30.8 C
Jakarta

­­­­Retorika Politisi dan Hilangnya Kepercayaan Publik

Artikel Trending

KhazanahOpini­­­­Retorika Politisi dan Hilangnya Kepercayaan Publik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Nikita Kruschev, mantan pemimpin Uni Soviet, pernah melontarkan sebuah pernyataan tentang politisi. Saya rasa ini sebuah ungkapan satire. Menurutnya, semua politisi sama. Mereka berjanji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai. Retorika politisi, istilahnya.

Dari pernyataan tersebut, saya rasa cukup relevan dengan kondisi politisi kita saat ini. Menjelang Pemilu 2024, setiap politisi bermanis-manis di hadapan rakyat. Tidak hanya raut wajah yang dihiasi dengan senyum sumringah, tapi janji-janjinya juga cukup menakjubkan. Membuat kita sedikit termenung, bagaimana mereka itu akan merealisasikannya.

Sebab, rakyat sekarang sudah cukup melek informasi. Tidak begitu gampang dikibuli lagi. Belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya, ketika sudah menjabat di legislatif ataupun eksekutif, kenyataannya banyak yang lupa ingatan.

Rakyat yang justru disuruh mengingatnya. Ketika diingatkan, ternyata sia-sia. Ada yang tersinggung, antikritik, bahkan menutup telinga terhadap aspirasi dari bawah. Segala jurus dikeluarkan untuk mangkir dan melupakan janji politiknya. Mulai dari menyatakan bahwa anggaran terbatas, program tak sesuai dengan pusat, tak ada regulasi yang menaungi, dan sebagainya.

James Freeman Clarke (1810-1888), penulis dan pakar teologi asal Amerika, pernah menyatakan bahwa seorang negarawan itu lebih berpikir tentang bagaimana nasib generasi mendatang, sementara politisi hanya berpikir bagaimana memenangkan Pemilu yang akan datang. Ungkapan tersebut semacam menjadi sindiran keras bagi politisi yang hanya berpikir dan berorientasi terhadap kekuasaan. Yang ada dalam benaknya adalah hanya bagaimana memenangkan sebuah kontestasi politik.

Bahkan, kadang tak begitu peduli jika ucapan dan tindakannya bisa meruntuhkan persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat. Kadang tidak menghiraukan jika tindakan-tindakannya berpotensi untuk membuat kegaduhan. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk duduk di kursi kekuasaan.

Dalam buku berjudul Leadership is Dead, karangan Jeremie Kubicek, seorang pakar teori kepemimpinan asal Inggris, disebutkan bahwa pemimpin sekarang lebih banyak yang menuntut (getting) daripada memberi (giving), lebih banyak menikmati ketimbang melayani, dan lebih banyak mengumbar janji daripada memberi bukti.

Ya, sebagian politisi justru hanya jago beretorika. Namun, kenyataannya semua yang dilontarkan hanyalah lip service alias omong kosong. Maka benar apa yang diucapkan oleh D. Zawawi Imron, budayawan Madura, bahwa dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia dari intelektual—termasuk politisi—yang menjanjikan telur.

Saat ini, bisa kita lihat politisi-politisi kita mulai bergerak melancarkan beragam taktik dan strategi politik untuk mendulang suara sebanyak mungkin pada Pemilu 2024. Jangan sampai kita terkecoh oleh citra politisi yang tiba-tiba berubah menjadi seperti malaikat. Lihat dulu rekam jejak mereka sebelum memantapkan pilihan.

Bagaimanapun juga, mereka yang akan kita pilih, baik di legislatif maupun eksekutif, akan mengurusi hidup kita dalam berbangsa dan bernegara. Produk hukum, kebijakan, dan beragam program akan dihasilkan oleh mereka yang kita pilih. Jika yang kita pilih adalah orang-orang yang tak amanah, maka bersiap-siaplah jika negara ini akan diatur secara sembrono.

BACA JUGA  Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Seberapa Bahaya?

Sekali lagi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini. Mereka yang saat ini duduk di istana mendapatkan mandat dari kita untuk mengurus negara ini sesuai dengan amanah konstitusi.

Kepentingan bangsa dan negara wajib dinomorsatukan. Jangan dibalik, kepentingan diri dan parpolnya yang justru dijadikan prioritas utama dalam setiap pengambilan keputusan. Salah kaprah jika pejabat kita hanya sibuk memperkaya diri. Pejabat-pejabat semacam itu hanya mementingkan urusan perut dan syahwat kekuasaan. Urusan rakyat dikesampingkan. Kupingnya kepanasan ketika dikritik oleh rakyat. Merasa kebakaran jenggot ketika rakyat memberikan masukan.

Padahal, mereka duduk di istana adalah berkat rakyat. Tanpa rakyat, mereka sama sekali tidak akan pernah jadi pejabat tinggi negara. Seperti kacang yang lupa terhadap kulitnya. Pantas saja jika sebagian rakyat kita kehilangan kepercayaan ketika ada politisi tiba-tiba rajin sowan menjelang kontestasi politik. Sebab, yang ada di pikiran kita adalah mereka hendak membujuk kita untuk memilih mereka.

Jujur saja, sebagian rakyat sudah mulai muak dengan politisi yang hanya baik ketika ada maunya. Mereka memakai ‘topeng’ seperti superhero yang akan memberantas segala problematika. Berkobar-kobar untuk mengentaskan kemiskinan, menurunkan angka pengangguran, subsidi BBM, pendidikan gratis, dan sebagainya. Tak jarang program-programnya itu tidak masuk akal. Ada yang masuk akal tapi hanya sekadar menjadi program.

Setelah menjabat, hilang tak berbekas. Hal itu terjadi ibarat siklus lima tahunan. Saya rasa wajar jika kepercayaan publik terhadap sebagian politisi berada di ujung tanduk. Itu semua sebab ulah mereka sendiri yang tak mengindahkan janji-janji politiknya. Bahkan, parahnya lagi ada yang dengan seenaknya melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lagi-lagi kita dilukai oleh orang-orang yang pernah kita berikan mandat.

Terakhir, saya berharap politisi-politisi kita cerdas membaca situasi emosi publik saat ini. Publik menginginkan kehadiran pemimpin yang selaras antara ucapan dan tindakannya. Pemimpin yang tidak hanya pintar bersilat lidah, namun mampu memberikan bukti nyata. Pemimpin semacam itu biasanya lahir dari proses kaderisasi yang benar. Bukan lahir secara instan, tiba-tiba mencalonkan diri sebagai pejabat publik.

Padahal sebelumnya tak ada pengalaman memimpin. Rakyat justru dijadikan uji coba dalam masa kepemimpinannya. Belajar memimpin ketika jadi pemimpin bukan hal yang keliru, tapi itu justru buang-buang waktu dan kurang efektif. Lebih baik dipimpin oleh orang-orang yang memang secara integritas sudah teruji dan memiliki segudang pengalaman dalam dunia organisasi dan kepemimpinan.

Sekali lagi, kepercayaan rakyat perlu dikembalikan. Dan untuk mewujudkan itu, harus tampil ke publik tokoh-tokoh yang memang sudah terbukti amanah dan kredibel dalam memimpin. Jangan sampai publik benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap politisi atau calon pemimpin kita.

Muhammad Aufal Fresky
Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku. Mahasiswa prodi magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya Malang.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru