27.6 C
Jakarta

Manfaat Menulis Untuk Santri

Artikel Trending

KhazanahManfaat Menulis Untuk Santri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada banyak alasan mengapa santri mengapa santri perlu menulis. Yang paling sering diungkapkan adalah sebagai sarana dakwah kepada orang lain. Akan tetapi, tahukah bahwa menulis juga tak kalah memberi pengaruh penting kepada diri santri sendiri? Terutama untuk membantu santri agar sukses dalam proses belajar yang dijalaninya.

Menulis yang dimaksud di sini bukanlah hanya membuat tulisan panjang di sebuah kertas khusus. Melainkan  bisa menulis pendek di secarik kertas bekas, atau mungkin kertas bekas pengumuman yang bisa ada di kelas-kelas belajar. Dan materi yang dituliskan bisa berupa pemahaman dari suatu kitab. Terutama tatkala berusaha menyusun kata-kata yang tepat sebagai murad (penjelasan) dari keterangan kitab yang sedang dipelajari. Lalu, apa saja manfaat menulis yang kembali pada diri santri?

Menulis Itu Meluapkan Ide

Menulis bermanfaat untuk menata sebuah ide. Menuliskan pemahaman kita akan sebuah keterangan kitab dapat membantu menyusun kata-kata yang tepat. Sehingga lebih mudah menentukan murad serta uraian yang tepat dari sebuah keterangan. Ambillah sebagai contoh saat menuliskan keterangan dari kitab Jurmiyah: “Kalam adalah lafadz yang tersusun, berfaidah dan menggunakan Bahasa Arab.”

Tentu kita kemudian akan berfikir lalu bagaimana dengan pendapat yang mengartikan wadha’ dengan bilqasdi? Kita pun kemudian mengambil kesimpulan bahwa keterangan di atas belumlah lengkap. Dan akan lebih lengkap bila diubah menjadi: “Kalam adalah lafadz yang tersusun, berfaidah, dan menggunakan Bahasa Arab menurut satu pendapat, serta dengan adanya unsur kesengajaan menurut pendapat yang lain” Lebih lengkap bukan!

Mungkin akan ada yang menyanggah bahwa bukankah cukup dengan diingat saja, tanpa perlu dituliskan? Pertama, menulis keterangan akan menghindari kita dari sifat lupa. Kedua, kadang, suatu ide saat hanya ada dalam pikiran saja dan belum dituliskan. Uraiannya masihlah tidak terlalu jelas, dan masih berubah-ubah sebab yang mengukur tepat atau tidaknya uraian tersebut adalah kemantapan hati. Tetapi, tatkala ditulis, kita pasti akan dipaksa untuk tegas memilih mana kata-kata yang tepat. Ketiga, dengan menuliskan apa yang ada dalam pikiran, kita seakan-akan memiliki kawan yang bisa diajak diskusi tentang permasalah yang kita bahas. Kawan tersebut tak lain adalah tulisan kita sendiri.

Saat kita menulis pemahaman kita akan potongan keterangan kitab Jurmiyah di atas: “Kalam adalah lafadz yang tersusun, berfaidah dan menggunakan Bahasa Arab.” Kita bisa lebih mudah berfikir kritis dan menemukan adanya kejanggalan-kejanggalan. Baik dalam segi bagaimana kita mengartikan atau bisa saja kejanggalan itu muncul memang dari susunan teks Arabnya. Semisal kita bisa mempertanyakan yang dimaksud berfaidah itu, apa lafadz itu saja yang berfaidah, atau lafadz yang sudah tersusun itu berfaidah? Kalau memang yang dimaksud adalah lafadz yang sudah tersusun, bukankah seharusnya “berfaidah” adalah sifat dari “tersusun”?

BACA JUGA  Sastra Terjemahan: Dari Diplomasi Kultural Hingga Soal Garapan

Tulisan Mudah Dipahami

Umum diketahui bahwa santri dalam belajar tidak hanya dituntut untuk mampu mengamalkan, tapi juga mengajarkan maupun membagikan apa yang sudah dipelajari kepada orang lain. Sebab mengajar juga bentuk dari mengamalkan ilmu. Dan aktivitas mengajar menuntut agar si pengajar piawai dalam menjelaskan apa yang sudah ia ketahui.

Dengan menuliskan apa yang ada di pikiran kita, kita juga bisa kemudian mengukur apa yang akan kita sampaikan nanti sudah bisakah difahami oleh orang lain ataukah belum. Contohnya, pengertian kalam dalam kitab Jurmiyah berupa kata al-Mufid tepatkah hanya kita artikan sebagai “berfaidah”? Bukankah masih perlu keterangan seperti apakah faidah yang dimaksud? Bagaimana kalau “berfaidah” tersebut kita ganti dengan “menyampaikan suatu informasi”? Lebih jelas bukan daripada sekedar berfaidah?

Hasil tulisan tersebut bisa kita sampaikan tatkala kegiatan musyawarah atau diskusi, yang lazimnya untuk mengulang pelajaran yang diajarkan di pertemuan yang lalu. Kegiatan musyawarah bisa menjadi alat ukur apakah penjelasan kita sudah mampu memahamkan atau belum. Selain itu, saat kita sudah tahu bahwa penjelasan kita sudah mampu memahamkan, kita juga bisa mengukur apakah para peserta musyawarah memperoleh pemahaman dengan jarak cukup lama atau langsung faham. Sebab bila masih perlu jeda waktu cukup lama atau pengulang-ulangan, kita masih bisa belajar dan belajar lagi untuk mengolah kata-kata lagi.

Masyarakat yang kelak kita hadapi akan lebih rumit dari peserta musyawarah tersebut. Masyarakat adalah peserta yang mungkin tidak punya minat untuk bisa memahami apa yang kita sampaikan. Apalagi bila penjelasan kita dinilai memusingkan oleh mereka. Wal hasil, lewat usaha kita untuk berulang-ulang memahami materi, mengolah kata untuk menjelaskannya serta menuliskannya, kita bisa untuk terus meng-evaluasi diri. Sudah siapkah kita berhadapan dengan masyarakat.

Mohammad Nasif
Mohammad Nasif
Lulusan Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru