27.6 C
Jakarta

Kesalehan Radikal Atas Nama Agama dan Tuhan

Artikel Trending

KhazanahOpiniKesalehan Radikal Atas Nama Agama dan Tuhan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comMan ra’a minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi, wan man lam yastathi’u fabilisanihi, wa man lam yastathi’u fabiqalbihi, fadzalika adl’af al-iman. Teks hadis ini dalam khazanah Islam bagi sebagian umat Muslim merupakan salah satu selain dari doktrin jihad dan kesalehan radikal: mati syahid, yang menjadi sumber doktrin kaum radikalis dalam melakukan aksinya.

Secara umum hadits ini berarti atau diartikan: “barang siapa yang melihat kemungkaran hendaklah memberantas dengan tangan atau kekuatan, jika tidak mampu maka dengan perkataan, jika tidak mampu maka dengan hati dan itulah pertanda selemah-lemahnya iman”.

Bagi sekelompok umat Islam khusus di negeri ini, tindak yang dianggap tak Islam atau tidak sesuai dengan agama, maka dianggap munkar, maksiat, dan tidak Islam, serta sesat, dan bahkan dianggap halal darahnya untuk dibunuh.

Jika tidak bertindak dengan kekerasan seperti merusak tempat-tempat perjudian, prostitusi, dan tempat minum keras, bahkan memukul pelaku, serta tempat yang dianggap masksiat lainnya, tergolong orang yang imannya lebih, atau dengan kata lain dikatakan kurang taat dalam menjalankan ajaran agama Islam.

Diakaui atau tidak, sering kali para penganut agama bersumber dari doktrin yang dicomut pada era skolastik paling rentan dalam setiap perubahan sosial yang semakin cepat ini. Dan, sering kali terangkap dalam tindakan kekerasan bahkan terpapar paham radikalisme.

Kedamaian dan Rahmatan lil Alamin dari ajaran Islam sering ditampilkan dalam situasi stabil sepanjang tafsir pemeluk sesama agama dan ideologi. Namun, bila dalam situasi kritis, paham tafsir dan ideologi yang berbeda baik, sesama umat Islam maupun pada pemeluk agama lain dengan sangat mudah ditempatkan sebagai ancaman. Oleh karena itu, kekerasan dan radikalisme serin kali muncul dalam situasi seperti di mana kesalehan keagamaan dipandang berada dalam ancaman.

Radikalisme akan semakin meluas, sebagaimana yang tampil dalam beberapa tahun terakhir ini, manakala muncul kepercayaan mileniarisme tentang janji-janji surgawi dengan tujuh puluh bidadari di masa depan, di mana dalam pandangannya hanya diperuntukkan untuk golongon mereka yang saleh. Dari sini kemudian radikalisme berubah menjadi semacam gerakan revolusioner salah kaprah yang hendak merubah situasi dan kondisi sesuai dengan keyakinan dan pemahaman tafsir sendiri.

Mak mengherankan kalau gerakan revolusioner salah kaprah ini, biasanya menampilkan tokoh kharismatik yang diyakini sudah memperoleh mandat dari sumber kekuatan supranatural sebut saja misalnya, Sayyid Qutb, al-Maqdisi, al-Uyairi, Salih al-Fawzan bin Fawzan dan nasir al-Din al-Albani serta tokoh lainnya. Kelompok ini beserta pengikutnya muncul dan membagi dunia secara hitam dan putih agar lebih menarik simpati hati orang-orang yang kehilangan harapan.

Selain itu, pola dan bentuk radikalisme ini muncul dari beragam yang mentahbiskan diri sebagai pembawa panji selamatan melalui berbagai aksi dan tindakan kekerasan dengan mengatanamakan agama demi menghancurkan semua kelompok yang berbeda dari kelompok serta ideologi tafsir dari dirinya.

Tentu, pola dan bentuk lain yang muncul serta perlu diperhatikan dan diwapadai adalah berkamupalase dalam bentuk uzlah atau istilah generasi milenial menyebut dirinya hijrah sebagai pengisolasian diri agar tak tercemar dosa. Kelompok kelas menengah ini biasanya lahir dengan membait diri sebagai pemegang kunci amanah bagi pelusuran tatanan sosial bersifat dekaden melalui aksi-aksi yang lebih persuasif.

Pemerintah yang paham Islam dan tafsirnya berbeda, apalagi agamanya yang berbeda, mudah sekali ditempatkan sebagai kemungkaran dan maksiat yang harus dibinasakan, diberantas, bahkan dimakzulkan, sebagaimana yang diwacanakan beberapa tahun belakang ini.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Kebijakan pemerintah sebagai penguasa yang sah, dengan sangat gampang ditempatkan sebagai ancaman bagi kelestarian keyakinan agama sebagaimana ancaman dari perbedaan agama dan paham keagamaan. Karena itu, kesalehan radikalisme mengatasnaamakan agama dan tahun sering terjadi di negeri ini.

Kenyataaannya, kaum menganut radikalisme selalu melihat sejarah dunia, khususnya sejarah Islam bersifat linear di mana yang tak disadari kalau setiap perubahan sosial tidak akan selalu sesuai dengan keyakinan agama dan ideologinya sehingga pada akhirnya diletakan sebagai suatu ancaman yang mengancama eksistensi kelompok dan dirinya.

Barang kali rasa terancam dari komunitas keagamaan atau ideologi tertentu tanpa harapan yang dapat mengubah keadaan melalui dan saluran sosial politik yang tidak tersedia adalah pemicu utama dari tindakan radikalisme. Dunia sosial seperti saat ini dianggap terbelah ke dalam dua kekuatan yang saling berlawanan, baik-buruk, setan-malaikat, maksiat-saleh halal-haram tanpa adanya pilihan ketiga. Dari pandangan ini muncul berbagai gerakan radikal di tanah air kita ini.

Di tengah gemerlapnya dunia sosial, semakin membuat komunitas penganut radikalisme mengalami alienasi dan keterasingan sosial yang semakin keras. Doktrin jihad atau mati syahid yang ada dalam tafsir agama, muncul aktual dalam benak dan situasi, serta, kondisi krisis menjadi ruh gerakan radikalisme. Dan, pada saat yang sama pula realisasi kesalehan keagamaan mengalami dilema eksistensial, yang ada hanya menawarkan satu jalan untuk mempertahankan keyakinan tafsir agama yaitu dengan: kekerasan dan teror.

Munculnya laskar keagamaan dalam bentuk radikalisme dan teror merupakan bias dari tafsir doktrin agama yang belum berubah dan berkembang dari model keagaman skolastik. Di saat kehidupan penganut agama besar lainnya telah berubah dan berkembang, iptek sudah maju pesat dan penduduk dunia sudah tumbuh berlipat kali, maka ajaran tafsir agama mulai menemukan kesulitan dalam memainkan peran dan fungsinya. Sebagai akibatnya pengusung radikalisme merasa terancam dari setiap kesalehan sehingga mendorong radikalisme.

Di samping itu, Tuhan lebih banyak ditampilkan sebagai sosok yang maha keras, kedamaian Islam yang diberlakukan untuk kelompok sendiri. Sudah bisa dipastikan tidak ada tempat bagi pemeluk agama yang lain. Bahkan juga bagi kelompok keagamaan yang berbeda tafsir meskipun menganut agama yang sama: Islam.

Kelembutan Tuhan yang maha lathif dan maha rahman serta maha rahim sudah tak menarik lagi. Dunia aktual sudah dilukiskan sedang berada dalam kematangan kiamat, dan yang ada hanya dua pilihan antara surga atau neraka, itu saja.

Keberadaan Tuhan dan sifatnya hanya dimaknai sempit, sementara kitab suci al-Quran yang satu, ditafsiri dengan hanya satu tafsir tunggal. Tuhan dan kitab suci al-Quran seharusnya menjadi media pembebasan setiap umat manusia dari situasi dan kondisi dunia yang tanpa harapan serta pilihan.

Pada akhirnya, kita sendirilah sebagai pemeluk agama terbesar, yang bisa menentukan apakah Tuhan maha keras atau maha lembut yang harus banyak tampil. Demikian pula al-Quran, apakah kita tafsiri tunggal atau tidak, di mana kesalehan sosial bisa didapat dengan membiarkan pemahaman tafsir berbeda dan pemeluk agama lain bisa hidup aman dan tenteram. Semakin dekaden dunia saat ini dengan perkembangan dunia media sosial, tentunya semakin terbuka lebar pula peluang surganya.

Syahuri Arsyi
Syahuri Arsyi
Peminat Kajian Keislaman dan Sosial

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru