26.7 C
Jakarta

Laicite: Antara Sekularisme dan Problem Konservatisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanLaicite: Antara Sekularisme dan Problem Konservatisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Perancis tidak seperti dulu. Ketika saya masih kecil, tidak ada masalah. Saya lahir di sini. Saya diterima,” kata Yetto Souiriy, ibu dari lima anak yang dilarang mengikuti perjalanan sekolah dengan putranya di Montreuil, kota kecil di pinggiran timur Paris, Perancis.

Yetto adalah Muslimah yang mendapat perlakuan diskriminasi karena mengenakan jilbab ketika mengantarkan anaknya ke sekolah. 

“Perancis kini tampaknya sedang memicu kemarahan terhadap umat Islam. Anda bisa mendengar sekelompok orang memaksa perempuan melepas jilbabnya di pasar. Bahkan orang tua di sekolah anak saya, memandang saya dengan cara yang berbeda karena saya tidak diikutsertakan dalam perjalanan. Saya punya banyak harapan bagi kelompok kiri Perancis, namun dalam hal diskriminasi, tidak ada yang berubah,” keluh Souiriy di hadapan jurnalis The Guardian, Angelique Chrisafis, 2013 silam.

Republik Perancis memang secara tegas memisahkan antara otoritas agama dengan negara di ruang publik, termasuk pada institusi pendidikan negeri.

Orang-orang seperti Yetto Souiriy tidak diperbolehkan menunjukkan keyakinan agamanya di depan publik dengan simbol lahiriah seperti jilbab.

Pekerja sektor publik, mulai dari guru hingga staf kantor pos atau stasiun kereta api, juga dilarang mengenakan jilbab, salib, sorban, atau kippa Yahudi. 

Prinsip agama di Perancis adalah sekular konservatif, atau dikenal dengan sebutan laicite. Konsep dan pemikiran ‘sekularisme’ ini diperkuat dengan pengesahan undang-undang pada tahun 1905. 

Laicite adalah prinsip tegas bahwa institusi negara Perancis benar-benar menyatakan diri netral terhadap agama, dan masyarakat bebas menentukan agama, bahkan untuk tidak menganut agama sekalipun.

Laicite Perancis yang terejawantah dalam UU 1905 penekankan sistem pendidikan bebas dari pengaruh agama, dan larangan menunjukkan simbol-simbol agama di ruang publik. Prinsip laicite inilah yang secara lestari menjadi dasar bagi sistem hukum dan tatanan sosial di Perancis hingga saat ini.

Konsep laicite sendiri sebenarnya menjadi kontroversi bagi masyarakat non-Perancis, dan sebagian kecil sayap kiri Perancis.

Prinsip laicite dinilai cenderung menggambarkan permusuhan daripada netralitas terhadap agama. Meskipun laicite menuai kontroversi pada beberapa aspeknya, faktanya prinsip laicite begitu melekat dalam diri orang-orang Perancis.

Awalnya prinsip laicite berlaku untuk semua agama, khususnya Katolik, akan tetapi perdebatan seputar prinsip ini kemudian semakin terfokus pada praktik umat Islam.

Ketegangan meningkat akibat adanya gerakan memusuhi kelompok imigrasi, dan peristiwa-peristiwa serangan teroris yang dilakukan oleh pendukung al-Qaeda, ISIS, dan organisasi ekstrem lainnya.

Sejak peristiwa penyerangan kantor surat kabar Charlie Hebdo di tahun 2015 yang menewaskan 12 orang, dan pembunuhan sandera Yahudi di supermarket memicu demonstrasi massal.

Kemudian bulan November di tahun yang sama, 130 orang tewas dalam serangkaian serangan, termasuk di gedung konser Bataclan di Paris. Berbagai jenis serangan terjadi berkali-kali sejak saat itu, dan yang terbaru adalah pembunuhan Samuel Paty dan tiga jamaah Kristen di Nice pada Oktober 2020.

Serangan-serangan yang diklaim dilakukan oleh organisasi-organisasi berbasis Islam ini meyakinkan warga negara Perancis bahwa mereka sedang diperangi.

Di saat yang sama, umat Islam Perancis berada di bawah tekanan untuk tidak mengakui kelompok ekstrem ataupun mengakui kesalahan karena berhubungan dengan mereka. Apapun kasusnya, posisi umat Islam di Perancis dipertanyakan.

Laicite kemudian kembali menjadi perbincangan ketika muncul generasi baru Muslim berdarah Perancis. Para politisi dari dua kubu yang berlawanan mulai memperdebatkan simbol-simbol keagamaan, seperti simbol apa yang dikenakan, siapa yang mengenakannya, dan pertanyaan sejenis lainnya.

BACA JUGA  Menelaah Film “13 Bom di Jakarta” dalam Perspektif Perempuan

Perselisihan tersebut berangkat dari perihal mengenai apakah anak perempuan Muslim diperbolehkan mengenakan jilbab di sekolah negeri di tahun 1989.

Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, pemerintah Perancis mengesahkan undang-undang baru tahun 2004. Undang-undang tersebut berisi larangan kepada siapa pun mengenakan simbol keagamaan yang mencolok di sekolah negeri.

Mereka tidak mengizinkan pemakaian salib besar, kippa Yahudi, hingga jilbab atau hijab. Kemudian di tahun 2010, undang-undang baru lainnya menyusul larangan penggunaan penutup wajah (niqab) di ruang publik.

Pelarangan Abaya

Sama halnya dengan larangan penggunaan jilbab cadar (niqab) pada 2004 silam, pemerintahan Perancis bakal melarang anak perempuan mengenakan abaya di sekolah-sekolah negeri. Hal ini dikarenakan busana berbentuk jubah panjang tersebut dianggap sebagai pemicu pertikaian baru dan melanggar prinsip laicite. 

Dilansir dari Le Monde, Menteri Pendidikan, Gabriel Attal, menyatakan gaya gaun panjang dan tergerai yang biasa dikenakan oleh sebagian siswi Muslim tidak lagi diperbolehkan mulai tahun ajaran baru, 4 September mendatang.

“Saya telah memutuskan bahwa abaya tidak lagi dikenakan di sekolah. Saat Anda masuk ke ruang kelas, Anda tidak seharusnya bisa mengidentifikasi agama murid hanya dengan melihat mereka,” ucap Attal yang baru saja menjabat pada awal musim panas ini dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi Prancis TF1, Minggu (27/8/2023).

Dalam konferensi pers, Attal juga menyampaikan bahwa sekolah-sekolah di Perancis terus-menerus diuji, dan selama beberapa bulan terakhir, pelanggaran terhadap laicite kian meningkat, khususnya dengan siswa yang mengenakan busana keagamaan seperti abaya dan kameez (kemeja panjang).

Gaun longgar, abaya, atau rok panjang selama ini masih berada di area abu-abu, di mana sebagian orang menganggapnya sebagai busana biasa pada umumnya, dan sebagian lainnya menganggapnya sebagai simbol keagamaan.

Namun demikian, pada November tahun lalu. Kementerian Pendidikan Perancis mengeluarkan surat edaran yang memasukkan abaya ke dalam kelompok pakaian yang dilarang karena dinilai berafiliasi pada agama tertentu. 

Larangan mengenakan abaya yang dikemukakan oleh Attal telah menimbulkan perdebatan politik baru mengenai prinsip laicite. Kebijakan itu disebut kelompok sayap kiri menjadi pangkal utama sikap intoleransi dan diskriminasi bentuk baru yang dilancarkan kepada minoritas Muslim di Perancis.

“Pengumuman Attal itu tidak konstitusional dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar nilai-nilai sekular Perancis,” kata Clementine Autain, politisi sayap kiri France Unbowed, dikutip dari Le Monde

Menurut Autain, kebijakan Menteri Pendidikan Perancis ini merupakan gejala penolakan obsesif pemerintah terhadap umat Islam.

Meski menuai kritik dari sejumlah kalangan, juru bicara pemerintah, Olivier Veran, menegaskan bahwa abaya “jelas” merupakan busana yang menggambarkan identitas suatu agama sebagaimana yang ia lihat sebagai tindakan “menyebarkan agama” atau mempersuasi orang lain untuk memeluk agama Islam.

Ia juga mengatakan kepada saluran berita BFMTV bahwa sekolah merupakan ruang publik yang harus dijauhkan dari simbol-simbol agama.

“Sekolah itu sekuler. Kami mengatakannya dengan sangat tenang namun tegas: bukan tempatnya (mengenakan pakaian keagamaan),” pungkasnya.

Dalam beberapa tahun terakhir ini kelompok konservatif kanan Perancis memang terus mendorong agar larangan penggunaan simbol-simbol agama diperluas ke universitas-universitas, bahkan larangan itu juga ditujukan bagi orang tua yang mendampingi anak-anak mereka di sekolah.

Hanindita Basmatulhana
Hanindita Basmatulhana
Aktivis Perempuan

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru