29.2 C
Jakarta

Lima Alasan Kenapa Perempuan Terlibat dalam Jaringan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanLima Alasan Kenapa Perempuan Terlibat dalam Jaringan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tren keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme mengalami dinamika yang terus berubah. Diawal terjadinya kasus terorisme di Indonesia, perempuan direpresentasikan sebagai korban atas perilaku suaminya yang seorang teroris. Kemudian beralih menjadi support system, di mana perempuan tidak terlibat dalam aksi pengeboman maupun teror namun menyuplai semua kebutuhan suami sebelum melakukan aksinya.

Kemudian belakangan terjadi perubahan yang signifikan, seorang perempuan menjadi martir bersama dengan suaminya atau sering disebut dengan “pengantin”. Tak hanya sampai di situ, tren terakhir justru menunjukkan fakta yang mengejutkan. Perempuan bahkan menjadi seorang pelaku tunggal dan membawa bom seorang diri untuk diledakkan.

Perempuan sebagai martir ditemukan pertama kali di kasus bom bunuh diri pada kasus jaringan terorisme ISIS di Indonesia yaitu Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Dian telah mengikuti doktrin ekstremisme secara daring di bawah instruksi JAD yang berafiliasi dengan ISIS.

Di tahun 2018 aksi penyerangan yang dilakukan oleh perempuan kembali dilakukan oleh dua perempuan muda, Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millenia yang berencana melakukan penusukan terhadap anggota kepolisian di Mako Brimob. Kemudian diawal 2021, ada dua kasus besar yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang melakukan pengeboman di gereja Katedral Makassar, dan pelaku bom perempuan tunggal di Mabes Polri Jakarta

Alasan kenapa perempuan menjadi bomber

Ruby Kholifah, direktur AMAN Indonesia memberikan beberapa analisis berkaitan dengan alasan kenapa perempuan menjadi bomber. Adapun beberapa alasan tersebut antara lain:

Pertama, membuktikan eksistensi sebagai bagian dari “jihadis”. Dalam dunia terorisme, juga dikenal diskriminasi berbasis gender. Narasi yang berkembang diantara mereka adalah bahwa jihad laki-laki memiliki nilai lebih tinggi dibanding perempuan. Hal ini lantaran laki-laki banyak mengambil peran sebagai bomber dibanding perempuan yang hanya berperan sebagai support system. Oleh karena itu, demi mendapatkan nilai jihad yang sebanding dengan laki-laki, perempuan rela menjadi bomber.

Kedua, mendapatkan pengaruh dari keluarga. Doktrin ketaatan mutlak istri atas suami, dan ajaran rida Allah terletak pada rida suami adalah nilai pertama yang diinternalisasi oleh istri yang menikah dengan “mujahidin”. Karena petunjuk suami adalah manifestasi dari perintah Allah, maka seorang istri akan menuruti perintah suami tanpa tapi. Lingkungan keluarga yang seperti ini biasanya diawali dengan pernikahan atas dasar perjodohan yang tak bisa dihindari oleh perempuan.

Ketiga, penyebaran informasi melalui social media. Tren penyebaran ideologi radikal telah mengalami perkembangan yang signifikan. Muncul istilah “from backyard to diningroom” menunjukkan bahwa ideologi radikal juga berkembang di lingkungan yang senyap. Tafsir agama yang tekstual memenuhi laman social media, naasnya narasi tersebut sampai kepada kelompok yang minim literasi. Sehingga ideologi radikal lebih mudah tersebar dan mudah diterima oleh masyarakat awam yang melihat kebenaran dari satu perspektif saja.

BACA JUGA  Menyelisik Kembali Eksistensi Perempuan dalam Islam

Hal ini diperparah dengan banyaknya cerita romantisasi kombatan perempuan yang diproduksi oleh ISIS. Sehingga banyak pihak yang umumnya adalah mereka yang mengalami diskriminasi gender (buruh migran, perceraian, pelaku kawin sirri) tertarik untuk terlibat dengan tujuan sebagai penebus dosa.

Keempat, Kebijakan RAN PE dan PUG belum kuat. Negara kita telah memiliki SK PUG (Pengarusutamaan Gender) yang harus menjadi ruh aktifitas seluruh lembaga negara. Namun sayangnya, negara masih lemah dalam hal pencegahan (preventif). Negara masih menggunakan pendekatan penanganan atau eksekusi kasus per kasus yang terjadi.

Meskipun banyak perempuan yang terlibat, namun negara masih memfokuskan penanganan dengan membatasi mobilitas teroris laki-laki. Hal ini dijadikan peluang bagi kelompok teroris untuk menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku. Mereka menganggap perempuan dan anak-anak memiliki tingkat mobilitas yang lebih fkelsible dibanding dengan laki-laki.

Kelima, perubahan tren keluarga teroris dari jihad tandim ke fardiyah. Diawal kemunculannya, keluarga teroris melakukan gerakan dibawah intruksi  seorang pemimpin atau yang disebut dengan jihad tandim. Artinya, tanpa adanya intruksi dan arahan dari pimpinan, meraka tidak akan berani mengambil keputusan untuk berjihad.

Dalam perkembanganya, jihad tandim ini lebih mudah terdeteksi karena memiliki perangkat jaringan yang relative sama antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, berkembanglah istilah jihad fardiyah yang artinya setiap individu memiliki kewajiban untuk berjihad. Sehingga para individu yang telah terpengaruh ideologi radikal bebas melancarkan aksinya sesuai dengan keyakinan pada dirinya meskipun tanpa arahan dari pimpinan.

Karena bersifat parsial, maka gerakannya sulit untuk terdeteksi. Di satu sisi mereka memiliki konektifitas idiologi yang siap melancarkan aksi jika mereka yakin bisa melakukan di waktu dan tempat yang tepat. Dalam keadaan inipula, laki-laki beranggapan bahwa perempuan bisa dimanfaatkan untuk mengelabuhi actor keamanan. Atas dasar itulah, bomber perempuan diyakini memiliki potensi sukses lebih tinggi dibanding dengan laki-laki.

Diskriminasi Gender Sebagai Muara

Penempatan perempuan sebagai masyarakat kelas dua memaksa perempuan untuk menunjukkan sisi maskulinitasnya. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kesempatan untuk berjihad sebagaimana laki-laki. Posisinya yang termarjinalkan ini juga memaksa perempuan untuk mencari sosok pemimpin yang diyakini bisa menjadi pelindungnya.

Ketika perempuan sudah merasa mendapatkan sosok yang bisa memimpin dan membawanya ke kehidupan yang diyakini lebih baik, maka apapun yang disampaikan oleh suaminya akan dilakukan. Termasuk salah satunya dengan menjadi bomber. Kalaulah tidak mendapat keadilan di dunia, menjadi bomber diyakini sebagai salah satu bentuk pengorbanan untuk mendapatkan keadilan di akhirat.

Maka penting bagi negara untuk segera menyusun dan merealsiasikan strategi pencegahan aksi terorisme. Terutama pencegahan bagi perempuan dan anak yang pada dasarnya adalah korban dari kebijakan yang disepakati oleh golongan radikal.

Lutfiana Dwi Mayasari
Lutfiana Dwi Mayasari
Anggota Puan Menulis sekaligus alumni Magister Kajian Timur Tengah UI. Saat ini mengajar Sejarah Peradaban Islam di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian gender, perdamaian, hukum, dan politik Timur Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru