29.3 C
Jakarta

Ketika Tuhan Bersumpah Atas Nama Pena

Artikel Trending

KhazanahKetika Tuhan Bersumpah Atas Nama Pena
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menulis adalah memulung kata-kata menjadi kata yang bermakna,” begitu kira-kira sebuah ungkapan indah yang diketahui sebagai jargon utama “Pusaka Jurnalistik PMII” Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernyataan ini dapat diperkuat dengan pena dan bermakna dalam ungkapan Arab: “li kulli saqiṭ laqit” (setiap sesuatu yang jatuh pasti akan ada yang mengambilnya). Apalagi hadis menyebutkan bahwa hikmah adalah barang hilangnya orang mukmin, maka di manapun dia menemukannya harus mengambilnya: al-ḥikmah ḍallah al-mu’min ya’khużuhâ ḥaiśu wajadahâ (as-Sakhâwî, al-Maqâṣid al-Ḥasanah, 1985: 310-311).

Dalam konteks keislaman, menulis merupakan pekerjaan mulia dan sangat dianjurkan. Hal ini dipahami dari sumpah Allah yang diabadikan dalam surat al-Qalam (Pena) ayat (1) “nûn, wa al-qalam wa mâ yasṭurûn” (Nûn, demi pena dan apa yang mereka tuliskan). Disebutkan, bahwa apabila Allah bersumpah atas nama sesuatu, seperti pena, buah tin, zaitun, dan lain sebagainya. Setidaknya sesuatu tersebut diyakini memiliki nilai dan keistimewaan tersendiri yang melebihi sesuatu yang lain.

Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka) menyebutkan bahwa sumpah Allah ini menandakan bahwa tinta, pena, dan apa yang ditulis (ilmu) adalah sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, beliau mengemukakan penafsiran sedikit berbeda terhadap al-Qalam (68): 1 tersebut. Menurutnya, kata nûn bisa dimaknai tinta, kata al-qalam dimaknai pena, dan sumpah terhadap apa yang mereka tulis bisa dimaknai buah karya para ahli pengetahuan yang menyebarkan ilmu pengetahuan dengan pena (tulisan). Sebab, ketiga hal ini (tinta, pena, dan karya) sangat penting bagi kehidupan manusia (Tafsir al-Azhar, jilid 10: 7562).

Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa pena memiliki peranan yang sangat penting dalam mencatat berbagai macam ilmu pengetahuan. Sehingga bisa tersebar luas dan senantiasa dinikmati oleh generasi ke generasi dari waktu ke waktu. Selain itu, melalui pena pulalah kitab-kitab suci dicatat, baik Taurat, Zabur, Injil, maupun al-Qur’an. Sehingga umat manusia masa sekarang masih bisa menikmati dan mempelajari kitab-kitab suci tersebut (hlm. 7566 & 7563).

Lingkar Pena dan Tradisi Menulis

Bahkan beberapa tradisi dan kebudayaan masyarakat kuno bisa diketahui oleh masyarakat modern karena catatan yang mereka tinggalkan. Baik itu, berupa prasasti maupun gambar atau simbol tertentu yang diabadikan di batu-batu (hlm. 7564-7566). Benar sebuah ungkapan Arab yang mengatakan: in ḥafaẓa farra wa in kutiba qarra (kalau dihapalkan pergi/hilang dan kalau dicatat akan tetap/langgeng).

Dalam Islam sendiri, al-Qur’an tidak hanya dihapal, tetapi juga dicatat dalam bentuk mushaf yang kemudian tersebar ke seantero dunia dari masa ke masa. Sehingga para ulama dari generasi ke generasi bisa mempelajari dan mengkaji kandungan al-Qur’an tersebut. Kajian terhadap al-Qur’an ini kemudian melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang bisa dinikmati sampai sekarang. Seperti halnya, tafsir al-Qur’an, ilmu hadis dan semua ilmu yang berkaitan dengannya, ilmu fiqih, ushul fiqih, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, tajwid, balaghah, ilmu qiraat, nahwu-sharraf, tarikh, dan ilmu pengetahuan lainnya yang terus berkembang sampai sekarang. Berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut dikembangkan dengan tinta, pena, dan apa yang mereka tulis (hlm. 7563).

Oleh karena itu, tidak heran apabila masyarakat Muslim pernah berjaya di bidang ilmu pengetahuan yang tersebar luas dalam karya-karya para ulama. Namun, sayang seribu sayang banyak karya ulama yang dibumi-hanguskan oleh bangsa Mongol dan Tartar ketika menyerbu kota Baghdad yang merupakan pusat kebudayaan Islam selama lima abad. Mereka membuang karya-karya tersebut ke dalam sungai Dajlah. Sehingga membuat airnya berubah menjadi hitam karena saking banyaknya kitab yang dibuang. Hal ini dilakukan karena bangsa Mongol dan Tartar pada waktu itu belum mengerti betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia (hlm. 7563-7564).

Tindakan serupa juga pernah dilakukan oleh raja-raja Kristen yang mengambil alih kekuasaan masyarakat Muslim di Andalusia (Spanyol) pada penghujung abad lima Masehi. Mereka membakar karya-karya milik masyarakat Muslim selama bertahun-tahun. Namun, karya-karya tersebut tidak kunjung habis. Sehingga belakangan mereka berubah pikiran, yaitu melestarikan karya-karya milik masyarakat Muslim yang masih tersisa sebagai sumber ilmu pengetahuan (hlm. 7564).

Di sisi lain, menurut Hamka, Islam juga menekankan pentingnya membaca bagi umat Islam. Hal ini dipahami secara jelas dalam al-‘Alaq (96):1-5, di mana Allah mengajar ilmu pengetahuan kepada manusia melalui qalam. Sehingga dengan qalam (pena) tersebut manusia bisa mengetahui sesuatu yang belum diketahui sebelumnya (hlm. 7566). Dengan kata lain, umat Islam harus senantiasa giat membaca berbagai macam tulisan atau cacatan ilmu pengetahuan. Sehingga mereka bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari Allah melalui goresan-goresan pena para penulis tersebut.

BACA JUGA  Hilang Motivasi Membaca? Ini Cara Mengatasi “Reading Slump”

Dengan demikian, tidak heran apabila ulama, sufi, dan penulis besar sekelas Imam al-Gazâlî pernah berkata: “kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.” Hal senada juga diungkapkan oleh sastrawan dan penulis besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yaitu: “menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Dalam hal ini, ketika Akh. Minhaji (mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) nyantri di Kanada, maka Prof. Charles J. Adam senantiasa bertanya kepada muridnya tersebut setiap kali bertemu seraya berkata: “apa yang saudara kerjakan, jangan lupa menulis, menulis, dan menulis. Jangan ada hari tanpa menulis.”

Prof. Wael B. Hallaq sebagai salah satu dosen yang dikenal “killer” juga memberikan kesan yang mendalam kepada pribadi Minhaji, yaitu tradisi menulis yang selalu dia lestarikan. Suatu saat Hallaq pernah mengatakan kepadanya: “Minhaji, setiap tiga bulan saya menyelesaikan satu makalah. Makalah-makalah tersebut merupakan hasil penelitian sekaligus pengalaman mengajar dan membimbing Tesis dan Disertasi. Setelah sepuluh tahun menulis makalah, mengajar, dan membimbing maka tahap berikutnya menulis buku (Sejarah Sosial Dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi, 2013: 296-297).”

Namun demikian, perlu diingat bahwa menulis tidak hanya sekedar menulis agar tulisan itu menjadi baik dan mempunyai makna yang lebih terhadap kehidupan masyarakat serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Oleh karena itu, penulis sepakat dengan ungkapan: “penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Islam dan Literasi

Dalam Islam sendiri, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, al-Qalam (68): 1 dan al-‘Alaq (96): 1-5 mengisyaratkan secara jelas betapa pentingnya membaca dan menulis bagi kehidupan umat Islam. Menurut sahabat penulis, Halimah Garnasih, apabila membaca adalah “makannya”, maka menulis adalah “buang air besarnya.” Dengan demikian, manusia yang normal tentunya membutuhkan dua hal tersebut, yaitu makan dan membuang air besar.

Selain itu, dalam tradisi pesantren sejatinya kita (kaum santri) harus mencontoh teladan baik para ulama panutan yang sangat produktif dalam berkarya. Seperti halnya, Imam asy-Syâfi‘î, Imam al-Gazâlî, Imam an-Nawawî, Imam Nawawî al-Jâwî, dan para ulama lainnya. Kalau kita membaca Kâsyifah as-Sajâ karya Imam Nawawî al-Jâwî yang merupakan syarah Safînah an-Najâ (yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren). Tentu, kita akan mengetahui kualitas dan luasnya bacaan Imam Nawawî al-Jâwî yang sangat luar biasa terhadap literatur-literatur Islam.

Para imam mazhab, misalnya, tidak hanya dikenal memiliki pemikiran-pemikiran keislaman cemerlang yang dibukukan hingga sekarang. Akan tetapi, juga memiliki karya tulis yang bisa dikaji sampai sekarang. Imam Abû Ḥanîfah memiliki karya al-Fiqh al-Akbar yang membahas masalah teologi Islam, Imam Mâlik memiliki karya al-Muwaṭṭâ’ yang disinyalir sebagai kitab hadis pertama dan memuat pembahasan fikih. Bahkan Imam Aḥmad memiliki kitab Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal yang berisi tentang hadis-hadis.

Adapun Imam asy-Syâfi‘î tidak hanya tekun beribadah. Melainkan juga merupakan sosok yang senantiasa haus terhadap ilmu pengetahuan dan produktif dalam menulis. Karena itu, ia membagi malamnya menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk tidur, dan sepertiga terakhir untuk salat (ar-Râzî, Manâkib al-Imâm asy-Syâfi‘î, 1986: 352). Sehingga beliau melahirkan sekitar 140 karya tulis, seperti al-Kitâb al-Umm, as-Sunan al-Ma’śûrah, ar-Risâlah, Musnad asy-Syâfi‘î, dan lain sebagainya (lihat pengantar al-Kitâb al-Umm, Dâr Qutaibah, I, 1996: 75-76 ).

Dalam kesempatan lain, Abd. Aziz Faiz (senior penulis di Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar Yogyakarta). Ia pernah berkata bahwa Tuhan dikenal oleh umat manusia karena Dia memiliki karya, seperti alam semesta beserta seluruh isinya. Dengan demikian, karya apa yang akan kita tinggalkan agar anak-cucu kita mengenal dan mengenang kita kelak? Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin

Penulis, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru