26.3 C
Jakarta

Monarki Bukan Khilafah, Khilafah Tidak Monarki!

Artikel Trending

Milenial IslamMonarki Bukan Khilafah, Khilafah Tidak Monarki!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada tulisan sebelumnya, Bebalnya Otak Para Aktivis Khilafah, saya sekilas sudah mengulas, bahwa ada miskonsepsi yang fatal para aktivis khilafah tentang khilafah itu sendiri. Misalnya, mereka mengaku memperjuangkan khilafah. Padahal, yang diperjuangkan adalah monarki. Fatal, bukan? Namun demikian, dalam konteks khilafah sebagai agenda politik, kebebalan tersebut bukanlah murni kebodohan, melainkan pura-pura bodoh demi melakukan pembodohan.

Artinya, sejujurnya para aktivis tersebut memahami sejarah yang sebenarnya. Tetapi tidak berani berterus terang. Hal tersebut lumrah saja, demi melancarkan aksinya melakukan indoktrinasi. Karenanya tidak heran, target indoktrinasi adalah umat yang tidak mengenal Islam, atau baru belajar agama. Sebab, terhadap mereka, doktrin akan lebih mudah masuk dan diterima.

Nabi pernah bersabda: “Sesungguhnya awal (masa) agamamu dimulai dengan kenabian penuh rahmat, lalu khilafah penuh rahmat, lalu kerajaan monarki (mulk jabarut).” [As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 24]

Tetapi bagaimana para aktivis khilafah menafsiri sabda Nabi tersebut? Menarik didiskusikan.

Mereka menafsiri era “kenabian penuh rahmat” sebagai periode Nabi, masa ketika Nabi menjadi pemimpin di Madinah. Sayangnya, mereka abai dengan konsensus Piagam Madinah. Justru mereka menganggap, Nabi berhasil menguasai orang-orang Yahudi dan Nasrani di bawah Islam. Mereka memandang ‘Islam’-nya, bukan ‘kesepakatan kesetaraan’-nya. Maka mereka ingin meniru Nabi.

Mereka juga menafsiri era “khilafah penuh rahmat” adalah masa kejayaan Islam. Yakni, sejak kepemimpinan khulafa’ ar-rasyidin hingga runtuhnya Turki Utsmani. Inilah pondasi miskonsepsinya. Mereka abai dengan fakta sejarah, bagaimana polemik arbitrase Sayyidina Ali dan Muawiyah. Mereka tidak peduli sejarah, bahwa imperium Muawiyah-Turki Utsmani menerapkan sistem kerajaan monarki, dan sama sekali berbeda dari kepemimpinan khulafa’ ar-rasyidin.

Terakhir, mereka menafsiri era “mulk jabarut” sebagai sistem demokrasi yang dipakai dunia modern. Di situlah delegitimasi pemerintahan demokratis menemukan justifikasinya. Mereka tidak pernah menyinggung sistem monarki, menutupi fakta sejarah. Sistem monarki dalam imperium Islam justru mereka sebut sebagai sistem khilafah yang harus ditegakkan kembali.

Pembelokan sejarah ini tidak bisa dibiarkan. Ruang narasi khilafah justru merusak citra Islam, bukan?

Kritik Para Sahabat

Saya akan menelanjangi persepsi para aktivis khilafah, bahwa yang mereka perjuangkan, sama sekali bertentangan dengan Islam. Yang namanya khilafah adalah murni persoalan politik, dan jika diperjuangkan hari ini maka tujuannya adalah ingin merebut kekuasaan belaka. Tidak ditemukan ajaran Islam tentangnya. Para sahabat, generasi Muslim awal, bahkan justru menentangnya.

Masih dalam kitab Tarikh al-Khulafa’-nya Imam as-Suyuthi, ada sebuah atsar menarik. Berikut saya kutip riwayat pasca arbitrase Muawiyah dan Sayyidina Ali, dan Muawiyah ingin mensuksesi putranya, Yazid, sebagai pemimpin pengganti Muawiyah:

“Muawiyah mengajak penduduk Syam untuk membai’at putranya, Yazid. Mereka pun melakukannya. Itulah kali pertama kepemimpinan (al-khilafah) diwariskan kepada putranya, dan kali pertama seorang pemimpin melakukan suksesi semasa hidupnya. Kemudian Muawiyah menulis surat untuk Marwan di Madinah untuk juga membai’atnya. Marwan pun berkhotbah: ‘Sesungguhnya amirul mu’minin (Mu’awiyah) meminta kalian membai’at putranya, Yazid, mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar.’ Lalu Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri: ‘Tidak, itu tradisi Raja Kisra. Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah menjadikan putranya, atau siapapun anggota keluarganya, sebagai pengganti.’” [hlm. 232]

BACA JUGA  Minoritas, Nataru dan Terorisme di Indonesia

“Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir dari Ibrahim bin Suwaid al-Armaniy berkata: Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: siapakah para pemimpin (al-khulafa’) itu? Dia menjawab: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Aku berkata: bagaimana dengan Muawiyah? Dia menjawab lagi: Tidak ada ada seorang pun yang lebih berhak menjadi pemimpin (khilafah) di zaman Ali kecuali Ali.” [hlm. 235]

Dalam riwayat tersebut, kita melihat bagaimana putra Abu Bakar, Abduurahman, mengkritik Muawiyah yang mengklaim diri sebagai amirul mu’minin dan mewariskan kepemimpinan terhadap putranya, yang notabene tak dilakukan keempat khalifah sebelumnya.

Abdurrahman bin Abu Bakar menganggap tradisi Muawiyah sebagai tradisi Raja Kisra, alias Khosrau II, kaisar Dinasti Sassania yang memerintah Persia antara tahun 590-628 Masehi. Sistem pemerintahan Persia ketika itu adalah monarki absolut. Khosrau II adalah putra Hormizd IV dan cucu Khosrau I. Suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun-temurun. Dan Muwiyah menirunya?

Monarki Bukan Khilafah ala Nabi

Jelas, dengan demikian, apa yang dilakukan Muawiyah menentang apa yang dilakukan Nabi dan dilakukan khulafa’ ar-rasyidin. Khilafah adalah kepemimpinan, bukan metodenya, melainkan kepemimpinan itu sendiri. kepemimpinan/khilafah ala Nabi menggunakan sistem teokrasi, yang jelas kita tidak boleh menirunya.

Tetapi kepemimpinan/khilafah ala khulafa’ ar-rasyidin adalah demokrasi, di mana voting diserahkan kepada khalayak umat. Sejak saat itu konsep khilafah dianggap punah, dan yang ada adalah kerajaan (al-mulk). Ini yang dibelokkan dalam sejarah. Muawiyah tetap diklaim sebagai khilafah sah, terutama oleh mereka yang menggaungkan penegakan khilafah.

Ketika Muawiyah dikritik sahabat, dan pemerintahannya ternyata menerapkan sistem monarki, yakni mensuksesi secara turun temurun, bagaimana jika sejak Dinasti Muawiyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani ternyata menerapkan sistem yang sama yaitu monarki? Maka jelas, menyebut keruntuhan Utsmani sebagai keruntuhan khilafah adalah salah fatal.

Sebab, khilafah sudah gugur sejak arbitrase Ali. Dan yang tersisa adalah kerajaan dengan sistem monarki tadi. Khilafah tidak sama dengan monarki, dan monarki bukanlah khilafah. Memperjuangkan monarki tetapi memanipulasinya sebagai khilafah adalah eksploitasi kejam, pembelokan sejarah, dan memfitnah Nabi serta sahabat.

Harusnya pejuang khilafah yang hari ini sedang bergerilya sadar diri. Indoktrinasi umat yang baru paham Islam sebagai upaya meraih kekuasaan bukanlah sikap terpuji seorang Muslim. Meskipun monarki sendiri bukanlah sistem pemerintahan yang buruk. Inggris, Belanda, dan negara maju lainnya menerapkan monarki dan mereka berjaya. Lalu kenapa harus membungkus monarki dengan khilafah?

Ketidakjujuran para aktivis khilafah tentang perjuangan mereka membuat khilafah banyak ditentang. Padahal khilafah dalam arti kepemimpinan itu mencakup banyak sistem, termasuk demokrasi itu sendiri. Jadi, demokrasi adalah sistem dari khilafah, dalam arti ia sebagai kepemimpinan.

Memang demokrasi berasal dari Barat, tetapi implikasinya terhadap keadilan-kesetaraan warganegara lebih Islami daripada khilafah palsu yang digaungkan para aktivisnya, seperti HTI, ISIS, dan sejenisnya. Mereka menjual agama, memanipulasi monarki sebagai khilafah, dan melakukan indoktrinasi. Semua cuma punya satu agenda: politik kekuasaan. Lalu kita hendak menirunya?

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru