Ketiga, Haram, pendapat ini dipelopori ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwa bermain catur hukumnya haram. Imam Malik saat ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal sia-sia,” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz 10, h. 493). Seirama dengan Al-Qurthubi, Imam Ibnu Rusyd juga menulis bahwa Imam Malik ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal batil” (Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Al-Bayan Wat Tahsil, juz 18, h. 436).
Sedangkan, Imam Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menyebutkan bajwa bermain catur maka hukumnya seperti bermain dadu dalam keharamannya. Hanya saja, bermain dadu lebih diharamkan dibanding bermain catur. Qadhi Abul Husein menyebutkan: Di antara orang yang berpendapat akan keharamannya adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Salim, dan Urwah” (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 23, h. 178). Syekh Al-Mardawi menerangkan bajwa bermain catur hukumnya haram, menurut pendapat yang shahih dari mazhab Hanbali” (Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Al-Inshaf Fi Ma’rifati Al-Rajihi Minal Khilaf, juz 17, h. 333).
Menyikapi fenomena perbedaan pendapat para ulama berkaitan dengan permainan catur terlebih dengan kondisi masyarakat muslim nusantara dengan pemahaman fiqh Syafi’iyah mayoritas, salah seorang ulama Imam al-Subki dalam fatwanya mendapatnya pertanyaan soal bagaimana hukumnya ketika seorang bermazhab Syafi’i bermain catur dengan orang yang bermazhab Hanafi (mazhabnya mengharamkan permainan catur), apakah ini sama saja dengan menolong orang lain dalam kemaksiatan ketika membuka perdagangan di saat umat Islam sudah bersiap berangkat ke masjid ?
Menjawab pertanyaan ini, Imam Al-Subki, tentu tidak sama dalam menjawabnya. Hal in karena Dalam jual beli disaat shalat Jum’at, perkara ini diharapkan oleh kesemu mazhab. Sementara permainan catur antara orang bermazhab Hanafi dan Syafi’I, hanya satu pihak yang mengharamkan, yaitu Hanafi. Itu pun bagian dari ijtihadnya, sehingga boleh jadi keliru. (Taqiyyu al-Din al-Subki: 5/133).
Syekh Abu Zakaria Al-Anshari dalam karyanya “Asnal Mathalib” menyebutkan kebolehan dalam bermainan catur. Hal ini didasarkan pada kaidah hukum Islam bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah; dan pada unsur maslahat permainan catur yang mengasah otak dalam bersiasat perang. Sedangkan hujjah atas kemakruhan permainan ini didasarkan pada unsur penyia-nyiaan umur pada hal yang tidak bermanfaat; dan pada ucapan sayyidina Ali saat melewati mereka yang sedang bermain catur, ‘Apakah ini patung-patung yang kalian sembah?’” (Syekh Abu Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib]).
Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa permainan catur pada prinsipnya mubah dalam Islam. Tetapi permainan ini dapat menjadi haram karena unsur lain atau dengan catatan, yaitu bila melalaikan para pemainnya dari kewajiban atau menyertainya dengan hal yang diharamkan (taruhan, judi, sambil minum khamr, dan lain sebagainya). Sedangkan main catur sesekali tidak masalah (Ibnu Hajar Al-Haitami: Tuhfatul Muhtaj).
Beranjak dari itu hemat penulis, pada esensinya apapun yang melalainkan dari mengingat Allah Swt. dan beribadah ini bisa dijadikan kaidah untuk mencela apapun yang membuat waktu kita terbuang sia-sia. Bahkan kita yang sibuk dengan internet dan media sosial, berkemungkinan masuk kedalam bab tersebut. Terakhir menutup kajian ini penulis menyandarkan kepada Syekh Ahmad Khatib As-Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj sebagaimana ulama Mazhab Syafi’I pada umumnya memandang permainan catur mengandung kemaslahatan. Permainan catur mengasah pikiran dan logika yang membantu dalam mengatur strategi perang dan perhitungan.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat perihal permainan catur. Jika mengacu pada pandangan mazhab Syafi’i yang juga tidak tunggal (karena sebagian menyatakan makruh dan yang lainnya menyatakan mubah), permainan catur pada dasarnya mubah. Kalau pun haram atau makruh, mesti ada faktor lain yang menyertainya, yaitu pelalaian atas kewajiban sembahyang lima waktu, pelalaian atas aktivitas ekonomi dan faktor lainnya. Marilah kita selalu berusaha untuk meningkatkan ibadah dan menjauhkan diri dan hal yang menjerumuskan kepada kelalain dan dosa.
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, M.Pd. Pengajar di MUDI Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga