28.3 C
Jakarta

Napi Terorisme Tak Pernah Mudah Kembali ke Titik Balik

Artikel Trending

AkhbarNasionalNapi Terorisme Tak Pernah Mudah Kembali ke Titik Balik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Sekretaris Jemaah Islamiyah (JI) Hadi Masykur, baru enam bulan berkumpul kembali dengan keluarganya seusai mendekam di penjara selama dua tahun. Bagi napi terorisme, kembali ke rumah bukan jalan yang mudah. Film berjudul “Kembali ke Titik” merekam proses itu.

Hadi Masykur menjalani kehidupan yang relatif tenang saat ini di Semarang, Jawa Tengah. Dia menerima pembebasan bersyarat setelah 28 bulan menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane, Semarang. Sebagai eks anggota Jemaah Islamiyah (JI), tentu dia tidak bisa lepas dari bayang-bayang organisasi terlarang itu, dan para anggotanya yang masih aktif.

“Dikucilkan ataupun dipandang miring oleh kelompok lama itu merupakan satu hal yang pasti,” papar dia di Yogyakarta, Jumat (7/4).

Hadi Masykur bergabung dengan JI pada 1999. Dia ditunjuk menjadi sekretaris oleh pimpinan organisasi ini, Para Wijayanto. Aktivitasnya ada di bawah radar, sampai ketika sejumlah rekannya tertangkap pada periode 2016-2017. Rentetan penangkapan itu membuat sang pimpinan memerintahkan Hadi untuk melarikan diri.

Di tengah pelarian itu, Hadi akhirnya tertangkap pada 20 Mei 2020. Hakim memvonisnya 3,5 tahun, dan lewat mekanisme pembebasan bersyarat, Hadi bisa pulang ke rumah pada 17 September 2022.

Hadi merenungkan betapa berat hidup sebagai narapidana. Setelah pertemuan dengan peneliti terorisme Noor Huda Ismail, dia akhirnya memiliki misi untuk membantu teman-temannya hidup normal. Laki-laki yang kini menjalani hidup berdagang ini kemudian aktif terlibat dalam kegiatan rekonsiliasi. Salah satu misinya adalah menghentikan aksi terorisme, dan mengajak para pelaku untuk kembali berikrar setia kepada Tanah Air dengan konsekuensi mereka terhindar dari hukuman.

“Saya ingin sebanyak mungkin, sebisa mungkin, membantu teman-teman saya. Bagaimana mereka bisa menyelesaikan urusan ini, dan tidak harus semuanya melalui jalur pengadilan ataupun masuk penjara dulu,” paparnya.

Kembali ke Titik

Upaya Hadi untuk kembali ke keluarganya dan menjadi bagian dari masyarakat diabadikan dalam sebuah film berjudul “Kembali ke Titik”. Film ini diproduksi oleh Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP), dengan sutradara Ridho Dwi Ristiyanto. Produsen film ini, Noor Huda Ismail, mengungkapkan sinema tersebut menjadi semacam ajakan untuk melihat para teroris sebagai manusia biasa.

“Sebenarnya kembali ke titik itu kan metafora, nama istrinya kan Titik,” kata Noor Huda.

Kisah Hadi meninggalkan dunia terorisme, antara lain memang didorong oleh rasa cintanya kepada sang ibu, yang bernama Ngatiyah dan istrinya Siti Djawariyah yang dipanggil Titik. Karena itu, Kembali ke Titik dalam makna sebenarnya adalah kisah Hadi yang memutuskan untuk kembali hidup tenang dan pulang ke istrinya.

“Orang JI itu hidup biasa banget. Kesalahan kita memonsterkan mereka, tidak melihat aspek kemanusiaannya. Kita melupakan itu,” tambah Noor Huda.

Banyak teoris yang sebenarnya ingin pensiun. Karena itulah, Noor Huda memandang perlu ada cara baru yang digunakan untuk mengembalikan mereka ke masyarakat yang dia sebut sebagai rekonsiliasi.

“Ini curative justice. Ada enggak cara menyelesaikan hal ini di luar persidangan? Itu sebenarnya banyak,” ujarnya lagi.

BACA JUGA  Indonesia Perlu Bersiap Hadapi Potensi Ancaman dari Luar

JI, kata Noor Huda, memiliki setidaknya tiga jenis anggota. Yaitu mereka yang bergerak di depan, yang abu-abu, dan yang betul-betul klandestin atau rahasia. Hubungan antar mereka seringkali terputus dan tidak saling kenal. Kondisi semacam inilah yang pelik dan tidak bisa diatasi dengan pendekatan formal.

Film “Kembali ke Titik” mencoba menggambarkan bagaimana Hadi sebagai anggota JI tetaplah manusia biasa yang merindukan hidup tenang dengan ibu, istri dan anak-anaknya. Film ini merupakan produksi kedelapan dari Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP).

Noor Huda yang sedang menjalani fellowship di RSIS, Nanyang Technological University, Singapura ini menyebut radikalisme dan terorisme memerlukan cara pendekatan baru. Misalnya dengan mendorong kekuatan narasi positif dari para mantan narapidana terorisme dengan menggunakan pendekatan film dokumenter dan forum diskusi.

“Rencana ke depan, kami akan melakukan road show film dengan mengajak para credible voice untuk berdiskusi secara jujur dan terbuka terhadap isu yang sangat sensitif ini,” tambahnya.

Dukungan Penuh Keluarga

Direktur Rumah Kitab, Lies Marcoes, yang juga terlibat dalam produksi film ini mengatakan dirinya bisa memahami pilihan-pilihan sulit dari Hadi. Di satu sisi sebagai anggota JI, dia memiliki ideologi yang harus diperjuangkan, tetapi di sisi lain ada realitas di keluarganya yang harus menjadi pertimbangan. Karena itulah, Lies meyakini faktor keluarga penting dalam program deradikalisasi.

“Jadi, satu kata kunci yang menurut saya penting adalah penerimaan dari keluarga. Penerimaan yang tidak basa-basi dan tidak termakan oleh stigma atau stereotyping untuk mengasingkan Mas Hadi sebagai eks napiter,” ujar Lies Marcoes dalam review film ini.

Selain itu, Hadi sangat terbantu karena istrinya mengambil alih peran pencari nafkah dengan menjahit. Ini adalah wujud program deradikalisasi dengan menggerakkan sektor ekomomi napiter dan keluarganya.

Sementara penting bagi masyarakat untuk belajar memahami, mengapa seseorang seperti Hadi bisa memiliki ideologi seperti yang diterapkan JI.

“Saya kira, kita harus memahami pilihan-pilihan itu. Proses saya memahami mereka dan mereka memahami saya, memahami problem ekonominya, itu penting sekali untuk usaha deradikalisasi atau reintegrasi mereka di tengah masyarakat,” tambah Lies.

Mendampingi eks napiter menjalani kehidupan normal di tengah masyarakat memang penting. Sejumlah kasus menunjukkan pelaku teror adalah eks napiter yang selesai menjalani hukuman, lalu kembali ke jalan teror. Sebagai contoh, pada 17 Juli 2009 Bagus Budi Pranoto alias Abu Urwah adalah residivis yang beraksi kembali dalam peristiwa yang disebut sebagai pengeboman Mega Kuningan. Afif Sunakim, seorang eks napiter juga beraksi kembali pada 14 Januari 2016 dalam serangan teror di Thamrin.

Semantara pada 25 September 2017, eks napiter Juhanda melempar bom molotov ke Gereja Oikumene, di Samarinda. Begitu pula bom bunuh diri Astanaanyar Bandung, dilakukan oleh eks napiter Agus Sujatno pada 7 Desember 2022. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dari 1.290 eks napiter, sekitar delapan persen menjadi residivis.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru