29.5 C
Jakarta

Kepala BNPT Instruksikan Lawan Ideologi Radikal, Emang Bisa?

Artikel Trending

Milenial IslamKepala BNPT Instruksikan Lawan Ideologi Radikal, Emang Bisa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ada yang menarik dari pernyataan Kepala BNPT RI, Rycko Amelza Dahniel, ketika memberikan kultum di Masjid Al-Istiqamah, Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (14/1) kemarin. Ia memberikan strategi jitu melawan ideologi radikal, yaitu dengan ilmu pengetahuan. Strategi tersebut, menurutnya, dilakukan dengan membangun public awareness terhadap wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan.

With gun we can kill terrorist, but with education we can kill terrorism. Melawan pelaku-pelaku teror memang harus pakai senjata, tapi melawan ideologinya, pahami dengan ilmu pengetahuan. Ideologi radikal ini bibit awalnya tidak bisa menerima perbedaan, memaksa bahwa diri dan kelompoknya paling benar. Sedangkan orang lain dan kelompok yang tidak sepaham yang tidak bisa mengikutinya dianggap sebagai lawan, berhadap-hadapan, harus dihancurkan, dikafirkan, bahkan dihalalkan darahnya,” tegas Rycko.

Rycko kemudian mengingatkan seluruh jemaah yang hadir untuk tidak terpengaruh paham radikal, yang mengajarkan ideologi kekerasan berbalut kebencian, intoleransi, dan tidak menerima perbedaan di tengah pluralitas Indonesia. Jubah dan atribut agama yang kerap disalahgunakan, harus diwaspadai. Ia menegaskan, tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan kekerasan. Maka, melawan ideologi radikal-teror itu wajib.

Emang bisa sebuah ideologi itu dilawan, dalam arti dihancurkan total? Apakah benar pernyataan Kepala BNPT bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci melawan ideologi radikal tersebut? Bagaimana caranya? Ternyata Rycko tidak menguraikan lebih jauh. Karenanya, di sini akan diuraikan tentang upaya membabat habis ideologi radikal dengan dua pendekatan yang integratif, yakni mainstreaming moderasi dan moderating media.

Mainstreaming Moderasi

Proyek mengarusutamakan (mainstreaming) moderasi sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Paling tidak sejak masa Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin. Ia merupakan menteri yang paling concern dengan upaya mainstreaming tersebut ketimbang dua menteri setelahnya, Fachrul Razi dan Yaqut. Meski begitu, respons atas moderasi beragama hari ini tak seresisten dulu. Artinya, proyek tersebut sedikit berhasil.

Namun resistansi juga tidak dapat disangkal adanya. Untuk itu, sedikitnya ada dua langkah yang dapat dilakukan untuk mainstreaming moderasi. Pertama, reparasi kurikulum pendidikan. Istilah ‘reparasi’ mungkin akan ditolak sebagian kalangan, tetapi kurikulum pendidikan di tanah air memang perlu perbaikan ekstra. Kemenag dan Kemendikbud harus bekerja sama untuk tugas besar ini. Reparasi ini jangka panjang.

Meningkatkan pendidikan agama yang mengajarkan nilai-nilai toleransi, keragaman, dan pemahaman Islam moderat, juga mengintegrasikan kurikulum pendidikan dengan konten yang mempromosikan kritisisme dan dialog antaragama itu sifatnya kompleks dan butuh integrasi stakeholder. Hari ini, kurikulum pendidikan agama seperti MI, MD, dan MTs cenderung konservatif, sementara kurikulum umum cenderung defisit ilmu keagamaan.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Pemuda Jadi Target Teroris

Kedua, pelibatan tokoh agama sebagai mitra diseminasi dakwah moderat. Lembaga seperti Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) dapat menjadi mitra strategis dalam mainstreaming moderasi. Para stakeholder termasuk BNPT mesti terlibat dalam hal ini. Menggandeng pemimpin agama untuk mempromosikan Islam moderat efektivitasnya sangat tinggi. Khotbah dan ceramah mereka akan diresapi masyarakat hingga menjadi masyarakat wasathiyah.

Moderating Media

Mengapa media perlu dimoderatisasi (moderating)? Jawabannya adalah karena ia lumbung infiltrasi ideologi radikal. Lebih dari lima puluh persen penduduk Indonesia adalah pemuda, yang mayoritas dari mereka adalah pegiat media sosial. Instagram dan TikTok, jutaan penggunanya adalah anak muda. Artinya, menguasai media berarti menguasai anak muda. Apakah itu belum cukup jadi alasan urgen?

Memoderatisasi media dapat dilakukan dengan sejumlah langkah. Pertama, standarisasi kebijakan platform. Perlu upaya mendorong media untuk menerapkan kebijakan yang ketat terhadap konten yang melanggar aturan, terutama hate speech dan propaganda radikal seperti takfir, khilafah, serta negara Islam. Pihak media, misalnya TikTok, mesti menyusun dan menegakkan standar komunitas yang anti-radikalisme.

Kedua, pengembangan algoritma AI. Penggunaan artificial intelligence (AI) untuk mendeteksi dan menghapus konten yang melanggar aturan harus dilakukan. Selain itu, mengembangkan algoritma yang dapat mengidentifikasi dan mengurangi penyebaran konten berbahaya akan sangat efektif untuk meminimalisasi indoktrinasi ideologi radikal. Jika dua hal ini diterapkan, ideologi radikal tidak lagi bisa berkutik.

Ketiga, kolaborasi antara pemerintah dengan platform media. Kekuasaan media itu lokal, maka segala kebijakan yang mendukung moderating media tergantung siapa yang ada di belakang layar media itu sendiri. Untuk itu, kerja sama pemerintah dengan platform terkait itu tidak dapat ditawar. Harus ada monitoring intensif, pertemuan berkala antarpemangku kepentingan untuk membahas isu-isu tersebut.

Jika mainstreaming moderasi dan moderating media berhasil, ideologi radikal akan hilang dengan sendirinya. Bagaimana tidak, masyarakat sudah menjadi moderat. Di sisi lain, radikalisasi di media juga nihil karena sudah dimoderatisasi. Jadi, apakah instruksi Kepala BNPT untuk melawan ideologi radikal itu bisa? Jawabannya: iya. Terapkan saja dua agenda tadi, yakni mainstreaming moderasi dan moderating media. Jelas berhasil.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru