26.1 C
Jakarta

Hati-hati! Salah Pilih Guru Bisa Terpapar Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuHati-hati! Salah Pilih Guru Bisa Terpapar Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Islamku, Islammu, Islam Kita, Penulis: Edi AH Iyubenu, Penerbit: Diva Press, Cetakan: I, Desember 2018, Tebal: 196 Halaman, ISBN: 978-602-391-667-2, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Belajar ilmu dalam perspektif Islam merupakan sebuah kewajiban. Hal ini dimaksudkan agar setiap muslim mengetahui secara benar setiap rangkaian ibadah dan muamalah yang dikerjakan. Sebab, jika terdapat seorang muslim yang melaksanakan ibadah atau pun muamalah namun tidak berdasarkan dengan ilmu, maka ibadahnya di sisi Allah Swt tidaklah sempurna.

Dalam kitab Matan Zubad, Syekh Ahmad Ibnu Ruslan as-Syafi’i menegaskan dengan syair: “Wa kullu man bighairi ilmin ya’malu # a’maluhu mardudatun la tukmalu.” Artinya, siapa saja yang mengerjakan ibadah tidak berdasarkan ilmu, maka amal ibadahnya ditolak atau tidak sempurna.

Oleh karenanya, sangat penting bagi kita selaku umat muslim untuk belajar ilmu. Lantas, kepada siapakah harusnya kita belajar ilmu? Seperti apa kriteria guru yang layak kita minta bimbingannya dalam mendalami ilmu agama? Hati-hati soal ini! Memilih guru dalam belajar agama haruslah selektif, sebab jika salah pilih guru, kita akan terjemurus ke jurang radikalisme.

Dalam buku Islamku, Islammu, Islam Kita ini, penulis menyatakan hanya kepada ulamalah kita patut menyandarkan diri untuk berguru, belajar iman, Islam, dan ihsan. Kepada selain ulama, boleh saja mengambil hikmah, pelajaran, tapi tidak perlu dijadikan guru. Karena hanya melalui guru, kita akan mendapatkan ilmu dan amal sekaligus. Guru adalah digugu dan ditiru. Didengarkan dan disimak perkataannya, lalu ditiru amaliah dan tingkah lakunya.

Lalu, siapa ulama itu? Perihal ulama ini, penulis menyitir pendapat Gus Mus yang mengatakan bahwa ulama adalah orang yang memiliki kedalaman ilmu yang mendorongnya memiliki kedalaman amal, lalu keduanya memijarkan takwa pada hidupnya, dan dengan ketakwaan itu memancarkan akhlak karimah alias kebijaksanaan-kebijaksanaan kepada semua orang (hlm. 37).

Dengan demikian, ulama ialah orang yang alim keilmuannya sekaligus salih amaliahnya. Ulama bukanlah sosok yang kabura maqtan, hanya mampu mengatakan, sementara tidak bisa mengamalkan. Ulama dengan keluasan ilmunya mampu menghadirkan kebijaksanaan pada setiap hal yang dihadapi.

Bijaksana tidak berarti tidak tegas dalam hal prinsip. Sebab, jelas sekali ulama merupakan sosok yang bertakwa kepada Allah sekaligus cinta kepadaNya. Hidup, pikiran dan amaliahnya hanya didedikasikan untuk bertakwa kepada Allah. Ulama juga mampu mengedepankan pandangan dengan cara yang menyejukkan, meneduhkan dan mulia. Jadi, pilihlah guru yang begitu karakternya; pandangannya bijaksana, ahli ibadah dan berakhlak mulia.

Edi AH Iyubenu selaku penulis buku ini mengatakan, jika kini kita sedang berguru kepada seseorang yang selebar apa pun surbannya, sefasih apa pun takbirnya, dan selihai apa pun orasinya, tetapi jika ungkapan-ungkapannya mendorong pada kekerasan, kekasaran, kebencian, perselisihan, dan permusuhan, dengan mengatasnamakan Allah dan RasulNya sekalipun, ia bukanlah ulama (hlm. 39).

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Jika rupa-rupanya guru yang selama ini membimbing kita dalam belajar ilmu agama sering mengujar kebencian, suka tebar fitnah, bersikap keras, serta sering berlaku kasar, maka tinggalkan segera, lalu cari guru yang lain. Sebab, tidak pernah ada riwayat Rasulullah mengajarkan sikap keras, kasar, penuh benci, dan fitnah kepada siapa pun, bahkan kepada musuh-musuhnya. Namun, Rasulullah selalu memperlihatkan watak welas asih dan kasih sayang (rauf ar-rahim).

Selain itu, pada buku ini juga dibahas mengenai perbedaan belajar ilmu kepada guru online dan guru offline. Pada intinya, tidaklah sama mengaji dan belajar Islam via internet dengan belajar langsung di hadapan guru yang nyata atau offline. Ketika kita mempelajari sejarah kemuliaan akhlak Rasulullah via gadget, misalnya, kita bisa saja sedang tidak pakai baju, hanya bercelana pendek, mengangkat kaki, atau baru bangun dan belum sempat cuci muka, apalagi berwudu.

Sementara kalau kita belajar langsung di darat secara offline, pasti kita akan memperhatikan kepada guru yang sedang mengajar, duduk dengan baik, tunduk kepada perintahnya, serta bisa lebih jauh menanyakan berbagai persoalan yang belum paham dan meragukan. Selain itu, kita juga bisa menyaksikan dan memperhatikan langsung perihal kesesuaian antara yang dituturkan oleh guru dengan amaliah kesehariannya. Apakah termasuk pengamal dari ajarannya atau hanya sebatas pandai bicara? (hlm. 25).

Jika kita berpegang pada pemahaman bahwa ulama (guru) adalah sosok yang alim secara keilmuan dan salih secara amaliah, maka parameter yang demikian dengan mudah dapat kita jumpai ketika belajar langsung di darat. Sebab bisa jadi, seorang guru online yang bicara tentang larangan mendekati zina, namun matanya biasa jelalatan saat berada di keramaian. Dan bisa jadi, di video, sang guru menuturkan tentang keluhuran akhlak Nabi Saw, namun dalam kesehariannya, dia suka marah-marah kepada anggota keluarganya.

Maka, beruntunglah kita yang berkesempatan untuk bergabung di pengajian-pengajian offline, lalu merasa menemukan guru yang sesuai dengan dambaan selama ini dalam hal keislaman dan keimanan. Memiliki guru secara offline merupakan karunia Allah yang patut kita syukuri. Sebab, dengan berguru di darat, selain dapat ilmu, mengetahui secara langsung amaliah sang guru, kita juga dapat doa berkah darinya.

Akhirnya, sekali lagi, berhati-hatilah mencari guru untuk belajar ilmu agama, lebih-lebih yang gemar mencari guru virtual. Sebab, pada prinsipnya, kita adalah bentukan dari yang guru kita ajarkan.

Maka, sebelum menyimak, memahami dan mengikuti postingan atau video seseorang yang hendak dinobatkan sebagai guru spiritual, lebih baik tanyakan dulu, telusuri, serta dalami rekam jejaknya, bagaimana integritasnya, bagaimana konstribusinya kepada umat selama ini, hingga landasan pemikirannya, dan lain sebagainya, agar Islam yang kita pelajari dan pahami nanti benar-benar adalah Islam yang membawa keselamatan dan kedamaian.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru