30.1 C
Jakarta

Ironi Umat Islam yang Terpecah Karena Perkara Nasab

Artikel Trending

EditorialIroni Umat Islam yang Terpecah Karena Perkara Nasab
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari ini kita berada di penghujung bulan kemerdekaan. Namun, umat Muslim di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar di depan mata: perpecahan. Pasalnya, selama sebulan terakhir, umat Islam berkubu-kubu dalam perdebatan alot soal nasab Ba’alawy. Terbaru, debat digelar di Banten, namun Imaduddin—selaku pemantik awal perdebatan—justru tidak hadir. Ironinya, di media sosial, masalah nasab ini kian meruncing.

Perdebatan nasab habaib di Indonesia merupakan topik yang kompleks. Perdebatan mengenai silsilah mereka hingga ke Rasulullah telah melibatkan sejumlah pihak. Debat di Banten kemarin dihadiri umat Islam yang berilmu, antara yang mempertahankan argumentasi ketersambungan nasab Ba’alawy pada Nabi dan yang berargumentasi bahwa nasab mereka putus. Apakah ini sinyal perpecahan umat?

Sebenarnya, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menerima dan menghormati para habaib atau ulama keturunan Yaman, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai sayid atau syarif. Mereka memiliki keistimewaan tersendiri dalam Islam dan kepemimpinan spiritual. Namun masalah nasab ini muncul belakangan, digawangi Imaduddin dan Fuad Plered cs. Apa saja yang menjadi perdebatan dan kontroversi?

Pertama, klaim ketersambungan dan atau validitas nasab. Beberapa kalangan mendukung klaim ini dengan bukti sejarah dan silsilah yang mereka anggap sah, dengan analisis kitab-kitab turats yang lengkap. Sementara kelompok lainnya meragukan atau menolak klaim tersebut, menganggapnya sebagai bentuk keangkuhan atau manipulasi untuk memperoleh pengikut dan pengaruh, mengalahkan Muslim pribumi Indonesia.

Kedua, kepemimpinan dan otoritas. Oleh karena banyak yang mengakui habaib sebagai pemimpin spiritual yang otoritatif dan mesti diikuti, muncul semacam kecemburuan sosial dengan dalih bahwa otoritas keislaman itu semestinya didasarkan pada pengetahuan dan bukan semata-mata atas dasar nasab. Perdebatan inilah yang melahirkan polarisasi umat, dan mencederai kerukunan internal Muslim Indonesia hari ini.

Ketiga, pengaruh politik dan sosial. Hari ini, disadari atau tidak, di kalangan umat Islam Indonesia, terjadi rivalitas di antara kelompok pro dan kontra habaib. Masing-masing bersaing mendapatkan dukungan dan pengaruh, serta memicu konflik dalam lingkup politik lokal. Masalahnya tidak berhenti di situ, karena sesama pendukung pro dan kontra tadi membuat suasana media sosial penuh kebencian dan cemoohan sesama umat. Ironi.

Ketiga poin ini dampaknya luar biasa. Misalnya, yang paling jelas di depan mata dan harus segera dibenahi bersama adalah disintegrasi umat. Perdebatan mengenai nasab habaib telah memecah belah masyarakat Muslim di Indonesia. Perselisihan ini dapat menciptakan ketegangan antara pengikut habaib (muhibbin) dan menghanguskan harmoni sesama. Solidaritas antarkiai dan habaib dipertaruhkan di sini.

BACA JUGA  Menyelamatkan Demokrasi Indonesia dengan Menolak Syariatisasi Sistem Negara

Selain itu, perdebatan ini memengaruhi citra dan pemahaman terhadap Islam di Indonesia. Tidak hanya memalukan, pandangan umat non-Islam terhadap perdebatan nasab ini pasti memperburuk citra agama. Pasalnya, Islam merupakan agama peradaban, dan di Indonesia, ia digadang-gadang sebagai pelopor perdamaian dan moderasi. Bagaimana bisa di dalamnya ternyata ada perpecahan hanya karena urusan nasab?

Hari ini, sebagaimana dapat dilihat bersama secara gambang, negeri ini punya dua kubu umat Islam: kubu Imad cs dan kubu Rabithah Alawiyah. Di media sosial, perdebatan bahkan mencapai taraf lancang, karena menuntut tes DNA kepada Nabi Saw. Di mana akal umat Islam sejenis itu? Apa faedahnya perdebatan ini selain mewariskan perpecahan sesama umat Nabi? Tentu, ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut.

Imad dan Fuad Plered harus menyudahi provokasi-provokasinya. Umat yang pro keduanya juga mesti dewasa dalam berislam, sadar bahwa mereka telah memantik perpecahan umat Islam Indonesia. Bagitu juga pihak Rabithah Alawiyah. Mereka harus juga menertibkan oknum habaib yang tidak sopan, seperti Bahar Smith, yang kerap menyinggung perasaan Muslim pribumi. Umat yang pro padanya juga perlu bersikap bijak.

Di dalam Islam, urusan kemuliaan adalah takwa. Dalam konteks bernegara, ukuran kesalehan adalah nasionalisme. Jadi, perkara nasab sama sekali tidak menjadi tolok ukur kesalehan berbangsa dan bernegara. Lalu apa gunanya debat semacam ini? Adu keilmuan? Seharusnya yang diadu adalah ilmu sains dan teknologi. Adalah ironi bahwa negara tetangga, India misalnya, sudah ke bulan, sementara Indonesia masih ributin nasab.

Bulan Agustus akan segera berlalu. Namun, iklim kemerdekaan harus terus tercipta abadi. Selama hayat masih dikandung badan, kecintaan terhadap Indonesia adalah prioritas bersama. Untuk itu, persatuan dan kesatuan mesti dipupuk bersama karena itu senjata terampuh negara ini. Perkara nasab yang semakin keruh dan memecah belah umat ini harus segara diakhiri, dan semua masyarakat mesti bersatu dan rukun sebagai “Indonesia”.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru