30.8 C
Jakarta

Guru dan Amanat Menengahi Pertarungan Ideologi

Artikel Trending

Milenial IslamGuru dan Amanat Menengahi Pertarungan Ideologi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Apa yang membedakan antara hari ini, Rabu, 25 November 2020, dengan Senin, 25 November 2019 lalu? Atau lebih jauh, apa perbedaan 5 November setiap tahun sejak ditetapkan sebagai hari guru nasional pada 1994 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional oleh Presiden Soeharto? Apakah hanya seremonial belaka dan sama sekali tidak menciptakan perubahan yang signifikan?

Berbicara hari guru, mau tidak mau juga berbicara perihal mendidik generasi. Berbicara mengenai generasi, tantangan terkini menjadi inheren di dalamnya. Ketika didapati realitas bahwa tantangan generasi adalah pengukuhan wawasan kebangsaan, maka mestinya, amanat guru adalah memperkokoh ideologi kebangsaan kepada para generasi itu sendiri. Generasi yang bertedensi pecah, misalnya karena terseret arus modernisasi, atau terbawa arus pertarungan ideologi, menjadi tanggung jawab guru.

Tanpa menegasikan peran seluruh elemen bangsa, guru menduduki kursi yang dominan. Ia yang mendidik perihal kebangsaan, ia juga yang mengajari tentang keberagamaan. Salah guru dalam belajar kebangsaan, akan menyebabkan seseorang tidak mencintai negaranya. Salah guru dalam belajar keagamaan, akan membuat ia berpandangan eksklusif, intoleran, bahkan memecah-belah persatuan. Di tangan guru, kecelakaan tersebut akan dapat dihindari.

Sebagaimana maklum, wawasan kebangsaan semakin hari, di kalangan pemuda, kian tergerus. Bangsa ini tidak butuh wacana kebangsaan dan keagamaan yang berpotensi memumpuk disintegrasi. Ideologi A membawa ke arus ini, ideologi B juga ke arus lain, yang semuanya sama sekali jauh dari khitah kebangsaan. Pertarungan ideologi dengan demikian merupakan tantangan berat, yang penyelamatan generasinya berada di tangan guru. Seharusnya, Hari Guru Nasional membicarakan hal itu.

Refleksi Hari Guru Nasional

Pertarungan ideologi merupakan persoalan serius, yang setiap generasi berada di tengah pusarannya. Di media sosial, di mana tenaga didik terpusatkan, seringkali diisi oleh konten yang mengarah terhadap ketidakharmonisan sesama. Kebencian, saling tuduh, saling curiga, saling menghujat, sudah menjadi kebiasaan netizen. Pendidikan karakter sama sekali absen untuk melerai. Kalau bukan guru yang menjadi relawan penyelemat mereka, siapa lagi?

Arus pertarungan ideologi, tentu, sangatlah kuat. Orang tua tidak mampu mengontrol putra-putri mereka dari kecenderungan salah memilih ideologi, sebab seiring dominasi teknologi, interaksi mereka dengan anak-anaknya semakin bersekat. Separatisme misalnya berkerumun kepada anak muda dengan pemikiran brilian dan haus kebebasan, sementara radikalisme berkerumun terhadap pemuda dengan ghirah keagamaan yang memuncak tetapi minim pengetahuan.

Kesadaran reflektif seorang guru menemukan momentumnya. Hari Guru Nasional mesti dijadikan ajang aktualisasi peran, kesadaran akan amanat suci, bahwa nasionalisme dan religiusitas harus berjalan berdampingan, secara damai, dan tidak menjadi ideologi biner. Masalahnya, sementara umat Islam ngotot ingin mendominasi politik, mengalahkan silent majority. Ideologi separatis dan ideologi islamis malah berjalan seiring, menyerbu ideologi Pancasila—ideologi paten bangsa kita.

BACA JUGA  Riak-riak Kaum Radikal-Populis di Tengah Putusan MK

Karenanya, memandang Hari Guru Nasional mestinya tidak berhenti di tataran seremonial, melainkan kepada upaya menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Guru tidak hanya menjejalkan pelajaran, melainkan menjadi wasit dari potensi perpecahan. Guru, sebagimana fungsi idealnya, merupakan satu-satunya harapan, sebab mereka menjadi panutan.

Kalau gurunya saja tidak baik, tidak tepat, bagaimana bisa ia akan menciptakan generasi yang bisa diharap? Alih-alih menengahi pertarungan ideologi, justru ia akan ada di belantara pertarungan itu sendiri.

Pertarungan Ideologi

Bahwa guru tidak lepas dari ideologi tertentu, itu adalah hal yang pasti. Maka yang dimaksud guru di sini bukan hanya yang ada di sekolah atau madrasah-madrasah, melainkan mencakup semua yang ditokohkan. Kiai, ulama, termasuk para habaib, adalah guru yang segala perkataan dan perbuatannya menjadi panutan masyarakat. Mereka semua memiliki amanat menengahi pertarungan ideologi, dan menghindari diri dari kecenderungan sikap eksklusif—provokatif menabrak ideologi yang berbeda.

Kita sudah mengetahui, bahwa instabilitas Negara, salah satunya, bukan disebabkan perbedaan, melainkan kekeliruan dalam menyikapi perbedaan itu sendiri. Karenanya, guru tidak selaiknya bersikap partisan yang justru memantik perseteruan di ranah public. Dari semua ideologi yang ada, selama tidak bertentangan dengan konsensus Negara, adalah sesuatu yang ditolerir. Tugas guru adalah menemukan benang merah agar tercipta wawasan inklusif, dan keragaman ideologi tidak menjadi bumerang.

Tetapi sekali lagi, selama tidak mencederai ideologi Pancasila. Karenanya, dalam konteks kebangsaan dan keberagamaan, amanat menengahi pertarungan ideologi ialah dengan cara berpegang terhadap ideologi Pancasila—karena memosisikan setiap warga Negara dalam posisi yang egaliter. Tidak lagi murid A, murid B, dan sejenisnya. Di bawah bimbingan guru yang amanah, keragamaan ideologi bukan alasan untuk tidak bersatu. Di bawah bimbingan mereka pula, ideologi yang berbahaya akan gagal memengaruhi generasi penerus.

Di Hari Guru Nasional kali ini, rakyat tidak lagi butuh guru yang mengkotak-kotakkan bangsa, apalagi memprovokasi mereka agar bertengkar sesama warga Negara. Peran penting dan berat ini dipegang guru. Baik guru di sekolah, guru di masjid, guru di majelis taklim, maupun guru di dalam keluarga kita sendiri. Sekali lagi perlu ditegaskan, disintegrasi bangsa tidak disebabkan oleh keragaman, melainkan kegugupan rakyat ketika menyikapi kemajemukan.

Oleh karena membangun generasi ideal ini adalah tugas paling luhur seorang guru, jika guru malah bertindak sebaliknya, siapapun dan semulia apapun mereka maka kita kehilangan kewajiban untuk menggugu, apalagi meniru. Amanat menengahi pertarungan ideologi ini pasti berat, tetapi bukan berarti tidak mungkin bagi guru untuk merealisasikannya. Selamat Hari Guru Nasional.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru