29 C
Jakarta

Wafatnya Gus Sholah, Ulama Benteng NKRI dari Ideologi Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamWafatnya Gus Sholah, Ulama Benteng NKRI dari Ideologi Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ulama yang sangat alim. Negarawan sejati. Cucu pendiri ormas terbesar Nahdhatul Ulama (NU). Cucu salah satu founding fathers Indonesia. Mungkin itu di antara yang bisa kita sebut ketika mengingat Kiai Salahuddin Wahid. Lahir di Jombang, 11 September 1942, Gus Sholah —sapaan akrabnya— merupakan adik Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden ke-4 RI, dan cucu Hadhratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU).

Gus Sholah wafat pada Minggu (2/2) malam kemarin di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta Barat, DKI Jakarta, dalam usia 77 tahun. Kabarnya, beliau meninggal jam 20.55 WIB. Kabar wafatnya putra Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Sholehah pun mendapat ucapan bela sungkawa dari berbagai pihak. Kita semua berduka. Negeri ini berduka, kehilangan putra terbaiknya. Tidak banyak ulama yang mampu istiqamah berjihad demi bangsa semata seperti Gus Sholah.

Gus Sholah adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur. Beliau adalah pengasuh ke-7 dari pesantren yang didirikan Hadhratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari, pada 1899 lalu. Dalam diri Gus Sholah, ada jiwa keulamaan sang kakek, sekaligus jiwa nasionalis sang ayah. Jihad kebangsaannya mewarisi Gus Dur, sang kakak yang lebih tua dua tahun, meski Gus Sholah sendiri lebih dikenal sebagai kiai pengasuh ketimbang politisi.

Menjadi pengasuh tidak membuat Gus Sholah berdiam di pesantren saja sebagaimana pengasuh pada umumnya. Integritasnya terhadap NKRI patut untuk dikenang. Beliau senantiasa istiqamah mengkonter gerakan Islam transnasional pengusung khilafah. Seperti yang pernah beliau lakukan beberapa bulan yang lalu ketika diskusi tentang Pancasila dan tantangan kebangsaan.

Karir Gus Sholah sebagai ulama ialah menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng. Sedangkan jihadnya untuk bangsa, beliau pernah mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama Wiranto. Gus Sholah juga pernah berkiprah sebagai Wakil Ketua Komnas HAM. Meskipun sebagian orang mengatakan, bahwa ia dalam beberapa hal tak satu pendapat dengan Gus Dur, namun kakak-adik itu tetap memiliki kesamaan: beliau adalah ulama sekaligus negarawan.

Ulama yang Negarawan

Meski sejak Muktamar NU ke-32 dan 33 kerap mengkritik PBNU dengan keras, Gus Sholah tak pernah mencaci. Pribadinya lembut, santun, komitmen dan berintegritas.” (KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU)

Pernyataan Kiai Said tersebut memberikan pandangan pada kita bahwa Gus Sholah seringkali memiliki gagasan berbeda, baik dengan PBNU, bahkan dengan Gus Dur sekalipun. Tentang Pancasila, konon, beliau pernah tidak segagasan dengan Gus Dur dalam esai-esainya di koran. Bahkan ketika Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Sholah malah mendirikan partai sendiri. Tetapi tidak pernah ada cacian apalagi permusuhan disebabkan perbedaan pendapat tersebut.

Tetapi justru hal tersebut dimanfaatkan oleh para pembenci Gus Dur, para pembenci NKRI, untuk membenturkan antarkeluarga petinggi NU. Banyak yang salah paham kemudian, NU yang lurus adalah NU-nya Gus Sholah. Sedangkan Gus Dur dan PBNU sendiri dihujat, dianggap sebagai NU yang keluar khitah ke-NU-an. Atas stigmatisasi yang memecah-belah umat tersebut, pernyataan Kiai Said di atas dapat dijadikan rujukan. NU konsisten Pancasila-NKRI, beda pendapat bukan sebuah kehinaan.

BACA JUGA  Paslon yang Didukung Abu Bakar Ba'asyir Membahayakan Indonesia?

Membentengi NKRI dari gangguan apa pun, terutama gangguan ideologi khilafah, adalah konsistensi NU secara umum. Perkara terdapat perbedaan pendapat di cabang gagasan, tak ada soal. Dalam artikel terakhirnya di Kompas, berjudul Refleksi 94 Tahun NU, beliau menganggap PBNU belum mantap tentang istilah Islam Nusantara. Tetapi sekadar perbedaan istilah, sedangkan esensi Islam Nusantara sudah terpatri dalam sanubari Gus Sholah itu sendiri.

Bukankah Islam Nusantara hakikatnya demi berislam dalam bingkai NKRI? Bukankah Gus Sholah juga memperjuangkan NKRI? Bukankah beliau seringkali membungkam gagasan khilafah ala HTI? Terdapat kesamaan spirit perjuangan, bukan?

Dalam sebuah diskusi dan bedah buku “HTI, Gagal Paham Khilafah” di Bandung, di hadapan aktivis HTI, Gus Sholah tegas pernah mengatakan, tak ada yang salah dengan Pancasila. Gagasan HTI jelas keliru. NKRI Bersyariah juga tidak perlu, karena Pancasila itu sendiri telah memuat nilai-nilai universal syariat. Kadilan, kesetaraan, HAM, dan kebebasan semua dijamin di dalamnya.

Bagaimana Khilafah Pasca Wafatnya Gus Sholah?

Indonesia kehilangan tokoh Indonesia. Beliau tak pernah lupa memikirkan bangsa, NU dan pesantren. Kita harus meneladaninya dan harus siap menjadi penerusnya,” ucap Gus Sholah ketika memberikan sambutan prosesi pemakaman Kiai Hasyim Muzadi, beberapa tahun lalu. Hari ini, kita patut mengucapkan kata-kata yang sama. Indonesia sudah kehilangan putra terbaiknya. Dalam hal berjihad untuk bangsa, kita wajib meneladaninya.

Sebagai cucu pendiri NU, Gus Sholah telah mengabdikan dirinya untuk agama, melalui pesantren, dan untuk bangsa, melalui perjuangan HAM. Jelas salah satu jihad beliau untuk HAM adalah memperjuangkan demokrasi dari rongrongan khilafah yang notabene anti-demokrasi. Sekarang, ketika beliau sudah meninggalkan kita semua, apakah benteng NKRI dari ideologi khilafah juga ikut purna?

Jelas tidak. Kini, tugas itu dimandatkan kepada kita bersama. Apa yang dijihadkan Gus Sholah; menjaga NKRI, demokrasi, HAM, kini jadi tanggung jawab kita. Segigih apa Gus Sholah mengkonter ideologi khilafah, kita harus meneladaninya, bahkan lebih gigih darinya. Jika tidak? Jika tidak, itu artinya kita memberikan peluang besar kepada para pengusung khilafah untuk menumbuhsuburkan ideologinya. Sebab, sang pejuang itu sudah tiada.

Bagaimana geliat khilafah pasca wafatnya Gus Sholah adalah tergantung kita. Hendak kita abdikan diri kita untuk bangsa atau justru melupakan perjuangan orang-orang yang telah mendahului. Sebab tidak ada yang tahu, jangan-jangan wafatnya para benteng NKRI menjadi momentum emas bagi mereka. Siapa yang bisa mengelak, bahwa nafsu mendirikan khilafah itu kadang melampaui nalar perikemanusiaan?

Sekalipun ada NU dan Muhammadiyah yang setia membentengi NKRI, namun kesadaran individual, jihad individual, juga amat krusial. Sebagaimana aktivis khilafah semangat bergerak perjuangkan khilafah, spirit kebangsaan kita mesti jauh melampaui mereka. Seperti yang diperjuangkan Gus Sholah.

Semoga kita tidak lupa mengirimkan Al-Fatihah untuk Gus Sholah. Atas semua perjuangan beliau terhadap agama dan bangsa, semoga diterima, dan dosa-dosanya semoga dimaafkan. Semoga juga selalu ada penerus beliau sebagai benteng NKRI, membungkam hasrat khilafah yang anti-demokrasi. Semoga, Gus Sholah ditempatkan di surga-Nya. Al-Fatihah…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru