27.8 C
Jakarta

Insiden Bitung, Sentimen Keagamaan, dan Cita-cita Utama NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamInsiden Bitung, Sentimen Keagamaan, dan Cita-cita Utama NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pasca-insiden Bitung beberapa hari lalu, ketegangan antarumat beragama, khususnya Kristen dan Islam menunjukkan eskalasi yang signifikan. Di beberapa daerah, sentimen keagamaan mulai menguat yang ditandai dengan saling olok netizen—melalui sejumlah platform, terutama TikTok. Beruntungnya, sejumlah tokoh agama baru-baru ini segera menyepakati perdamaian. Cita-cita NKRI pun akan segera terpenuhi.

Apa cita-cita utama yang dimaksud? Paling tidak, dalam konteks konflik horizontal, NKRI menuntut dua hal. Pertama, perawatan atas persatuan bangsa. Kedua, meminimalisasi konflik keagamaan. Negara ini berada di atas segalanya dibandingkan negara lain. Seluruh warga negara adalah saudara, sehingga bertikai karena pembelaan atas negara lain merupakan sesuatu yang kurang elok dan tak semestinya terjadi.

Harus dipahami bersama, sumber insiden Bitung adalah sentimen keagamaan. Di negara ini, relasi Islam dan Kristen tidak berlebihan jika diibaratkan bara dalam sekam. Konflik horizontal kerap terjadi antara umat Kristiani dengan umat Muslim. Karena itulah, sentimen keagamaan harus benar-benar dijauhi untuk menghindari konflik. Gesekan seperti kemarin dengan spirit Zionisme adalah sesuatu yang mudah membakar.

Hari ini perdamaian sudah dirajut, melalui komitmen sejumlah tokoh baru-baru ini. Artinya, insiden Bitung tidak akan kembali terjadi—atau paling tidak semoga demikian. Di wilayah-wilayah lain jangan sampai ada lagi korban jiwa karena egoisme keberagamaan, yang secara implisit mengaburkan cita-cita utama NKRI tentang kerukunan dan toleransi. Lantas, apa yang perlu ditempuh ke depannya untuk tujuan itu?

Merawat Persatuan Bangsa

Bentrok di Bitung mengingatkan kita akan pentingnya merawat persatuan bangsa di tengah perbedaan pandangan. Insiden yang memakan korban dan menimbulkan kerentanan konflik lanjutan itu jelas merugikan keutuhan bangsa Indonesia. Membela Palestina boleh, itu hak masing-masing. Pro-Zionis, sekalipun naif, juga tidak melanggar demokrasi. Yang tidak boleh ialah berseteru, dan beberapa langkah berikut dapat dilakukan.

Pertama, dialog perdamaian. Ini merupakan sarana untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Dialog membuka ruang bagi setiap pihak untuk saling mendengarkan, mencari pemahaman bersama, dan mencari solusi tanpa kekerasan. Pemerintah dan pemimpin komunitas wajib memfasilitasi dialog semacam ini—mendengarkan aspirasi dan kepentingan setiap pihak. Langkah ini, kemarin, sudah dilakukan.

Kedua, penguatan pendidikan kebhinekaan. Langkah ini tujuannya mencegah konflik di masyarakat. Pendidikan yang mendorong pemahaman mendalam tentang keragaman budaya, agama, dan pandangan politik dapat membentuk generasi yang lebih toleran dan menghargai perbedaan. Tidak hanya di tataran pendidikan umat Islam, umat Kristen juga mesti diajarkan, sehingga laskar brutal seperti Manguni tak ada lagi.

BACA JUGA  Menangani Propaganda Khilafah dan Tantangan Moderasi di Kampus Umum

Ketiga, membangun kesadaran bersama. Perbedaan pandangan, seperti pro-Palestina maupun pro-Israel, bukan alasan untuk saling bermusuhan. Melalui kampanye dan kegiatan sosial, kesamaan persepsi bahwa keutuhan bangsa lebih penting daripada perbedaan pandangan politik atau ideologi akan merata di kalangan masyarakat. Jika kesadaran tentang persatuan dan kesatuan sudah merata, konflik horizontal tidak akan pernah terjadi.

Selain ketiga langkah tersebut, ada beberapa lainnya yang tidak kalah penting untuk dilakukan. Di antaranya keterlibatan pemuda secara aktif untuk mendiseminasi moderasi beragama, penegakan hukum yang adil, tanggung jawab menyebarkan narasi damai dan rukun di media sosial, dan pengeratan kerja sama antaragama dan antarorganisasi. Semua itu untuk menciptakan lingkungan inklusif dan merawat persatuan bangsa.

Meminimalisir Konflik Keagamaan

Insiden Bitung memang bukan konflik keagamaan, namun tidak dapat juga disebut konflik yang sama sekali tak bergesekan dengan keberagamaan dan fanatisme golongan. Masyarakat Indonesia memang lemah dalam hal ini. Banyak yang masih mudah tersulut emosi jika disinggung soal agama, dan gairah terhadap kekerasan atas nama agama masih berada jauh di atas gairah terhadap menjaga persatuan dan kesatuan.

Namun demikian, cita-cita NKRI tidak mengarah ke situ. Konflik keagamaan mesti diminimalisir sedemikian rupa, salah satunya, dengan pendidikan multikultural. Pendidikan intensif tentang multikulturalisme menjadi kunci memahami dan menghargai perbedaan agama-budaya. Sayang sekali lembaga pendidikan multikultural ini hanya masif di Jawa, tidak dengan luar Jawa. Insiden Bitung adalah efek konkretnya.

Intinya, ke depan, hal memilukan dan memalukan seperti yang terjadi di Bitung kemarin tidak boleh lagi terjadi. Semua harus bersatu sebagai satu bangsa, satu cita-cita negara, yakni menjadi jaya dan berdaulat di atas kerukunan dan Bhineka Tunggal Ika. Jika tidak, sia-sialah para founding father merumuskan NKRI dalam bingkai persatuan dan kesatuan, sementara para penerusnya justru menghabiskannya tanpa sisa.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru