27.4 C
Jakarta

Keterbelakangan Islam: Antara Kejumudan Umat dan Hegemoni Barat

Artikel Trending

Milenial IslamKeterbelakangan Islam: Antara Kejumudan Umat dan Hegemoni Barat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari-hari ini, kita menyaksikan beberapa video yang beredar di media sosial tentang perang Palestina dan Israel. Ada seorang aktivis perempuan yang protes kepada reporter CNN, gambar-gambar berdarah anak Palestina yang jadi korban perang, dan berbagai hal mengenaskan lainnya. Melihat semua itu, saya secara pribadi benar-benar merasa: mengapa Islam kian terbelakang, teralienasi, dan terdiskriminasi?

Sebenarnya, solidaritas atas Palestina muncul dari sejumlah kalangan. Artis top juga banyak yang unggah video di TikTok yang menyuarakan #SavePalestine atau #IStandWithPalestine. Namun menariknya, di platform Facebook, tak ada sama sekali. Di Instagram apalagi. Bahkan twibbon sebagai simbol solidaritas pun amat terbatas. Media-media raksasa itu sepertinya menyortir konten tentang Palestina dan tidak mengangkatnya.

Beberapa hari lalu, untuk sekadar share tulisan tentang Palestina, akun Facebook saya juga tiba-tiba dibatasi komentarnya, sehingga tidak lagi bisa memposting sesuatu. Jelas, ada sentimen agama yang bermain di sini. Segelintir umat Kristen di Indonesia bahkan terang-terangan serukan #StandWithIsrael, padahal Kristiani di Palestina juga jadi korban. Apa yang membuat Islam sedemikian dibenci dan seterbelakang ini?

Sungguh miris. Bagaimana tidak, Islam, sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan, ilmu pengetahuan, dan kemajuan, telah melalui era keterbelakangan yang kompleks dan mendalam. Dan sepertinya, keterbelakangan tersebut tidak hanya bersumber dari faktor internal Islam sendiri yakni kejumudan umat, tetapi juga dipengaruhi dominasi Barat yang telah melanda dunia sejak berabad-abad lamanya.

Sampai kapan Islam akan terbelakang begini? Islam bukan agama teroris, tapi Presiden Amerika Serikat Joe Biden teriak-teriak memerangi teroris ketika mereka menggenosida rakyat Palestina. Islam bukan teroris, tapi Presiden Prancis Emmanuel Macron terang-terangan mengatakan ketidaksukaannya Islam tumbuh di Prancis dengan mengatakan “Islam terrorist”. Mengapa semua hal memilukan ini terjadi?

Problem Kejumudan Umat

Ada beberapa masalah yang berkaitan erat dengan kejumudan umat. Pertama, krisis pendidikan dan keilmuan. Pilar utama kemajuan Islam di masa lalu adalah ilmu pengetahuan. Namun, krisis pendidikan di beberapa negara Islam telah menghambat perkembangan intelektual umat. Kurikulum yang terbelakang dan defisit SDA menghasilkan lulusan yang tak bertaring di kontestasi global.

Kedua, tradisi penghambat inovasi. Riset ilmiah dan pemikiran yang berbeda sering dianggap sebagai ancaman terhadap tradisi, membuat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terhambat. Sedikit liberal dianggap kafir. Belajar ekonomi dianggap cinta dunia. Tradisi yang eksklusif melahirkan berbagai fenomena, yang paling ekstremnya adalah takfirisme. Umat Islam kerap terkerangkeng oleh tradisinya sendiri yang rigid.

Ketiga, hegemoni Barat melalui imperialisme kultural. Sejak era kolonialisme, dunia Islam telah mendapat tekanan dari Barat. Budaya, politik, dan ekonomi Barat telah mendominasi dan menggusur nilai-nilai tradisional dalam masyarakat Islam. Imperialisme budaya ini telah meruntuhkan identitas dan kepercayaan diri umat Islam, membuat mereka terjebak dalam kecemasan dan keterbelakangan. Para orientalis atau islamolog adalah para aktornya.

BACA JUGA  War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Keempat, minimnya kesadaran politik dan ekonomi. Bisa ditanya, siapa umat Islam memegang kekuatan politik global hari ini? Tidak ada. Selain itu, orang terkaya di dunia apakah ada yang Muslim? Sama, tak ada. Sering kali kebijakan yang korup merugikan ekonomi, sedangkan kurangnya partisipasi politik membuat masyarakat Muslim sulit mewujudkan perubahan yang mereka butuhkan.

Kelima, persepsi yang salah tentang Islam. Islam sering diidentikkan dengan ekstremisme dan terorisme, menyebabkan ketakutan global terhadap umat Islam—lahirkan islamofobia. Akibatnya, komunikasi dan kerja sama antarumat Islam dan masyarakat internasional terhambat. Di beberapa negara, Islam dikucilkan. Dalam konteks ini, hegemoni Barat dan kejumudan umat sama-sama berperan. Lalu bagaimana semestinya?

Menuju Renaisans Islam

Untuk mengatasi keterbelakangan, umat Islam perlu menggalakkan reformasi pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan, toleransi, dan pembukaan pikiran. Penghargaan terhadap pluralisme dan inovasi harus diintegrasikan ke dalam masyarakat. Selain itu, penting untuk membangun kesadaran politik dan ekonomi, sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam membentuk masa depan mereka.

Dalam menghadapi dominasi Barat, umat Islam perlu memelihara nilai-nilai tradisional yang positif sambil mengadopsi inovasi dan teknologi baru—prinsip ini dikenal bahkan dalam dunia pesantren. Peran pemimpin dan cendekiawan Islam dalam menafsirkan agama secara kontekstual dan relevan dengan zaman modern sangat penting untuk mendekatkan Islam dengan nilai-nilai universal yang aktual.

Penting untuk digarisbawahi, keterbelakangan Islam bukanlah nasib yang tak terelakkan. Dengan kesadaran, pendidikan yang berkualitas, dan semangat untuk berubah, umat Islam dapat melampaui tantangan ini dan menuju masa depan yang lebih cemerlang dan inklusif. Konflik Palestina dapat menjadi titik tolak bersama menuju Renaisans Islam. Moderasi Islam mesti jadi konsensus, sehingga islamofobia terselesaikan.

Kapan keterbelakangan Islam akan berakhir? Jawabannya adalah tergantung kapan umat Muslim akan sadar atas keterbelakangan mereka sendiri. Dan tentu kesadarannya bukan disikapi dengan cara frontal, sebagaimana para teroris bernafsu menyerang dunia demi menegakkan kekuatan Islam. Cara para teroris hanya memperburuk keadaan Islam itu sendiri. Sebab, Islam akan maju jika umatnya tidak jumud dan mampu bersaing dengan Barat.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru