35.1 C
Jakarta

Ingin Hasilkan Karya Berkualitas? Berikut Empat Tipsnya

Artikel Trending

KhazanahLiterasiIngin Hasilkan Karya Berkualitas? Berikut Empat Tipsnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Apa yang dilakukan para penulis dunia sehingga bisa menghasilkan karya berkualitas? Sekilas, pertanyaan ini  tampak menuntut jawaban yang panjang dan bisa saja, rigid serta tak konsisten. Tidak saja lantaran keberadaan kata “berkualitas” yang rawan diperdebatkan, tetapi juga ihwal “siapa saja penulis dunia” yang dimaksud tersebut.

Ihwal “kata berkualitas”, dengan satu dan beberapa hal, bisa saja dipahami secara berbeda oleh sejumlah orang. Mungkin saya menganggap tulisan-tulisan Orham Pamuk, Haruki Murakami, atau Jorge Luis Borges sebagai karya berkualitas tinggi. Sementara orang lain, beranggapan kalau karya mereka biasa saja, dan nama mereka moncer hanya lantaran politik kanonisasi sastra tertentu.

Adapun label penulis dunia itu sendiri, tak kalah bisa menyulut perdebatan panjang. Siapa saja mereka? Dunia bagian mana yang mereka wakili? Maka, mari kita sepakati bahwa penulis dunia yang dimaksudkan di sini adalah setiap penulis yang karyanya telah dikenal di dunia global, yang diterjemahkan ke banyak bahasa, dan menemukan pembaca yang tak tersekat waktu serta tempat.

Karya-karya mereka bisa diterima di oleh jenis pembaca, kita asumsikan, lantaran karya mereka memiliki keunikan, mewakili suara tertentu, mengandung kesegaran, ditulis dengan baik dan khas, sampai mengandung hal yang universal sekaligus nilai khusus yang hanya dimiliki karya itu sendiri.

Hal yang dialami atau dilakukan oleh para penulisnya tentu berbeda-beda. Tapi satu hal yang pasti, mereka menulis dengan semangat dan dedikasi yang luar biasa. Proses tungkus-lumus dengan kertas, pena, atau komputer adalah hal yang niscaya dan dilalui oleh mereka.

Kita tahu, Pamuk mendedikasikan waktu lebih dari enam jam setiap harinya hanya untuk menulis. Juga Murakami yang memiliki jadwal menulis yang super ketat. Namun, apakah hal itu cukup untuk membuat tulisan yang berkualitas? Nyatanya, beberapa penulis merasa bahwa untuk menghasilkan tulisan yang baik atau berkualitas, dedikasi menulis tidaklah cukup.

Mereka menopangnya dengan melakukan hal lain, yang melatih kepekaan mereka, daya tahan mereka, dan keluasan pengetahuan yang menjadi dasar atau bakal dari karya-karya dihasilkan. Dan dari sekian hal yang dilakukan itu, beberapa dari mereka melakukan hal yang serupa. Berikut hal-hal tersebut.

Pertama, menjadi pembaca yang rakus. Sebagaimana kita tahu, salah satu syarat yang wajib dimiliki oleh seorang penulis adalah membaca, mencintai, dan menggandrungi buku. Dalam taraf lebih ekstrem, bagi penulis seperti Borges, buku dinilai lebih dari apa pun. Kita tentu tak asing dengan ungkapannya yang suatu kali berkata, kalau ada surga di muka bumi ini, maka pasti itu berwujud sebuah perpustakaan.

Saking gandrungnya, saat kebutaan menimpa matanya, Borges pun masih membaca buku. Ia meminta seorang bernama Alberto Manguel untuk datang setiap hari ke kediamannya dan membacakan sebuah buku. Maka tak perlu heran, Borges lebih suka menganggap dirinya pembaca buku ketimbang seorang penulis.

Penulis lain, Orham Pamuk, bahkan menganggap buku seperti obat bagi jiwa dan dirinya. Setiap hari, Pamuk meracik bacaan seperti apa saja yang hendak dikonsumsi. Racikan bacaan itu sama pentingnya sebagaimana obat atau suntikan bagi mereka yang menderita sakit sehingga, keberadaannya sedemikian penting.

Dus, anggapan mencintai buku menempati posisi yang tak bisa diremehkan dalam laku kepengarangan seorang penulis. Laku itu bukan lagi sebatas menganggap buku sekadar hiburan belaka. Sebab, dengan kerakusannya menyimak berbagai jenis cerita, seorang penulis dapat mengakrabi beragam jenis alur, penggambaran karakter, konflik yang menawan, sampai gaya bercerita yang melenakan.

Tak berhenti di situ saja, dengan membaca beragam jenis bacaan, penulis juga mendapat banyak asupan informasi, ide, dan pengetahuan yang kelak menjadi bakal dari karyanya.

Apabila seorang penulis mendapati tulisan yang baik, dalam artian karya membuatnya tergugah, ia jadi terpantik menghasilkan tulisan yang bakal memberi efek serupa. Sebab, semakin beragam bacaan yang dikonsumsi, maka penilaian atau standar karya yang baik, bagus, dan berkualitas dalam dirinya pun akan meningkat.

Kedua, menerjemahkan karya penulis lain. Laku ini bisa diterapkan bagi penulis yang sudah mengakrabi literatur berbagai asing. Apabila membaca atau menulis ulasan atas karya tersebut dirasa kurang cukup, maka kiat menerjemahkan bisa dilakukan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam lagi.

BACA JUGA  Menulislah, Ide Itu Begitu Berharga

Kendati menerjemahkan memiliki tingkat kesulitan tersendiri, tetapi kiat menerjemahkan memiliki sejumlah manfaat bagi seorang penulis. Dengan menerjemahkan sebuah karya, pemahaman terkait kosa kata akan meningkat baik terkait bahasa sumber teks ataupun bahasa tujuan terjemahan.

Kiat ini pun membuat ia seolah memegang pena penulis yang karya yang sedang diterjemahkan, atau bahkan membayangkan situasi apa yang melatari mereka menuliskan karya tersebut. Selain itu, lantaran memiliki tingkat kesulitan yang tak biasa, upaya menerjemahkan bisa menjadi laku untuk mengasah kesabaran dan ketekunan dalam ruang tungkus-lumus bersama teks.

Dus, tidak mengherankan, penulis sekaliber Eka Kurniawan atau Haruki Murakami melakukan upaya menerjemahkan karya-karya yang menurut mereka penting, atau terhadap buku-buku yang mereka suka.

Ketiga, mengarsip beragam karya. Apa pentingnya laku ini? Untuk apa repot-repot mengumpulkan berbagai jenis tulisan di surat kabar, majalah, atau buku-buku tertentu? Selayang pandang, laku ini terdengar membosankan dan menuntut kesabaran ekstra.

Tapi, sesungguhnya, laku ini dilakukan oleh sejumlah penulis dunia yang karyanya mengglobal. Mereka memandang teks yang berslireweran setiap harinya tak sebatas sebarisan huruf yang kelak dilekangkan waktu, tetapi lebih sebagai rekaman suatu peristiwa, trend sebuah zaman, dan hal-ihwal kemanusian yang kelak bermanfaat.

Arsip ini penting, sebagaimana umumnya buku yang kita koleksi. Ia penting sebagai penopang argumen dalam tulisan kita, sumber referensi yang kaya, dan bukti perhatian atas hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Arsip yang beragam, bahkan barangkali acak, pun dapat melatih kejelian kita dalam menyaring informasi mana yang bisa berguna, dapat diolah, dan mana yang menjadi bank bahan untuk tulisan di masa depan.

Selain itu, seorang penulis juga perlu melakukan observasi, sebagaimana para penulis besar yang memiliki hobi berjalan sendirian di waktu-waktu tertentu. Kegiatan itu mungkin tampak biasa, sebab mereka melakukannya sekadar untuk menyimak suasana tempat tinggalnya, taman dekat kediamannya, kelenganan jalan di sekitarnya, atau kerumunan orang yang mereka dapati dalam perjalanannya itu.

Kegiatan itu terlihat remeh, tapi sebenarnya hal-hal yang remeh itu membuat seorang penulis terpikirkan ide soal karya yang bakal ditulis, atau memperjelas gambaran atas apa pun yang sedang dikerjakannya. Selain itu, kalau ketiga laku sebelumnya membuat penilaian atas hal tertulis lebih tajam lagi, maka laku observasi hal-hal sekitar ini melatih kepekaan indra kita atas apa-apa yang sesungguhnya terjadi.

Dengan laku tersebut, kita tak melewatkan situasi atau hal sekecil apa pun yang berlalu begitu saja. Bisa saja, saat menyaksikan seorang anak yang menangis saat balon yang dipegangnya terbang, kita justru terbersit soal ide soal anak yang ditelantarkan, ketimpangan sosial, atau sebuah keluarga yang tak harmonis; mengingat anak itu menangis sendirian tanpa orang tua di sekitarnya.

Untuk itu, perkara apakah laku observasi ini memberikan bahan bagi tulisan atau tidak, hal itu tergantung pada tingkat kepekaan kita. Saat kepekaan itu terus-menerus dilatih, kita mudah memetik ide dari sebuah peristiwa sepele yang lewat di depan mata kita.

Laku ini, sekali lagi, membuat peka atas hal-hal di sekitarnya. Dan kepekaan itu dibutuhkan bagi seorang penulis untuk mengkap suatu hal, lalu mengolahnya, dan menyuarakannya dalam tulisannya.

Dengan begitu, tulisan yang dihasilkan mengandung kekayaan amatan yang tak biasa, karyanya bisa dipahami sebagai karya yang membingkai situasi biasa dengan cara atau bahasa yang penuh kekhasan, atau karya unik yang muasalnya dari peristiwa yang biasa.

Dus, perkara menghasilkan karya berkualitas bukanlah kerja yang remeh. Terdapat laku atau kiat tertentu yang bisa dilakukan, empat laku tersebut pun hanya beberapa saja. Namun, setidaknya, keempat hal tersebut menegaskan kalau kerja kepengarangan memerlukan usaha mengakrabi bacaan dengan baik dan upaya melatih kepekaan sekitar secara terus-menerus.

Bisa dibayangkan, kalau saja para penulis dunia itu tak melakukannya, barangkali karya yang dihasilkan hanya sebarisan tulisan kering, tak bernilai, dan menanti waktu melekangkannya begitu saja.

Wahid Kurniawan
Wahid Kurniawan
Pegiat literasi. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru