26.5 C
Jakarta

Berita Hoaks dan Konten Radikal Tantangan Nyata Moderasi Beragama di Era Disrupsi

Artikel Trending

AkhbarDaerahBerita Hoaks dan Konten Radikal Tantangan Nyata Moderasi Beragama di Era Disrupsi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Bandung Barat  Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, berbagai tantangan moderasi beragama di era disrupsi saat ini. Masyarakat cenderung menyukai judul berita terkait agama yang bersifat provokatif dan heboh.

“Masyarakat bahkan lebih mudah mempercayai berita hoaks di media sosial. Ini menjadi bibit intoleransi yang akhirnya bisa menimbulkan kegaduhan dan bangsa terpecah,” kata Tubagus Ace Hasan Syadzily.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR menjadi narasumber Sosialisasi Moderasi Beragama bersama KUB-Kanwil Jabar di Lembang Asri Resort, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Sabtu (8/4/2023).

Hadir pula dalam kegiatan itu Kabag TU Kanwil Kemenag Provinsi  Jawa Barat Ali Abdul Latief, anggota DPRD Provinsi Jabar Edi Rusyandi, tokoh agama dan masyarakat di KBB.

Era disrupsi yang dimaksud merupakan masa terjadinya inovasi dan perubahan secara masif seperti saat ini. Hal itu disebabkan oleh munculnya sejumlah kreativitas baru di tengah budaya dan transformasi digital serta persaingan ketat dalam berbagai bidang.

Menurut Ketua DPD Partai Golkar Jabar itu, media online kini banyak berisikan penyebaran konten ujaran kebencian. Jika tidak diantisipasi dengan baik akan melahirkan beragam persoalan yang mengganggu kerukunan.

“Jika dulu belajar agama dengan kiai langsung, sekarang ke kiai google. Ustaz-ustaz dan pemuka agama di media sosial justru lebih dianggap memiliki otoritas keagamaan yang kuat,” ujar Kang Ace, sapaan akrab Wakil Ketua Komisi VIII DPR.

Tantangan berikutnya adalah munculnya konten-konten keagamaan radikal dan ekstrem menjadi mudah dikonsumsi tanpa konsultasi dengan otoritas keagamaan tradisional.

Padahal, moderasi beragama merupakan salah satu solusi untuk menyatukan perbedaan. Moderasi beragama yang dimaksud adalah upaya meningkatkan toleransi beragama bukan untuk mengubah apalagi melakukan modernisasi dan liberalisasi agama.

Kang Ace menuturkan, ada tiga sikap yang dapat merusak tatanan moderasi beragama, yaitu, fanatisme berlebihan, politisasi agama, dan menghalangi pelaksanaan ibadah.

Tiga sikap negatif ini dapat dihilangkan dengan bersikap moderat  (wasathiyah) dan saling menghargai perbedaan antaragama maupun internal agama. Tentunya ini dimulai dari pendidikan dini yang ada di tengah masyarakat, tutur Kang Ace.

BACA JUGA  Ancaman Terorisme Masuk Kampus, Ini Pembahasan Dosen MKU Untag

Kang Ace juga sempat mengungkap beberapa masalah terkait kerukunan umat beragama saat ini. Di antaranya muncul pandangan agama sektarian dan fanatisme berlebihan.

Termasuk di dalamnya politisasi agama yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik.

“Polemik dalam pendirian rumah ibadah, ujaran kebencian dengan mengatasnamakan agama atau kelompok tertentu juga merupakan masalah yang senantiasa kita hadapi,” ucap Kang Ace.

Tatantangan berikutnya adalah kenyataan yang terjadi dimana sebagian anak-anak harus terpapar radikalisme.

“ISIS berhasil mengubah konsep jihad menjadi urusan keluarga, dengan peran semua orang,” ujar Kang Ace mengutip pendapat Pengamat Radikalisme Internasional, Sidney Jones.

Sulit membayangkan sekitar 40 perempuan Indonesia dan 100 anak-anak di bawah 15 tahun berada di Suriah. Sebagian merasa terjebak oleh ajakan untuk berjihad, sebagian lain memang sadar penuh menjadi bagian dari ISIS.

Karena itu Kang Ace mengajak semua pihak untuk bisa menyosialisasikan moderasi beragama ke masyarakat. “Kita harus menjelaskan Indonesia bukan negara sekuler, juga bukan negara agama. Negara juga wajib memberi jaminan dan perlindungan kebebesan beragama serta melindungi kebhinekaan atau keragaman agama, budaya, dan ras,” tutur dia.

Kang Ace memberikan beberapa ciri sikap moderat dalam beragama yang harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan negara.

“Pertama moderasi beragama dapat ditunjukkan melalui sikap tawazun (berkeseimbangan), i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), dan musawah (egaliter),” ucap Kang Ace.

Kemudian syura (musyawarah), ishlah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), serta terakhir  tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif).

Kang Ace yang juga alumnus Pondok Pesantren (Ponpes) Cipasung itu mengatakan ada enam ciri beragama secara moderat.

Pertama, memahamai realitas. Kedua, memahami prioritas dan Ketiga, memahami prinsip gradualitas (sunnatu at-tadarruj) dalam segala hal.

Keempat, memudahkan dalam beragama. Tidak ketat dan kaku. Kelima, mengedepankan dialog, mau mendengar argumen kelompok lain dan tidak menganggap semua yang berbeda dengan pendapatnya pasti salah. “Keenam, bersikap terbuka dengan dunia luar dan toleran,” ujar dia.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru