرُوا وَلاَ تعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا

Permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lain lari”.

Hadis tersebut merepresentasikan bahwa Islam perlu menampakkan sikap keramahan dan penuh toleran. Sehingga, tidak ada umat lain yang lari karena takut oleh Islam.

MUI merekomendasikan bahwa Muslim Indonesia selain ramah dan santun juga harus menampakkan Islam wasatiah di seluruh sudut negeri. Hal ini akan menghindari ketakutan umat lain kepada Islam.

Kemudian, belajar dari tragedi Muslim Uighur di China, pemerintah di sana menyubsidi kesadaran masyarakat akan Islam yang sejati. Yaitu Islam yang penuh akan nilai kebijaksanaan dan kemuliaan.

Dalam proses penyadaran masyarakat ini, pemerintah perlu menggunakan fasilitas-fasilitas publik seperti media internet dan lain-lain untuk menyiarkan Islam.

Paling tidak, pemerintah perlu memberikan pemahaman bahwa di Indonesia ini masih terdapat kelompok-kelompok radikal yang patut dijadikan ancaman. Sehingga, umat lain memiliki pemahaman bahwa tidak semua masyarakat Muslim identik dengan gerakan terorisme.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru