30 C
Jakarta

Ideologi Teroris dan Ideologi Moderat

Artikel Trending

Milenial IslamIdeologi Teroris dan Ideologi Moderat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ideologi teroris dan sikapnya dalam dasawarsa mutakhir ini semakin memiriskan. Pemenggalan demi pemenggalan atas nama agama mereka lakukan.

Sungguh begitu banyak contoh untuk dibeberkan atau membuktikan. Bahkan akhir-akhir ini, kita diperlihatkan pada fenomena tragis pemenggalan kepala guru di Prancis yang dilakukan oleh seorang murid akibat tersinggungnya pada karikatur Nabi SAW dan penembakan pada umat Yahudi di satu tempat ibadah Yahudi di kota Wina, Austria, serta termutakhir pembantaian keji kepada satu keluarga terosris MIT, pimpinan Ali Kalora, di Dusun Lima Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat 27 November 2020.

Di Indonesia, berbagai aksi pemenggalan dan pengeboman kepada non-Islam dan aksi-aksi radikal lainnya pada kelompok minoritas begitu menggurita (Burhani, 2020). Hal itu adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa agama dijadikan alasan melakukan kekerasan.

Agama seolah-seolah telah dijadikan “surat ijin untuk membunuh” orang yang berbeda keyakinan. Padahal, Islam adalah agama yang mengajarkan praktik moderat (Quraish Shihab, 2020). Kendati, Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai agama rahmatan lil alamin (QS. al-Anbiya [21]:107), yaitu agama yang memberi kedamaian dan menebar rahmat bagi seluruh umat. Al-Qur’an juga menggariskan jaminan kebebasan beragama kepada semua orang: “Tidaklah ada paksaan dalam beragama…” (QS. al-Baqarah [2]:256).

Ideologi dan Akar Ekstremisme

Namun, tidak dapat disangka perjalanan umat Islam kian baik dan buruk sebagaimana peradaban Islam. Sejarah perjalanan Islam setalah Nabi SAW makin terjadi konflik dan kekerasan, baik yang dipicu oleh pertikaian qabilah (suku dan entnisitas), aqidah (keyakinan atau ideologi), maupun oleh persoalan ghanimah (persaingan ekonomi) (Wijaya, 2018). Menurut Mustaqim, dengan mengutip teori Muhammad Abied al-Jabiri dalam bukunya, al-Aqls al-Siyasi al- Arabi, demikianlah karena penafsiran atas agama yang dipolitisasi bisa memicu dan pemacu konflik yang berujung pada radikalisasi dan kekerasan agama (Mustaqim, 2018).

Pada tahap ini, aksi-aksi kekerasan agama tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh ideologi teroris yang keras yang berbasis pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang parsial. Seperti kata Mustaqim, sejauh tafsir terhadap Islam bersifat literal-radikal, maka sejauh itu pula dapat mempengaruhi sikap dan tindakan sosial politik para penganjurnya.

Misalnya, sejumlah ayat-ayat ditafsirkan secara tekstual dan mengikuti kemauannya sendiri. Hal kita bisa lihat dari produk tafsir-tafsir mereka yang terinspirasi dari tafsir Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur’an yang memang terdapat beberapa penafsiran yang potensial untuk dijadikan legitimasi terhadap praktik kekerasan agama. Contohnya ketika menafsirkan “Ina al-Din Indallah al-Islam.., Sesungguhnya agama yag benar di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19). Ayat tersebut oleh penafsir dipahami sebagai legitimasi untuk menyingkirkan agama lain.

Begitu juga saat Sayyid Qutb menafsirkan ayat: “Ya ayyuhal ladzina amanuudkhulu fi al-silmi kaffah…” (QS. al-Baqarah [2]:28). Artinya, Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan. Ayat tersebut ditafsirkan Islam harus diterapkan secara totalitas seperti dalam bersosial, ritual dan kebangsaan. Artinya, semua lingkup lini kehidupan harus bersyariat Islam.

Produk ijtihad para ulama seperti hukum, sistem, Pancasila dan sejenisnya harus ditolak karena dianggap menyimpang dari Islam. Hal demikian dipertgegas saat Sayyid Qutb menafsirkan ayat: “waman lam yahkum bima anzala Allah fa ulaikmum al-kafirun” (QS. al-Maidah [5]: 44). Artinya: Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh allah Swt (yakni Al-Qur’an), maka mereka itu adalah kafir. Karena mereka kafir, maka harus diperangi dan semua hukum produk manusia harus diganti dengan yang sesuai dengan hukum Allah Swt.

Penafsiran seperti itulah yang kemudian melahirkan produk tafsir yang mengarah pada radikalisme agama. Bahkan tafsir-tafsir di atas akhir-akhir ini oleh para ideolog dan aktivis muslim konservatif-teroris dijadikan pijakan untuk menselancarkankan praktik garang agamanya (Wijaya, 2018). Sehingga, tidak heran jika pemahaman agama begitu tekstual dan literal dan karena itu mereka ber-ideologi dan menalar Islam dengan kaku dan keras. Karena menalar agama kaku dan keras, maka terjadilah tindakan-tindakan keras atas nama agama. Kendati seperti kata Gerrtz, pola pikiran (mode of thought) ada hubungan yang signifikan dengan pola perilaku (mode of conduct) (Clifford Gerrtz, 1993). Maka, produk nalar pikiran yang keras melahirkan tindakan yang keras pula.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Sebab itu, untuk remoderasi Islam yaitu untuk membendung ideologi radikalisme agama, diperlukan setidaknya ada dua jalan. Pertama, kontra narasi. Kedua, pembacaan yang kritis (qira’ah al-naqd), holistik dan komprehensif dalam memahami Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks, baik internal teks maupun eksternalnya. Juga harus berpijak pada ragam pendekatan dan analisis semantis, semiotik, hermeneutik, maqashid dalam proses penafsiran.

Ideologi Islam Moderat

Pertanyaannya, bagaimana bisa memproteksi kesalahan tafsir dan ideologi mereka. Penafsiran ayat-ayat seperti Ya ayyuhal ladzina amanuudkhulu fi al-silmi kaffah…” (QS. al-Baqarah [2]:28). Artinya, Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, sesungguhnya dimaksudkan untuk beragama secara total.

Beriman secara total adalah menjalankan praktik keagamaan dengan sungguh-sungguh nan ikhlas kepada Allah sebagai Penciptanya; selanjutnya, keimanan itu harus dilandasi perilaku-perilaku sosial yang imani. Sekaligus menjalankannya dengan nalar, etika, dan sikap-sikap yang humanis. Karena secara lahiriah, manusia adalah makhluk mulia, dan Allah sendiri yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia (al-Isra:70), baik dari sisi jasadiyahnya, nafsiyahnya, maupun dalam posisinya sebagai masyarakat (warga negara). Dengan begitu, manusia patut beribadah secara total kepada-Nya (al-Dhariyat: 56).

Keimanan dalam ruang sosial, karena manusia (mulia) diciptakan dengan penuh keragaman (Hud: 118; Yunus: 99). Maka, hubungan dengan antar manusia, baik secara individu, bermasyarakat dan bernegara, Al-Qur’an menawarkan etika hubungan yang humanis. Karena Al-Qur’an yang dibawa Nabi SAW hadir untuk membawa rahmat bagi seluruh alam (al-Anbiya’: 107). Karena itu juga, ia mendorong untuk saling mengenali dan menghormati dan menjaga persatuan (al-Hujarat: 13 dan al-Haj: 65), mengajak mereka kepada kebaikan, dan melarang perbuatan mungkar (Ali Imran: 104), menganjurkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa (al-Maidah: 2).

Dalam ruang keimanan yang lebih luas (publik), maka kita harus menghidupkan keragaman yang idealis-realistis. Agama dan keimanan sebagai pijakan komunitas publik harus menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas yang akomodatif. Oleh karena itu, kita dilarang untuk saling bermusuhan, bebrbuat jahat, teror dan konflik (Ismail Lutfi Fathani, 2006), apalagi berperang dan saling membunuh (al-An’am: 15) atas nama agama.

Penafsiran Sayyid Qutb yang kedua, “waman lam yahkum bima anzala Allah fa ulaikmum al-kafirun” (QS. al-Maidah [5]: 44). Artinya: Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh allah Swt (yakni Al-Qur’an), maka mereka itu adalah kafir. Karena mereka kafir, maka harus diperangi dan semua hukum produk manusia harus diganti dengan yang sesuai dengan hukum Allah Swt. adalah penafsiran kurang benar dan fatal. Bila ditinjau dari maqashidnya, mendirikan sistem negara seperti dicontohkan Nabi SAW (produk manusia), adalah keniscayaan.

Hemat penulis, apabila sistem itu dapat menyatukan semua umat dan memberikan kemaslahatan daripada kemadharatan, sesungguhnya sistem itu harus dibela dan dijaga dari kehancuran. Membela negara adalah bagian dari hifz al-daulah (menjaga negara) yang merupakan wasilah (sarana) untuk merealisasikan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), yaitu merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan (tahqiq al-mashalih wa dar’ al-mafasid) dalam kehidupan. Bahkan Al-Qur’an menyuruh untuk menciptakan (sistem apapun) asalkan akan aman dan mengamankan (baladan amina) (QS. Ibrahim [14]: 35-37).

Bahkan dalam (QS. Saba’ [34]:15), Al-Qur’an memberi isyarat bahwa tujuan bernegara untuk mewujudkan kemakmuran bangsanya. Maka, karena negara adalah wadah kemaslahatan umat, maka membela negara merupakan jihad yang tinggi. Upaya-upaya kita dalam mempertahankan negara NKRI dari gempuran paham transnasional bahkan ultransional sungguh menjadi sebuah keniscayaan untuk keutuhan bangsa.

Kendati demikian, bukti Islam meniscayakan nalar moderat adalah ketika negara (Madinah) menjadi super power dan waktu itu Nabi punya power, beliau tidak menunjukkan sikap-sikap intoleran dan berlaku diskriminatif terhadap non-muslim, yakni Nasrani dan Yahudi. Tapi, Nabi SAW tetap meneguhkan akan visi dan misi Islam sebagai agama yang humanis, tidak dijadikan alat pendendam, apalagi kesewang-wenangan (al-Buthi, 1990: 207). Maka, Aku, Anda, dan muslim lainnya mengaku Islam, tepatkah kita berideologi keras dan melakukan pembantaian?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru