28.1 C
Jakarta

Kesalahan Al-Zaytun dan Kegegabahan MUI

Artikel Trending

KhazanahOpiniKesalahan Al-Zaytun dan Kegegabahan MUI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – PP. Al-Zaytun yang berlokasi di Indramayu sampai sekarang masih menjadi isu hangat yang menyedot perhatian publik. Viralitas pesantren itu mulai tampak tatkala hari raya Idul Fitri kemarin di mana shalat ‘Id di sana menyimpang dari arus utama. Lumrahnya, bahkan secara doktrinal menurut keyakinan rata-rata, shaff (barisan jama’ah dalam shalat) ialah lelaki di bagian depan, sementara perempuan di bagian belakang. Pesantren tersebut mencampur-baurkan jama’ah lelaki dan perempuan dalam satu barisan.

Sejak itu, keberadaan Al-Zaytun menjadi sorotan warga, mulai dari kalangan awam hingga agamawan. K.H. Chalil Nafis, Ketua Bidang Dakwah MUI dalam debatnya dengan Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah, di TVOne, menuturkan bahwa MUI sudah sejak 2002 hendak melacak bagaimana doktrin Islam diajarkan di sana. Sayangnya, pihak Al-Zaytun menutup diri, bahkan sampai kini. Dari situ, MUI melayangkan “fatwa” yang sebenarnya masih indikasi bahwa pesantren ini sesat.

Nafis menyampaikan setidaknya ada empat indikasi kesesatan pesantren ini. Pertama, shaff shalat boleh campur-baur antara lelaki dan perempuan. Kedua, hukum zina itu boleh, asal dibayar. Ketiga, perempuan boleh menjadi khatib shalat Jum’at. Keempat, tafsir atas ayat tafassahu fi al-majalisi sebagai social distancing.

Menentukan posisi pada polemik ini begitu sulit. Disebut demikian, sebab kedua belah pihak (Al-Zaytun dan MUI) sama-sama memiliki kerancuan, sehingga tidak bisa diputuskan secara tegas siapa yang layak publik dukung. Hanya saja, beberapa atau bahkan sebagian besar orang mendukung MUI. Sebelum mengurai motif dukungan ini, ada pentingnya penulis mengutarakan sisi minus dari kedua belah pihak.

Pihak Al-Zaytun melakukan kesalahan berupa ketertutupan untuk sesuatu yang sensitif bagi publik, yakni persoalan agama. Ketertutupan merupakan sikap yang berbahaya, jika sudah menyangkut urusan bersama. Agama bagi warga Indonesia sebenarnya tidak sekadar urusan privat, sekalipun arus dominan sosio-politik sekarang adalah sekuler. Tak ayal, isu agama selalu berpotensi menyita perhatian di lingkungan Indonesia.

Al-Zaytun dalam konteks ini enggan berdialog atas ke-nyentrik-an yang dilakukannya. Keengganan ini berarti tiadanya tanggung jawab. Alhasil, problem yang mestinya selesai di forum dialog menggelinding menjadi isu yang memanaskan publik, tidak terkecuali agamawan.

Lebih lanjut, isu panas tersebut menimbulkan paling tidak dua resiko. Pertama, kekacauan suasana akibat sesuatu yang belum jelas duduk perkaranya. Kedua, kesempatan emas bagi akun-akun gelap untuk mencari pundi-pundi keuntungan dengan menggoreng isu yang tidak jelas itu.

Di pihak lain, MUI cenderung bersikap kaku dalam menangkap fenomena yang menyimpang. Empat indikasi di atas kecuali indikasi kedua tidak cukup sah diperbesar. Terkait indikasi kedua (zina boleh, asal dengan pembayaran) adalah wacana. Wacana hanya boleh dilawan dengan wacana, bukan dengan memobilisasi massa. Memang MUI tidak memobilisasi massa untuk mendiskreditkan Al-Zaytun. Akan tetapi, indikasi sesat yang MUI layangkan memiliki efek mobilitas yang luar biasa.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

Dalam hal itu, yang perlu dipertanyakan dari MUI adalah apa dan bagaimana sesat itu sendiri? Di sisi lain, bagaimana menyikapi kesesatan? Pertanyaan ini tidak akan penulis urai, namun penting penulis utarakan kecenderungan MUI dalam memahami agama. Pemahaman atas Islam dalam studi Islam cukup bervariasi.

Akan tetapi, secara umum, ada dua tipe pemahaman, yaitu fundamental dan liberal. Kubu fundamental memandang rata-rata ajaran agama secara normatif; diterima dan diterapkan secara apa adanya tanpa mendialogkannya dengan realitas. Pandangan normatif mensubordinasikan keanekaragaman pada satu pemahaman tunggal.

Sebaliknya, kubu liberal memandang rata-rata ajaran agama secara kontekstual; selalu dalam dialog dengan realitas. MUI berada pada jajaran fundamental. Kubu fundamental selain merasa benar atas pemahamannya sendiri, ia juga cenderung memaksakan pemahamannya kepada pihak lain. Sementara itu, kubu liberal, lantaran terlalu fokus pada konteks, sampai-sampai mengancam doktrin agama itu sendiri, sehingga berpotensi menempatkan agama tidak punya sisi paten yang tidak bisa diganggu-gugat.

Untuk kasus Al-Zaytun, jika sekiranya empat indikasi sebelumnya benar-benar ada dan benar-benar sesat, maka perkara demikian tidak sepantasnya dibesar-besarkan. Pasalnya, empat indikasi sebelumnya tidak menyerang langsung doktrin agama, yaitu rukun iman dan rukun Islam.

Selain indikasi kedua, tiga indikasi lainnya sebenarnya terlalu kecil untuk MUI akuisisi sebagai bahan perbincangan. Secara tidak langsung, MUI mendegradasikan posisinya yang berskala nasional dengan merangkul isu yang skalanya tidaklah doktrinal dalam Islam.

Lantas bagaimana dengan pandangan Al-Zaytun tentang zina? Jika sekiranya Al-Zaytun atau oknum Al-Zaytun membolehkan zina, maka sikap MUI dan Muslim pada umumnya seharusnya sebatas pada wacana, bukan dengan kekerasan, apalagi sampai pembubaran. Pasalnya, Al-Zaytun boleh dibubarkan, jika pesantren ini mengharuskan santrinya berzina. Nyatanya, kebolehan zina di sini masih berupa ucapan yang dipanas-panaskan di media sosial.

Sayangnya, keempat indikasi sebelumnya masih berupa asumsi, sebab pihak Al-Zaytun belum membuka diri. Jika demikian, maka isu panas ini hanya bisa dihentikan dengan salah satu di antara dua langkah berikut. Pertama, harus ada dialog terbuka antara pihak Al-Zaytun dan MUI. Kedua, jika tidak bisa, maka empat indikasi sebelumnya harus diviralkan sebagai indikasi, bahkan asumsi, bukan vonis atau fatwa.

Aldi Hidayat
Aldi Hidayat
Lurah Komunitas Kutub Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru