28.2 C
Jakarta

Pesantren, Perempuan, dan Visi Progresif Peradaban

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPesantren, Perempuan, dan Visi Progresif Peradaban
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tidak ada kehebatan-kehebatan, atau bentuk-bentuk arogansi yang harus dibanggakan, seolah-olah ia menjadi superior atas liyan. Bahkan, secara objektif, laki-laki tidaklah sama dengan lebih hebat, unggul dan tinggi dibandingkan perempuan.

Seandainya pun, Al-Qur’an menyebut “arrijalu qawwamuna ‘alannisa”, pemimipin atas perempuan (karena lebih kuat fisik dan akal) juga tidak lantas menjadikan laki-laki semata-mata lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Toh, yang dimaksud pemimpin (dengan istilah “qawwum”) bukanlah dalam konteks makna yang padat dan kaku.

Menurut saya, makna tersebut memiliki konteks konotasi makna yang luas. Tidak semena-mena menjadikan laki-laki istimewa kedudukannya dibandingkan perempuan.

Istimewa tidaknya seseorang seyogianya hanya boleh dilihat, dinilai juga diukur pada kadar tingkat ketakwaannya. Takwa inilah yang pada akhirnya merepresentasikan kualitas seseorang, baik tentang kepribadian maupun keterampilannya. Tak ada jenis kelamin kemudian menjadi penentu mana yang lebih hebat dan mana yang lebih tidak hebat.

Jenis kelamin hanyalah manifestasi wadah dari kesatuan ruh yang berasal dari Sang Pencipta—untuk kepentingan silaturahmi sosial-kemanusiaan. Itulah mengapa laki-laki dan perempuan mesti saling membutuhkan dan saling melengkapi. Sebab, ruh tidak berjenis kelamin. Ruh berasal dari Sang Pencipta, sedangkan Ia tidaklah juga laki-laki maupun perempuan.

Kebudayaan, termasuk interpretasi teks-teks agama, yang kemudian melahirkan imajinasi yang bias terhadap gender (peran laki-laki dan perempuan dalam ruang sosial). Umpamanya, marginalisasi, subordinasi, stereotipe, masalah beban ganda, bahkan diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan karena terciptanya budaya patriarki tidaklah disebabkan oleh teks-teks suci agama.

Hal-hal tersebut tercipta sebab adanya budaya bikinan manusia, interpretasi teks agama berdasarkan telaah akal manusia, yang bukan tidak mungkin sarat dengan adanya kepentingan di baliknya, termasuk tercampur oleh adanya corak kepentingan dalam konteks sosio-historis yang terjadi pada saat itu.

Misalnya, dalam buku “Perempuan, Islam dan Negara”(2022), yang ditulis oleh Kiai Husein Muhammad, mengulas bagaimana para ulama yang menulis kitab-kitab kuning mengenai perempuan, yang itu menjadi kajian di banyak pesantren. Dalam redaksi-redaksi makna teksnya boleh dibilang cenderung eksplisit menempatkan posisi perempuan dalam ruang subordinat.

Itu terjadi karena dua hal. Pertama, mayoritas ulama adalah berjenis kelamin laki-laki. Kedua, kitab-kitab tersebut merupakan produk kebudayaan pada zamannya. Terpengaruh oleh adanya konteks sosio-historis pada Abad Pertengahan Islam di Timur Tengah yang pada saat itu budaya patriarkat begitu mencolok, sehingga dominasi laki-laki sering terjadi (Muhammad, 2022: 99).

Sama halnya yang terjadi di pesantren-pesantren Nusantara pada awal kemunculannya. Santri sebagai sosok yang hidup di pesantren pada awal kemunculannya lebih didominasi kaum laki-laki. Sebab, pada saat itu, perempuan dianggap hanya sebagai kanca wingking  bagi laki-laki, sehingga ia tidak wajib atau harus susah-payah nyantri layaknya kaum laki-laki.

Bahkan, ulama-ulama Nusantara sebagai pengkaji kitab-kitab klasik ulama Timur Tengah Abad Pertengahan tentu juga menafsirkan tidak jauh berbeda dari apa yang ada dalam kitab-kitab klasik yang membahas tentang perempuan. Terkhusus relasi perempuan dengan laki-laki dalam konteks suami-istri.

Tidak jauh dari pemaknaan bahwa perempuan (istri) adalah sosok yang harus menaati alias tunduk di hadapan laki-laki (suami). Yang lebih parah adalah redaksi kitab yang menyebut bahwa perempuan (istri) merupakan objek pemuas kenikmatan atau hasrat seksual laki-laki (suami) belaka.

Perempuan adalah sosok yang hanya boleh bekerja di sektor domestik. Namun demikian, tidak lantas kita menyalahkan pesantren sebagai institusi yang menanam sekaligus yang memupuk subur konsep patriarki tersebut. Sebab, sekali lagi, semua itu terjadi karena pengaruh sosio-historis kehidupan masyarakat pada saat itu. Atau, itu adalah produk kebudayaan zamannya. Budaya sendiri bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis.

Budaya lahir dari adanya interaksi akal budi manusia dengan realita zaman. Begitupun kultur yang terjadi di pesantren. Sebagai sesuatu yang dinamis, kultur-kultur tersebut lambat-laun, mau tidak mau, akan berinteraksi dan kemudian berkompromi dengan zamannya. Dalam posisi inilah pesantren menjadi salah satu ruang strategis untuk menjawab tantangan zaman berupa isu kesetaraan gender, dan bagaimana harus pesantren menyikapinya.

BACA JUGA  Terabaikan dan Teralienasi: Peran Pemuda dan Perempuan dalam Kontra-Ekstremisme

Pesantren: Here Woman Create!

Perempuan bukanlah sosok yang serta merta mesti dipingit utuh dalam ruang yang boleh jadi berkonotasi ke arah subordinasi atau marjinalisasi. Perempuan mesti juga diberikan ruang hak dan kesempatannya untuk sama-sama berkreasi mengekspresikan diri dan bakat keahliannya masing-masing di ruang publik.

Sebagaimana yang dikutip oleh Neng Dara Affiah, dalam buku “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas”(2017). Dalam bukunya ditulis pernyataan Kiai Agus Salim dalam ceramahnya “Tentang Pemakaian Kerudung dan Pemisahan Perempuan” saat Kongres Jon Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta, menyebut bahwa umat Islam memiliki kecenderungan memisahkan perempuan dari wilayah publik dan suka menempatkannya dalam posisi-posisi sempit—pojok-pojok ruangan.

Termasuk umpamanya menempatkannya di pojok-pojok sudut masjid atau dalam rapat-rapat yang biasanya ditutupi dengan kain putih (hijab). Itu dianggap sebagai ajaran Islam, padahal menurut Agus Salim, praktik tersebut adalah tradisi Arab yang kemudian dilakukan juga oleh kaum Nasrani maupun Yahudi (Affiah, 2017: 134).

Tentulah, jika benar demikian, Islam harus benar-benar kita pelajari secara tepat. Tentu kita tidak dapat menafikan adanya campur tangan budaya yang masuk ke dalam praktik agama Islam, akan tetapi paling tidak kita mengetahui asal-usul dari setiap praktik budaya yang ada, apa pun itu, sehingga kita tidak kemudian kehilangan pemahaman dengan menganggap budaya yang sebenarnya bukan dari Islam kita anggap dan dimutlakkan sebagai ajaran Islam.

Pada masalah demikian, pemisahan di ruang-ruang seperti itu akan memiliki efek pula pada pemisahan peran perempuan dalam sektor publik. Sehingga, pada akhirnya, perempuan mengalami “diskriminasi” lewat ilusi pengetahuan keagamaan. Mengutip pula tanggapan Soekarno mengenai ceramah Agus Salim:

“Bagi saya tabir itu simbol perbudakan yang tidak dikehendaki oleh Islam. Saya ingat bahwa dulu Haji Agus Salim pernah merobek tabir di salah satu rapat umum. Dalam pandangan saya, perbuatan beliau itu adalah salah satu perbuatan yang lebih besar (misalnya) daripada menolong pahlawan dari air laut yang sedang mendidih atau masuk penjara karena delik sekalipun, sebab perbuatan demikian itu minta keberanian moril yang besar.” (Affiah, 2017: 134)

Dalam hal ini saya ingin mengatakan, bahwa apa yang menjadi masalah adalah kejumudan kita sendiri sebagai umat Islam dalam melihat realita zaman. Sikap yang cenderung “konservatif”, kolot dan naif menjadi tembok besar yang membikin kita semakin ke sini semakin terpuruk.

Dalam konteks kesetaraan gender, apabila sikap demikian masih dijadikan basis berpikir pesantren, ini tentu akan menjadi apa yang disebut oleh Soekarno sebagai “simbol perbudakan”, alih-alih memberikan perempuan ruang berekspresi sebagaimana mestinya.

Oleh karenanya, pesantren harus memiliki visi yang progresif. Memandang dengan lebih berani dan tajam. Kita tentu tidak bisa menafikan fakta, bahwa bangsa kita ini bisa lahir dan beradab juga berkat pendidikan pesantren, lewat kajian-kajian kitab dan praktik-praktik pendidikan lainnya, yang memupuk semangat nasionalisme dan patriotisme.

Sehingga, menjadikan pesantren sebagai ruang strategis untuk kajian-kajian mengenai kesetaraan gender, masalah keperempuanan yang jauh lebih segar dan relevan dengan zaman menjadi hal yang mesti dikurikulumkan dalam tubuh pendidikan pesantren.

Jadi, tidak hanya sekadar mengkaji kitab-kitab klasik keperempuanan, tapi juga kitab-kitab tentang kesetaraan gender dewasa ini. Perempuan adalah nyawa peradaban, mereka yang tidak memperlakukan perempuan sebagaimana mestinya, maka ia sedang berusaha menghancurkan peradabannya sendiri dan masa depannya.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru