27.5 C
Jakarta

Kapitalisme: Jurus Aktivis Khilafah untuk Mendegradasi NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamKapitalisme: Jurus Aktivis Khilafah untuk Mendegradasi NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sistem kapitalisme menjadikan negara tidak berperan sebagai pelindung dan penjamin kebutuhan rakyat. Bahkan perempuan harus berjuang sendiri mencari sesuap nasi karena negara tidak memiliki mekanisme pemenuhan kebutuhan pokok individu per individu. Apalagi, negara justru mengharuskan perempuan sebagai tulang punggung keluarga dan negara.”

Harakatuna.com – Demikian statement dr. Arum Harjanti yang disebarkan di grup Telegram khusus para aktivis khilafah. Harjanti berprofesi sebagai dokter umum di Bogor. Ia merupakan salah satu simpatisan HTI: aktif menulis di kanal website-nya, juga kerap mengisi seminar di kalangan aktivis khilafah. Di kalangan HTI, Harjanti dijuluki sebagai “Pengamat Masalah Anak, Perempuan, dan Generasi”. Apa yang Harjanti selalu narasikan?

Kapitalisme. Kutipan di atas adalah bukti konkret bahwa aktivis khilafah memainkan tiga narasi utama dalam indoktrinasi mereka—kiat mereka memengaruhi orang lain. Ketiganya ialah sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme. Ini sebenarnya sudah pernah dibahas pada tulisan yang lalu. Berulang kali ditegaskan bahwa dalam rangka mendegradasi spirit cinta tanah air alias nasionalisme, aktivis khilafah menembak sistem yang ada.

Sistem moneter, misalnya. Di kalangan aktivis khilafah, ada generalisasi bahwa NKRI menerapkan kapitalisme, sistem ekonomi di mana kepemilikan produksi, seperti tanah, modal, dan tenaga kerja, mayoritas dimiliki individu atau perusahaan swasta. Keputusan ekonomi didasarkan pada mekanisme pasar: harga barang dan jasa ditentukan oleh permintaan dan penawaran—yang kemudian dianggap merugikan golongan bawah.

Padahal itu tidak benar. Sistem moneter tanah air tidak sepenuhnya menganut kapitalisme. Indonesia menerapkan sistem ekonomi campuran, yakni kapitalisme cum sosialisme. Sebagian besar sektor ekonomi dijalankan sektor swasta, dan pasar bebas dipraktikkan dengan berbagai regulasi pemerintah. Ada kebebasan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan mengambil keuntungan dari inisiatif dan investasi sendiri.

Namun, pemerintah juga memiliki peran signifikan dalam regulasi dan asesmen sektor ekonomi, serta memberikan bantuan pada sektor-sektor tertentu yang dianggap vital bagi pembangunan nasional. Dalam konteks ini, pemerintah menerapkan kapitalisme. Selain itu, Indonesia juga memiliki program sosial untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan peluang ekonomi secara adil.

Yang terakhir ini mencerminkan elemen sistem ekonomi sosialis, ketika pemerintah memiliki peran dalam mendistribusikan sumber daya dan memastikan pemerataan ekonomi. Sistem campuran tersebut tentu saja relevan dan holistis. Jika dikontekstualisasikan dengan statement Harjanti, maka pernyataan tersebut otomatis keliru. Sistem moneter ala khilafah yang ia tawar itu apa? Masa monarki itu sistem moneternya juga kapital.

Harjanti membuat narasi seolah di zaman monarki Islam, yang ia sebut zaman khilafah, seluruh rakyat kaya raya. Tidak ada penderitaan sama sekali. Narasi tersebut sama sekali ngawur dan tak berdasar. Ditambah lagi ia menuduh kapitalisme menyengsarakan perempuan, padahal hari ini banyak perempuan sukses sebagai pebisnis besar. Justru, di era monarkilah perempuan tercekik oleh misoginisme: sudah melarat, dikucilkan pula.

BACA JUGA  Strategi Baru “Perjuangan Islam” JI, Potensi Masih Berbahaya?

Misoginisme di Zaman Monarki

Pada masa awal Islam, era Nabi hingga sahabat, perempuan dan laki-laki memiliki keistimewaannya sendiri secara egaliter. Namun demikian, status perempuan kemudian memburuk dalam proses diferensiasi sistematis teologi Islam. Mereka kehilangan tempatnya dalam wacana keagamaan melalui kanonisasi syariat—yang dipraktikkan oleh umat Islam. Dalam diskursus tafsir, hadis, fikih, dan lainnya, mereka teralienasi.

Kanonisasi menggambarkan proses dinamika keislaman sebagai sistem hukum, melarang akses ke sumber-sumber Islam dalam banyak aspek kehidupan. Berbagai hambatan terhadap cara hidup dan berpikir Nabi Saw. muncul, sehingga mereka yang berbicara tentangnya semakin menjauh dari cara berpikirnya. Para teolog membangun sistem hukum yang kaku dari agama yang manusiawi dengan produknya yang sarat ideologis.

Sebagai contoh, mufasir laki-laki tak jarang menempatkan perempuan secara marginal dalam masyarakat—mengeluarkan mereka dari kehidupan publik. Perempuan tidak hanya diusir; argumen teologis yang ideologis membuat kembalinya mereka ke pengetahuan status yang egaliter menjadi tidak mungkin. Diskriminasi teologis tersebut tidak didukung Al-Qur’an mapun hadis, namun tafsiran ke arah itu pun dibuat.

Selain itu, misoginisme di zaman monarki mendiskualifikasi perempuan dengan melabelisasi mereka secara inferior dan merendahkan. Mereka dilarang memakai pakaian baru agar tidak meninggalkan rumah. Mereka dilarang ke luar rumah tanpa izin. Kalau pun keluar rumah, mereka dituntut berhati-hati untuk menutup dirinya, berperilaku sopan di tempat umum, menundukkan kepala, dan tidak melihat siapa pun.

Apakah seperti itu yang Harjanti ingin terapkan melalui kritiknya atas sistem yang berlaku saat ini? Sungguh menyedihkan ketika seorang perempuan mengerangkeng dirinya sendiri dengan misoginisme abad pertengahan. Tidak hanya berusaha mendiskreditkan dirinya sendiri secara gender, ia juga berusaha menggerus kecintaan masyarakat terhadap NKRI dengan menyebarkan narasi-narasi yang negatif tentang sistem moneter dan perempuan.

Bagaimana Menyikapinya?

Menyikapi narasi yang mencoba menggerus nasionalisme dengan menyatakan bahwa sistem moneter kapital di Indonesia tidak adil itu harus tegas. Memang, harus diakui, sistem di negara ini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam menjaga keadilan ekonomi. Pemerintah dan masyarakat membutuhkan strategi kolaboratif menuju inklusi ekonomi menuju kesejahteraan yang merata.

Selain itu, edukasi tentang sistem moneter adalah kunci mengatasi narasi yang merongrong nasionalisme. Masyarakat mesti diberdayakan, untuk memahami peran mereka dalam ekonomi dan melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan ekonomi yang memperkuat kesatuan nasional. Membangun spirit nasionalisme melalui ekonomi adalah sesuatu yang niscaya—sehingga narasi kapitalisme aktivis khilafah tidak lagi laku.

Sikap lain yang tak kalah penting ialah menjaga identitas dan kedaulatan ekonomi nasional, sebagai bagian integral dari eskalasi spirit nasionalisme. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama, memastikan kebijakan ekonomi mengarah pada kedaulatan Indonesia, mengekang ketamakan oligarki, dan bermanfaat untuk seluruh masyarakat—terutama akar rumput (grassroot) atau perempuan yang rentan dengan propaganda aktivis khilafah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru