28.4 C
Jakarta

 Islam dan Fatalisme Beragama di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpini Islam dan Fatalisme Beragama di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Mengapa Islam terkadang menjadi rumit dan ruwet, sekalipun sejatinya ia sangat simpel menerjemahkan realitas sosial yang terjadi di bumi manusia, bukan karena agama Islam menjanjikan surga, pahala atau masa depan yang awang-awang.  Tetapi, sebagian para pemeluk agama Islam terjebak pada pemahaman opium, yang membuat ia kehilangan kesadaran akan eksistensinya sebagai makhluk sosial di dunia. Itulah fatalisme beragama di negeri kita.

Sebab tidak jarang Islam sering dijadikan identitas oleh mereka yang tidak bertanggung jawab hanya untuk propaganda pembenaran atas klaimnya, yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai kebenaran itu sendiri. Seperti kasus ceramah Ustad Sofyan Chalid yang mengatakan bahwa “haram hukumnya berwisata ke candi Borobudur, karena itu masuk ke persetujuan ibadah mereka”.

Ada juga narasi lain dari sebagian mereka jika Islam kontra pancasila, demokrasi tidak ada dalam Islam, dan hal-hal lainnya yang tidak tertulis dalam teks Islam, Al-Qur’an dan hadis, harus dihukumi sesuai seleranya sendiri. Sehingga, yang ada dalam mindset para pemeluk agama fanatis harus benar-benar murni dari Tuhan dan sesuai teks suci, di luar itu seperti budaya, multikulturalisme, dan sejenisnya yang lahir dari perkembangan zaman harus ditolak.

Dari sini kemudian benturan motif agama mudah terjadi, karena pemahaman keagamaan di masyarakat yang hanya didorong oleh emosi belaka atas ketidaksenangannya terhadap perbedaan yang datang dari agamanya sendiri maupun agama yang lain, sampai sekarang. Akhirnya yang muncul ke ruang publik kita bukan agama yang rahmat, agama yang ramah, melainkan agama yang mendapatkan citra negatif, karena akibat dari cara beragamanya yang terlalu kolot dan fanatik hingga menyebabkan perpecahan.

Tuhan, Allah, sudah mengingatkan sejak Islam lahir, melalui teks suci Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 103 وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا… yang artinya “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali-Imran ayat 103). Dari perintah ayat tersebut seyogianya cara beragama kita sudah mampu menyikapi persoalan-persoalan dengan bijak dan move on dari pemahaman agama yang selalu mengajak untuk kembali pada teks suci secara serampangan.

Namun, anjuran untuk selalu berpikir lebih inklusif dan kontekstual dalam memahami teks suci dan keadaan sosial sepertinya belum bisa ditangkap dengan baik dan kritis oleh sebagian para pemeluk agama Islam kita. Sebagian mereka yang fanatik, masih merasa dengan seonggok pengetahuan keagamaan yang dimilikinya berhak menuduh haram, merasa mempunyai otoritas untuk melarang ke sana sini, dan hal-hal yang tidak sesuai dengan isi kepalanya harus dilawan.

Padahal, sejauh mereka memahami eksistensi Islam sebagai agama yang penuh nilai semestinya hal itu bisa mendorong pada perbuatan rahmat dan kedamaian bagi pemeluk dan lingkungan sosialnya, agar segala persoalan yang hadir di bumi manusia mampu diselesaikan dengan kemaslahatan.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Sebab, fakta semua agama juga tidak pernah mengajarkan untuk memecah belah selagi ia masih menghargai kita sesama sebagai manusia, dan agama tidak memerintahkan pemeluknya untuk merasa paling benar sendiri.

Karenanya, agama merupakan visi dari kehidupan untuk kemanusiaan, sehingga segala pemahaman agama menjadi mediator untuk kebaikan bersama, semangat bersama dan cita-cita bersama. Bukan sebaliknya, menjadi jalan untuk kejahatan, kebencian, kerusakan, sampai melakukan tindakan terorisme di mana-mana dan bom bunuh diri yang tidak manusiawi.

Selain permasalahan fanatisme dan radikalisme dalam Islam, masyarakat juga terjebak pada persoalan keyakinan fatalistik, di mana semua peran manusia dikembalikan kepada takdir Tuhan, apa yang akan diperbuat wajib sesuai bunyi teks suci dan wajib hukumnya mengikuti. Jadi yang dilakukan manusia di dunia hanya sebatas tangan Tuhan, manusia tidak punyak hak untuk menentukan, hanya Tuhan yang kuasa sepenuhnya atas posisi kehidupan manusia.

Pemikiran keagamaan seperti di atas inilah yang sangat berpotensi mengantarkan seseorang menjadi radikal, fanatik, kolot dan perbuatan negatif lainnya. Karena cara mereka beragama yang fatalistik, apa-apa semua usaha harus dipasrahkan kepada Tuhan, perbuatan harus sesuai teks suci dan semuanya dikembalikan kepada takdir.

Yang secara konsekuensi logis lambat laun akan menegasikan peran manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial, yang sudah diberi tanggung jawab di bumi sebagai khalifah fil ardhi. Maka, ada benarnya juga jika posisi agama islam kadang kala disimpulkan mengalami kemunduran, terutama dalam cara berpikir dan bertindak.

Ada ilustrasi menarik dari seorang filosof Muslim yaitu Muhammad Iqbal yang bertanya, kenapa Islam di akhir abad ini lemah dan mundur? Apakah kemudian kita mengatakan semuanya karena takdir? Bukankah di Barat maju juga sebab takdir? Lantas mengapa tidak kita menjadi pencipta takdir itu? Secara tidak langsung M. Iqbal mengingatkan agar umat Islam segera menyadari eksistensi dirinya dan segala kemampuannya untuk mengubah semuanya.

Sebab manusia menurut M. Iqbal mempunyai keistimewaan yang bernama khudi (ego), di mana potensi ego yang dimiliki manusia ini selalu berdampingan dengan kuasa Tuhan untuk mewujudkan segala impian dan cita-cita kehidupannya yang ideal dan sempurna (M. Dawam Rahardjo:1985).

Menjadi tugas bersama membangun Islam khususnya di negara kita Indonesia, jika tidak agama Islam akan selalu berada dalam degradasi dan kemunduran jika hanya dijadikan space untuk memahami eksistensi tuhan semata. Sedangkan agama memberikan kedudukan tinggi akan posisi peran manusia untuk selalu berpikir, mengkonstruksi ajaran-ajarannya bagi kehidupan sosial secara kontekstual dalam rangka untuk kemajuan dan kemaslahatan.

Bukankah begitu fitrah kita sebagai manusia beragama?

Sareadi
Sareadi
Mahasiswa Teologi dan Filsafat UIN Walisongo Semarang

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru