31.2 C
Jakarta

Kompatibelitas Islam Nusantara Merealisasikan Perdamaian Dunia

Artikel Trending

KhazanahOpiniKompatibelitas Islam Nusantara Merealisasikan Perdamaian Dunia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Realisasi perdamaian dunia mustahil tercapai tanpa saling pengertian di tengah perbedaan dan keberagaman. Berusaha saling pengertian akan memperkaya kita dalam mencari bekal perjuangan menegakkan perdamaian dunia.

Dalam khazanah Islam, refleksi kesabaran Rasulullah SAW dalam Perjanjian Hudaibiah menjadi satu patron berharga dalam upaya merealisasikan perdamaian. Saat Suhail bin Amr, delegasi kaum Quraisy Mekkah, menegosiasikan surat perjanjian damai antara kaumnya dengan kaum Muslimin di Madinah.

Suhail tidak sepakat jika pada surat itu tercantum ungkapan dengan nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang dan Muhammad utusan Allah. Sebab, kaumnya tidak mempertuhan Allah dan tidak mengakui sosok Muhammad sebagai utusan Tuhan. Suhail mendesak Rasulullah menghapus dan mengganti keduanya dengan ungkapan lain yang lebih lumrah dan direkognisi oleh kaumnya.

Namun, Ali bin Abu Thalib selaku juru tulis enggan mengabulkan sepenuhnya permintaan Suhail. Sayidina Ali tetap bersikukuh menuliskan Muhammad utusan Allah sebagaimana dikte semula dari Rasulullah. Sayidina Ali pun kemudian ditegur Rasulullah agar menghapus dan menggantinya sesuai dengan apa yang diminta Suhail. Tetap Sayidina Ali merasa segan untuk menghapus kalimat agung tersebut. Sampai akhirnya Rasulullah sendiri yang menghapusnya lalu menyuruh Ali bin Abu Thalib menuliskan ulang dengan Muhammad putra Abdullah.

Begitulah Rasulullah tidak keberatan menghapus predikat agungnya sebagai Sang Utusan Tuhan demi tercapainya kesepakatan damai dengan kaum Quraisy Mekkah.

Al-Qur’an dan Pesan Perdamaian

Memang terdapat begitu banyak ayat Alquran yang menganjurkan umat Islam supaya bersikap sabar. Antara lain pada surah al-‘Ashr; “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Berangkat dari aksentuasi kesabaran pada ayat di atas, umat Islam tidak dibenarkan memakai cara-cara kekerasan dalam menghadapi berbagai persoalan. Sebaliknya, kesabaranlah yang sepatutnya dikedepankan. Sebagaimana teladan kesabaran Rasulullah yang telah disinggung pada bagian sebelumnya.

Di samping bersabar, pada bagian lain Alquran disebutkan: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (Surah al-Syura ayat 38). Ini menunjukkan bahwa musyawarah memiliki arti penting bagi manusia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Berarti Allah SWT lebih menghendaki penyelesaian berbagai persoalan diusahakan melalui jalur musyawarah.

Implementasi ajaran musyawarah ini dalam konteks perdamaian dunia akan jauh lebih bermanfaat daripada penggunaan kekerasan yang begitu menyengsarakan. Dari itu, penyelesaian konflik dunia melalui jalur musyawarah perlu sekali didorong dan sama-sama kita perjuangkan.

Apalagi ajaran-ajaran non-kekerasan semacam musyawarah sebetulnya diperjuangkan pula dalam agama-agama di luar Islam. Misalnya, Mahatma Gandhi yang beragama Hindu dengan gerakan Satyagraha dalam memperjuangkan kemerdekaan India; atau seperti aktivisme Martin Luther King Jr, seorang pemuka agama Protestan, dalam memperjuangkan hak-hak sipil golongan kulit hitam Amerika Serikat.

Selain itu, Alquran juga mengingatkan bahwa pada dasarnya setiap golongan memiliki kebanggaannya sendiri-sendiri (al-Mukminun ayat 53 dan al-Rum ayat 32). Dalam pada itu harus ada penghormatan terhadap setiap perbedaan dan keberagaman yang menjadi khazanah setiap golongan.

Seyogianya budaya sendiri kita junjung tinggi tanpa merendahkan budaya orang lain, serta menghindari sikap eksklusif  yang berpotensi mereduksi penghormatan kepada kelompok lain. Sejarah panjang manusia telah membuktikan eksklusifisme kelompok menjadi pangkal sengketa dan bencana manusia di berbagai belahan dunia.

Mengampu Keadilan, Menyemai Perdamaian

Di sini kemudian dibutuhkan kemampuan dari setiap golongan untuk memelihara keanekaragaman khazanah budaya yang dimiliki. Salah satunya dengan mengakomodasinya sesuai tuntutan zaman. Tentu penyesuaian tanpa kehilangan identitas semula yang bersumber pada nilai-nilai terdalam dari agama masing-masing.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Untuk itu, setiap agama perlu mencari pemecahan pragmatis melalui proses reinterpretasi ajarannya. Sebuah pragmatisme yang selanjutnya mampu memadukan antara sikap rasionalistis dan keyakinan yang teguh terhadap kebenaran ajaran agama.

Dan lagi, reinterpretasi yang menyeimbangkan antara apa yang harus dipelihara sekuat tenaga dari warisan masa lampau dan apa yang lebih layak diambil dari kehidupan kontemporer. Atau, yang dalam bahasa pesantren dikenal sebagai: al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah.

Upaya-upaya ini dilakukan dalam rangka menyesuaikan kebutuhan kita menggapai perdamaian dunia yang dicita-citakan.

Adapun ajaran agama Islam memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan agama-agama lain. Coraknya yang paling menonjol adalah tawassuth (jalan tengah), ta’adul (keadilan), dan tawazun (keseimbangan). Ketiga sifat ini berpadu dalam suatu watak wasathiyyah (moderat).

Moderasi Islam sebenarnya telah Allah SWT gariskan di dalam surah al-Baqarah ayat 143; “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Mafhum wasathiyyah menunjukkan balancing antara dua hal yang berbeda, seperti keseimbangan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, konsep dan realitas, ushul (ajaran primer) dan furu’ (ajaran sekunder), washilah (media perantara) dan ghayah (destinasi tujuan), dan seterusnya.

Watak wasathiyyah senantiasa terpaut pada ajaran Islam sejak awal kedatangannya sampai hari kiamat. Setelah perpecahan yang melanda umat Islam yang kemudian memunculkan berbagai kelompok mazhab dan aliran, watak ini melekat dalam aliran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja).

Moderasi Islam

Di kawasan Nusantara, Islam Aswaja yang berwatak wasathiyyah terlihat jelas, antara lain dalam tradisi dan kultur keberislaman warga nahdliyyin di Indonesia. Corak moderat (wasathiyyah) mewarnai pengamalan mereka sehari-hari terhadap semua dimensi ajaran Islam, baik dalam bidang akidah, tasawuf, maupun hukum syariat.

Sehingga, selama ini corak Islam yang moderat telah menjadi cita rasa pengejawantahan ajaran Islam di negeri yang menganut ideologi Pancasila ini. Penerimaan terhadap Pancasila, sebagai salah satu contohnya, pun tidak terlepas dari pengaruh pola keberislaman masyarakat Indonesia yang berhasil memadupadankan aspek ketuhanan dan kebudayaan.

Jelas bahwa Islam memang bukan produk budaya karena Islam berdimensi ketuhanan, sedangkan budaya berdimensi kemanusiaan. Akan tetapi, lantaran ajarannya menjadi pedoman hidup yang mesti dijalankan umat manusia, maka agama Islam memiliki dimensi ketuhanan di satu sisi dan kemanusiaan di sisi yang lain.

Dapat disimpulkan bahwa Islam sama sekali tidak mengancam eksistensi kebudayaan. Islam di Indonesia yang belakangan populer dengan sebutan Islam Nusantara adalah bukti konkretnya.

Islam Nusantara adalah sebuah istilah yang merujuk pada penerapan manhaj (metode) dakwah Wali Sanga dalam menyiarkan Islam di kawasan Nusantara secara toleran terhadap kearifan budaya masyarakat setempat. Jadi, sebagai hasil dialektika antara konsep syariat dan realitas budaya lokal, manhaj Islam Nusantara merupakan contoh pragmatisasi ajaran Islam di Indonesia.

Pemahaman dan pengamalan syariat, serta dakwah Islam yang berdasarkan manhaj Islam Nusantara sejauh ini telah mengesankan wajah Islam yang santun, toleran, dan damai. Fenomena ini mengafirmasi Islam Nusantara sebagai hasil interpretasi yang paling kompatibel dengan kebutuhan kita mewujudkan perdamaian dunia saat ini.

Andaikan pemahaman agama Islam yang sesungguhnya begitu moderat merata disadari oleh segenap umat Islam, niscaya kita tidak akan mengenal ekstremisme dalam bentuk apapun. Kesadaran yang belum merata ini yang memicu terjadinya konflik kekerasan dari segelintir umat Islam di mana-mana. Ironisnya, mengapa malah agama Islam yang acap dikorbankan sebagai tameng pembenaran atas hal itu?

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru