31.2 C
Jakarta

Katanya Ingin Setara, Kok Masih Ada Organisasi Khusus Perempuan? Mari Kita Telusuri

Artikel Trending

KhazanahPerempuanKatanya Ingin Setara, Kok Masih Ada Organisasi Khusus Perempuan? Mari Kita Telusuri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Selama bergelut dalam dunia isu kesetaraan gender, saya pribadi dan mungkin kebanyakan dari kalian sering mendapatkan pertanyaan “Katanya perempuan dan laki-laki harus setara, tapi kok kenapa dalam tubuh suatu organisasi harus ada wadah khusus perempuan?” atau “Katanya ingin setara, tapi kenapa hanya ada Komnas Perempuan, tapi tidak ada Komnas Laki-laki?” atau “Bukannya membuat organisasi khusus perempuan menjadikan perempuan tidak ingin bersaing dengan laki-laki?” dan pertanyaan lainnya.

Sambil menikmati kopi, sambil tarik napas, saya tanya balik “Masih adakah perempuan korban kekerasan seksual?”, “Masih adakah perempuan yang sulit mendapatkan akses pendidikan?”, “Masih adakah perempuan yang malu untuk berekspresi?”, “Masih adakah perempuan yang menganggap dirinya sebagai manusia kelas kedua?” dan deretan pertanyaan serbu lainnya. Dan mereka menjawab “Ada!”.

Dengan lantang saya membalas “Selama itu semua masih ada, maka selama itu juga wadah khusus perempuan dan kebijakan yang dibuat khusus untuk perempuan harus ada!”. Lah kok bisa? Maksudnya gimana sih.

Begini, kalau ngomong coba dipikir-pikir dulu deh, jangan sampai salah kaprah! Membaca dan mencermati situasi sosial itu perlu lho sebelum ngomong. Kita harus sadar bahwa ada pengalaman yang khas dari perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Di mana perempuan memiliki pengalaman biologis, yaitu: Menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan nifas. Dan pengalaman sosial khas perempuan, yaitu: marginalisasi, subordiasi, double garden (beban kerja ganda), stereotype (pelabelan) dan kekerasan.

Apakah dengan adanya kekhasan pengalaman perempuan tersebut, kita bisa berada di titik adil dengan cara memperlakukan perempuan sama dengan laki-laki? Banyak dari teman saya, mengatakan “Katanya ingin setara, kok kamar mandi laki-laki dan perempuan dibedakan?”, “Katanya ingin setara, kok tempat duduk laki-laki dan perempuan di bus dibedakan?” dan pertanyaan lainnya.

Bagi saya, ini adalah konsep setara yang keliru menganggap bahwa setara berarti menyamakan perilaku terhadap perempuan dan laki-laki. Padahal bisa saja justru dengan membedakannya jauh lebih adil, yang terpenting dalam proses penyetaraan tersebut kita harus melihat konteks situasi perempuan dan laki-laki tersebut.

Pernah mendengar istilah equality dan equity? Equality adalah pemberian sama persis secara kuantitas (setara), contoh: Perempuan yang menstruasi diperlakukan sama dengan laki-laki, walaupun laki-laki tidak menstruasi. Sedangkan equity adalah pemberian sesuatu berdasarkan kebutuhan subjek orang tersebut (adil), contoh: Perempuan yang menstruasi itu harus diperlakukan yang berbeda dengan laki-laki, karena laki-laki tidak menstruasi.

BACA JUGA  Pesantren, Perempuan, dan Visi Progresif Peradaban

Apakah setara pasti adil? Tentu tidak! Tapi jika sudah adil, pasti setara. Ternyata kesetaraan saja tidak cukup, tapi harus digandeng dengan keadilan, sebab sama bukan berarti adil. Tentunya untuk merespons permasalahan perempuan tersebut, melahirkan konsep kesetaraan yang berbeda-beda dan tentunya melahirkan gerakan yang berbeda juga.

Iklilah Muzayanah DF, dosen Kajian Gender UI, dalam sebuah pelatihan yang saya ikuti menjelaskan bahwa ada 3 konsep kesetaraan untuk merespons permasalahan perempuan, yaitu:

Pertama, kesetaraan formal, artinya kesetaraan ini lebih menekankan pada kesetaraan (perlakuan yang sama)  tapi tidak melihat entitas yang berbeda-beda (keadilan). Misal: Perlakuan yang sama laki-laki dan perempuan di dunia pekerjaan, dengan cara tidak memberikan perempuan cuti melahirkan.

Kedua, kesetaraan proteksionis, yaitu kesetaraan yang menempatkan kepedulian dan perlindungan sebagai prinsip utamanya, dampaknya akan cenderung diskriminatif karena metode perlindungannya meleset, misalnya: Karena angka kekerasan seksual pada perempuan meningkat, maka ada peraturan daerah yang melarang perempuan untuk keluar malam hari.

Ketiga, kesetaraan substantif, yaitu kesetaraan yang bermuara pada kesamaan hasil. Prosesnya boleh berbeda, karena itu kesetaraan ini akan mendorong pada perlakuan berbeda yang kelihatannya diskriminatif pada kelompok tertentu, contoh: Di bus rentan sekali pelecehan terhadap perempuan, maka misalnya di di Transjakarta ada ruang khusus perempuan di bagian depan. Nah kesetaraan substantif melihat ini bukan tindakan diskriminasi karena tindakan khusus tersebut tujuannya untuk merespons kekerasan seksual di bus.

Jadi titik berangkat ketiga konsep tersebut berbeda, tapi sejauh ini konsep kesetaraan yang adil adalah konsep kesetaraan substantif, di mana ketika kita melihat anak-anak, perempuan dan laki-laki tidak lagi melihat dari titik berangkat yang sama, tetapi berbicara kesamaan hasil merujuk pada akses, fasilitas, kontrol dan manfaat yang sama-sama dapat dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.

Bayangkan saja, setelah berabad-abad lamanya perempuan hidup dalam diskriminasi, maka untuk mengejar posisi setara dengan laki-laki tidak cukup dengan hanya perlakuan yang sama. Perempuan harus diberikan perlakuan khusus dan fokus untuk mengejar ketertinggalannya, salah satunya membentuk wadah organisasi khusus pengembangan perempuan dan kebijakan khusus melindungi perempuan.

Jadi, adanya wadah khusus perempuan dalam suatu organisasi adalah sebuah bukti bahwa organisasi tersebut melek terhadap permasalahan perempuan, sekali lagi bukan maksud untuk membeda-bedakan yang kesannya diskriminatif, tapi ini adalah salah satu bentuk kesadaran bahwa perempuan memiliki kekhasan yang berbeda dengan laki-laki. Jadi setara harus disertai adil ya!

Hoerunnisa
Hoerunnisa
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Asal dari Garut Selatan, aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Bandung. Saat ini tergabung dalam komunitas menulis Puan Menulis.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru