31.2 C
Jakarta

Isu Terorisme, ACT, dan Kepolosan Umat

Artikel Trending

Milenial IslamIsu Terorisme, ACT, dan Kepolosan Umat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kasus ACT yang memalukan terus bergulir. Aparat menelusuri jejak organisasi filantropi tersebut. Petingginya, Ahyudin dan Ibnu Khajar tengah jadi sorotan, dan yang terkini pemerintah membekukan izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) ACT karena melanggar peraturan. Pemerintah mengaku akan menyisir lembaga serupa guna mencegah terjadinya pelanggaran. Namun yang menarik ialah, benarkah ACT mendukung teror? Isu terorisme lagi marak dibahas.

Sebenarnya, seperti dikatakan Supriansyah, kasus ACT berkaitan dengan fakta bahwa berislam tidak lagi sekadar menjalankan ajaran agama, namun juga terdapat laku-laku transaksi religio-ekonomi. Simbol-simbol keyakinan digunakan untuk memasarkan produk-produk yang terkait dengan Islam. Dinamika ini akhirnya mengharuskan narasi Islam bernegosiasi dengan logika-logika pasar yang sekuler. Kebangkitan keberagamaan di era internet turut memperluas dinamikanya.

Artinya, iklan dan konten adalah salah satu unsur penting dalam merebut masyarakat Muslim. Kondisi ini tentu mengiring stakeholder membingkai ajaran agama dengan narasi lain yang lebih dari menjalankan ajaran atau sekadar mendapatkan pahala. Berderma ke lembaga-lembaga seperti ACT menjadi salah satu gaya hidup yang cukup menggoda bagi masyarakat Muslim modern. Kepolosan umat semacam itulah yang disadari betul oleh para aktivis ACT.

Tetapi bagaimana dengan isu terorisme yang menyertai kasus ACT?

Tidak Percaya

Sangat disayangkan bahwa kesangsian akan terorisme jadi bumbu bagi mereka yang selama ini memang tidak percaya pemerintah. Kalau kita ikut mereka, berarti penyakitnya adalah diri kita sendiri: suka ikut-ikutan. Tradisi ini yang juga membuat terorisme tidak kunjung musnah: selalu memberi peluang bagi para teroris bahwa di luar sana masih ada yang membela dan mendukungnya. Tidak percaya terorisme pada akhirnya tidak percaya isu terorisme, termasuk dalam kasus ACT.

Karenanya, tradisi ikut-ikutan dan sikap plin-plan tak jelas harus dihindari. Terorisme adalah musuh semua agama, dan kita yang Muslim tidak perlu menolak fakta bahwa terorisme memang menemukan legitimasinya dalam Al-Qur’an—sesuai penafsiran yang teroris lakukan. Al-Qur’an tidak mengajarkan terorisme, tetapi di dalamnya terdapat sejumlah ayat yang kalau ditafsirkan tekstual maka seolah memang membenarkan terorisme.

BACA JUGA  Ramadan dan Gerilya Radikalisasi, Bagaimana Menanganinya?

Itu bukan aib, jadi tidak benar kalau kita menyangkalnya lalu melimpahkan terorisme pada settingan pemerintah belaka. Persoalan terorisme adalah persoalan penafsiran atas teks Al-Qur’an, dan seharusnya ini menumbuhkan spirit pembenahan, bukan pemungkiran. Hanya orang bodoh yang menganggap terorisme tidak ada, dan hanya orang yang hatinya penuh kedengkian yang menuduhkannya sebagai konspirasi pemerintah.

Jelas-jelas ACT punya media, juga aktivis yang siapa membela. Umat seharusnya tidak

Evaluasi

Umat Islam penting memahami bahwa melawan narasi radikal-ekstrem mesti dilakukan dengan mengedepankan sikap moderat (tawasuth) dan narasi imbang (i’tidal). Jika tidak, yang terjadi justru polemik ketidakpercayaan .

Itu yang banyak dilupakan, termasuk oleh sementara Nahdliyin yang santer ikut menanggapi polemik tersebut. Islam yang berimej tawasuth dan i’tidal merupakan lawan Islam berimej arogan, sehingga menjadi cara yang efektif untuk melakukan kontra-narasi. Arogansi ideologis Islam ala Salafi bukan merupakan arogansi bagi pengikutnya. Karenanya, ketika kata-kata tersebut mencuat ke permukaan, respons terhadapnya cukup pedas. Andai kata ‘Islam radikal’ yang dipakai, tidak akan serunyam itu.

Tetapi sekali lagi, diksi ‘arogan’ dipilih agar sama dengan lawan, yaitu masalah minoritas-mayoritas di NKRI. Kaum radikal yang anti budaya lokal itu tidak arogan secara personal, melainkan arogan secara ideologis. Bukan keberislaman mereka yang arogan, melainkan ideologinya. Seharusnya, narasi dari orang-orang seperti mereka disikapi secara moderat. Meluruskan, bukan membuat tandingan yang sama-sama bernuansa arogan.

Biarkan aparat mendalami kasus ACT mulai dana masuk, pemakaian, hingga pengeluarannya. Jika memang mereka terindikasi mendukung terorisme, maka ACT harus diusut hingga ke dedengkotnya yang paling tinggi. Isu terorisme penuh intrik, jangan sampai tidak percaya dengan itu karena kepolosan umat itu sendiri. Kepolosan itulah yang jadi faktor mudah sekali penipu melakukan penipuan. ACT harus jadi evaluasi kita tentang isu terorisme tentang betapa berbahayanya mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru