29.3 C
Jakarta

Kisah Seorang Perempuan Ekstremis yang Hijrah, Kemudian Menjadi Juru Damai

Artikel Trending

KhazanahTelaahKisah Seorang Perempuan Ekstremis yang Hijrah, Kemudian Menjadi Juru Damai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Kondisi perempuan dalam konflik bukanlah menjadi hal baru ketika harus menghadapi kesengsaraan yang yang berlibat ganda, hal ini karena di samping ia mengalami pengalaman ketubuhan berbeda dengan laki-laki, ketakutan dan kepasrahan yang dimiliki perempuan sangatlah besar jika dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun demikian, tidak sedikit pula perempuan di tengah konflik memilih menjadi kombatan, menjadi bagian dari kelompok yang melawan musuh.

Konflik Ambon pada tahun 1999 menyisakan segelintir kisah perempuan tangguh yang terus menjadi kenangan tidak terlupakan, serta menjadi cerita yang patut kita jadikan contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam membina persatuan.

Perempuan itu bernama Baihajar Tualeka

Perempuan itu bernama Baihajar Tualeka. Gadis Papua yang lahir pada 4 Februari 1947 di Desa Pelauw, wilayah utara Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Terlahir sebagai keluarga muslim yang penuh dengan hingar bingar keberagaman, ia mampu beradaptasi dengan keragaman yang ada di Ambon.

Meskipun demikian, dalam perjalan hidupnya, ia mengikuti organisasi kampus dan belajar di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta aktif di lembaga dakwah kampus (LDK). Pada masa kuliah, tepatnya sesemter VII ia mengikuti organisasi Islam yang ekskusif layaknya organisasi keislaman yang sering kita temui.

Bermula dari organisasi itu, ia mengkritik secara massif bagaimana pola keluarga dalam aktifitas keagamaan. Mulai dari cara berjilbab, hingga pakaian yang harus besar dan panjang. Tidak hanya itu, keputusan berjilbab Baihajar, dilakukan atas dasar perintah orang lain, yakni melalui organisasi yang diikuti.

Puncaknya, ketika terjadi konflik Ambon pada tahun 1999 yang memicu persoalan antara kelompok Islam dan Kristen membuat luka yang cukup panjang karena menciptakan luka bagi sebagian masyarakat yang merasakan dampak dari masalah tersebut. jika dilihat dari sebab permasalah, konflik terjadi akibat pertikaian karena lahan parkir di tempat hiburan dan perjudian yang dikuasai preman Kristen.

Pada keesokan harinya beredar berita bahwa sekelompok geng Kristen telah memukul seorang Muslim dan membakar sebuah Masjid. Tidak berhenti pada peritiwa tersebut, konflik Ambon menimbulkan perpecahan demi perpecahan di berbagai daerah. Aksi berjild-jilid di berbagai daerah memicu persoalan yang semakin panjang dan tercatat sekitar 5.000 jiwa dan 700.000 orang mengungsi dalam rentang waktu 1999-2002.

BACA JUGA  Idulfitri: Rajut Silaturahmi dengan Sikap Toleran Antarumat Beragama

Konflik diatas menyebabkan Baihajar mengambil peran aktif dengan memilih menjadi kombatan. Alasan mengambil peran tersebut tidak lain karena dendam. Masjid di dekat rumahnya terbakar atas kejadian tersebut, bahkan rumahnya juga habis terbakar lantaran perpecahan yang terjadi.

Baihajar memilih untuk menjadi kombatan, merakit bom dan terlibat aktif dalam penyerangan dan balas dendam yang harus dituntaskan. Hingga akhirnya, ia memilih untuk berhenti untuk melakukan kegiatan tersebut dengan beberapa alasan:

Pertama, ia berfikir bahwa apa yang ia lakukan tidak lantas membuat konflik semakin meredam, justru sebaliknya. Kedua, sahabat dekatnya seorang perempuan, yang uga terlibat dalam aksi tersebut meninggal ketika perang. Tidak hanya itu, perakit bom yang tewas akibat bom meledak sebelum waktunya, mayatnya dimasukkan ke dalam karung dan di buang. Hal tersebut memicu Baihajar untuk memilih keluar dari kegiatan tersebut, meskipun atas nama membela agama karena dendam yang belum selesai.

Aksi perdamaian yang dilakukan Baihajar

Setelah memutuskan untuk tidak keluar dari pilihannya selama ini. Baihajar kemudian melakukan berbagai pendampingan kepada ibu-ibu yang menjadi korban atas fenomena yang terjadi di daerahnya.

Mula-mula Baihajar mendirikan sekolah alternatif selayaknya sekolah pada umumnya. Sekolah tersebut mulai dari PAUD hingga SMA. Sekolah tersebut merekrut para relawan yang mendatangkan guru-guru tanpa tanda jasa. Melalui sistem relawan itulah, anak-anak dan para ibu yang juga turut sekolah mulai melakukan aktifitas pembelajaran.

Tidak hanya itu, para ibu juga memiliki wadah dialog dan tempat curhat untuk mencurahkan segala keresahan yang selama ini dimiliki. Wadah tersebut diberi nama SANUSA (saniri satu rasa). Kegiatan yang dilakukan oleh ibu-ibu SANIRI cukup banyak, mulai dari bernyanyi, bermain, serta kegiatan-kegiatan dalam upaya menyembuhkan luka lainnya.

Perkumpulan ibu-ibu tersebut kemudian terbentuk lembaga formal dengan nama LAPPAN (Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Tidak hanya itu, bersama aktifis perempuan lainnya, pada Oktober 2017, Baihajar menyelenggarakan kegiatan bernama “Napak Toleransi” dengan tema “Merawat Damai dan Merekatkan Kebersamaan dalam Bingkai Hidup Orang Basudara.”

Tidak berhenti pada kegiatan tersebut, Baihajar terus melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka bina damai kepada masyarakat. Kisah hidupnya adalah perjalanan panjang yang dicari. Baihajar adalah kecamata perempuan dalam menemukan dirinya untuk bermanfaat kepada masyarakat.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru