26.1 C
Jakarta

Islam Wasathiyah untuk Masa Depan Keberagamaan di NKRI

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuIslam Wasathiyah untuk Masa Depan Keberagamaan di NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus Hingga Mengaktualisasi Kesalehan, Penulis: Azyumardi Azra, CBE, Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Tahun Cetak: Cetakan I, 2020, Tebal: 360 halaman, ISBN: 978-623-241-291-0, Peresensi: Muhammad Muzadi Rizki.

Harakatuna.com – Saat ini, agama Islam tengah mengalami goncangan dinamika begitu pelik. Tudingan demi tudingan pelbagai arus tak alpa disematkan kepadanya. Dimulai dari biang sumber konflik, aktor anarkisme, penebar kebencian, hingga agama teror. Stigma itu semua tentu harus dipangkas total. Sebab jika tidak, selain bisa berdampak negatif, wajah Islam juga akan tercemar dan kehilangan daya tariknya lagi. Contohnya lahir islamofobia.

Melalui buku Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus Hingga Mengaktualisasi Kesalehan, Azyumardi Azra mereformulasikan secara genuine, eksplisit, satu-satunya model beragama yang mampu mencerahkan masa depan Islam yakni wasathiyah. Posisi wasathiyah adalah sebaik-baiknya perkara (khayr al-umur awsathuha), demikianlah Hadits Nabi Muhammad Saw semakin afirmatif. Ajaran wasathiyah yaitu titik pijak pertengahan (justly balanced attitude), ia tidak bias ekstrem kanan maupun kiri (hlm. x).

Ketika mengejawantahkan karakter wasathiyah, yakni tawasuth (tengah), tawazun (seimbang), I’tidal (adil), tasamuh (toleransi), islah (reformis), ta’awun (tolong-menolong/gotong royong), syura (musyawarah/konsultasi), muwathanah (cinta tanah air), musawa (egaliter), dan qudwah (teladan), konsekuensi logisnya akan tercipta suatu peradaban dan kemanusiaan yang sejati: beradab, berkemajaun, dan harmonis.

Sir Azra lebih lanjut menjelaskan Islam jalan tengah, washatiyah, sebagai peneduh kedamaian dan kemaslahatan mencapai signifikansi ketika Indonesia berhasil menerapkan konsep tersebut. Indonesia dengan populasi muslim terbesar di dunia, terkenal sangat merangkul serta merawat segala bentuk perbedaan dalam bingkai kerukunan. Budaya tepo seliro, andap ashor, ewuh pekewuh dan nilai adiluhung lainnya menjadi ciri khas yang telah di legacy sejak dahulu.

Titik tumbuhnya dimulai ketika proses Islamisasi bukan dengan jalan aneksasi wilayah, akan tetapi berbasis fiqhud dakwah. Islam yang diperkenalkan oleh para ulama, terutama Walisongo, penuh dengan kelembutan bukan barbarian. Dalam menjalankan misi dakwahnya, para Walisongo bersikap secara arif dan bijak, persis meneladani dakwah Nabi Muhammad Saw. Mereka mengusung pendekatan humanis, toleran serta kontekstual pada budaya maupun tradisi setempat.

Dari situ, pionir tradisi Islam wasathiyah di Indonesia mulai terbentuk. Corak yang ditampilkan sangat inklusif, akomodatif, dan akulturatif. Spirit representasi wasathiyah dalam dakwah Walisongo pada gilirannya dapat membentuk watak masyarakat saling cinta damai, tolong menolong dan toleran satu sama lain.

Sikap wasathiyah di Indonesia kemudian berlanjut menjadi pedoman tatkala terjadi perdebatan ideologi negara pasca kemerdekaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara secara aklamasi menjadi bukti titik tengah yang mempertegaskan NKRI bukanlah negara agama dan bukan juga negara sekuler. Indonesia menempatkan posisi secara proporsional tanpa mendeterminasi agama maupun sekuler, hubungan agama dan negara berparadigma simbiotik; saling membutuhkan dan timbal balik.

BACA JUGA  Menyelisik Intoleransi sebagai Titik Tolak Terorisme

Begitu pula ketika polemik sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” di Piagam Jakarta yang mendapat pertentangan kalangan non-muslim karena dinilai mencederai dan dianggap diskriminatif. Setelah dilakukan tinjauan ulang oleh kalangan nasionalis-ulama, serta mempertimbangkan maslahah dan mafsadah-nya. Pada akhirnya, diambil sebuah kompromi untuk merubah sila tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Inilah penerapan nyata dari sikap Islam wasathiyah Indonesia yang mengutamakan persatuan dan persaudaraan bangsa. Segala persoalan mampu diselesaikan dengan kepala dingin demi terciptanya tatanan damai dan penuh kemaslahatan. Sikap kebijakan jalan tengah mutlak menjadi pedoman dalam arah pembangunan bangsa. Sebab, hal demikian bisa mengakomodasi seluruh keragaman populasi yang tersebar.

Sir Azra kemudian menyadur cendekiawan mancanegara yang berpendapat Indonesia memperoleh keberkahan sangat bernilai dari Allah Swt. Tidak hanya sebatas kekayaan alam dan sosial budaya saja, akan tetapi juga dengan paradigma Islam wasathiyah-nya (hlm. 140). Tidak berlebihan rasanya jika Indonesia disebut sebagai cuilan surga dunia. Muslim Indonesia senang mempraktikkan Islam dengan wajah tersenyum (Islam with a smiling face) di tengah masyarakat yang berwarna.

Namun belakangan ini, di tengah arus modernitas ditambah eksplosi demokrasi dan kebebasan. Kekerasan atas nama agama, politisasi agama, normalisasi intoleransi masif diglorifikasi (hlm. 149). Kita bisa melihat maraknya aksi persekusi, menggagahi satu sama lain, agitasi, hingga menyalahkan ketika tidak sepaham. Tantangannya kian makin kompleks, ketika ideologi transnasional—antitesis Pancasila—muncul dengan niat utama menegakkan Daulah Islamiyah.

Secara gamblang, Sir Azra memetakan strategi kelompok pengusung ideologi transnasional dalam merekrut anggota simpatisan. Pola yang dilakukan terdeteksi dengan memasuki tempat strategis akademis seperti kampus. Dalam tataran wacana publik, kelompok ini tiada hentinya memprovokasi sehingga terjadi kontestasi ideologis. Pergerakan kelompok ideologi transnasional juga menjalar merangkak ke sektor politik praktis.

Menindaklanjuti pola di atas, Sir Azra mengundang seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat aktif memelihara & membangun peradaban dengan budaya dan kekuatan modal sosial yang kita miliki. Segala kelompok penghancur bangsa harus dilawan, jangan sampai kita apatis–cuek-isme.

Karena itu, penekanan buku ini menggarisbawahi beberapa hal, mulai dari memulihkan kesaktian Pancasila, varian radikalisme di kampus, kemana empati kita, kesadaran akan kejahatan kebencian dan dampak-dampaknya, serta keprihatinan terhadap mayoritas yang diam hingga komunikasi yang buruk.

Buku Azyumardi Azra ini sangat penting sebagai sarana menjadi ummatan wasathan—istilah Qurani disebut sebagai khaira ummah, umat terbaik (hlm. 155). Kelebihannya terbalut dengan solusi serta cakrawala argumentatif yang luas nan inklusif. Tanpa melebih-lebihkan, buku ini dapat menjadi nutrisi dan pijakan praksis spirit wasathiyah dalam menghadapi persoalan bangsa—termasuk menghalau potensi politisasi agama yang terus mencuat.

Muhammad Muzadi Rizki
Muhammad Muzadi Rizki
Senang berliterasi, membahas persoalan moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru