32.9 C
Jakarta

Munas MUI ke-X; Saatnya MUI Kembali ke Khittah

Artikel Trending

EditorialMunas MUI ke-X; Saatnya MUI Kembali ke Khittah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah melaksanakan pemilihan Ketua Umum MUI baru periode 2020-2025. Pemilihan dilaksanakan pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-10 di Hotel Sultan, Jakarta, sejak Rabu (25/11) s/d Jum’at (27/11) . Wakil Ketua Umum MUI, KH Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, Munas MUI akan memilih Ketua Umum MUI, pengganti Kiai Ma’ruf Amin yang sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Ia pun memaparkan beberapa kriterianya.

“Memiliki kedalaman ilmu agama (mutafaqqih fi ad-din), dapat menjaga muru’ah atau harga dirinya (mutawarri’), memiliki kemampuan menggerakkan organisasi (muharrik), tertib dalam memimpin organisasi (munadzdzim), aspiratif dan diterima oleh semua kalangan serta bisa bekerja sama dengan semua pihak,” kata Kiai Zainut, sebagaimana dilansir Republika, Senin (23/11) kemarin.

MUI ke depan, menurutnya, akan terus memantapkan peran dan fungsinya dalam melaksanakan tugas mengajak ke jalan kebaikan (ma’ruf) dan mencegah hal-hal yang dilarang oleh agama (munkar).  Munas MUI sendiri memiliki wewenang menilai LPJ pengurus MUI periode 2015-2020, menyusun Garis-garis Besar Program Kerja Nasional 2020-2025, menetapkan perubahan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI, menetapkan fatwa dan rekomendasi, dan memilih pengurus MUI yang baru.

Ketua Panitia Pengarah Munas MUI ke-10, KH Abdullah Jaidi menyampaikan, para peserta Munas agenda lima tahunan ini berasal dari 34 MUI provinsi, komisi dan lembaga MUI Pusat, dan para ormas pendiri. Ada juga perwakilan dari perguruan tinggi dan pesantren. Tim formatur pun dipilih untuk melancarkan suksesi. “Akan diadakan rapat dan pertemuan untuk pemilihan tim formatur ini kemudian tim formatur itu mengadakan sidang dan memilih kepemimpinan MUI,” jelasnya.

Kalau diamati, bukan hanya pada Munas kali ini MUI mempertegas komitmennya untuk menjadi pelayan umat, lebih-lebih sebagai mitra pemerintah. Lima tahun lalu, ungkapan yang sama juga muncul, yaitu ketika tasyakur Milad ke-40 MUI di Jakarta, pada 27 Juli 2015. Din Syamsuddin, yang waktu itu menjabat Ketua Umum MUI, juga menjajikan hal yang sama. “MUI dituntut perannya untuk lebih aktif, dinamis, dan konstruktif menjadi perekat umat Islam,” kata Din, seperti dikutip dari Republika.

Faktanya, lima tahun komitmen tersebut diucap, realitas di lapangan justru berbeda. Din malah menjadi oposisi pemerintah dan bersama tokoh lainnya, ia malah mendirikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). MUI sendiri, dalam segala kebijakannya, terkesan menjadi sarang oposisi, bukan lagi mitra pemerintah.

Karenanya, pada Munas kali ini, cita-cita prioritas ialah mengembalikan MUI ke khittahnya, dan mencegahnya dari kemungkinan menjadi sarang para oposisi. Apakah cita-cita tersebut akan terwujud?

Mencegah MUI Jadi Sarang Oposisi

Menurut Prof Didin Hafidhudin, Guru Besar Ilmu Agama Islam Institut Pertanian Bogor, di laman Republika, ada tujuh hal yang mesti dilakukan MUI dalam mengawal umat dan bangsa Indonesia. Pertama, MUI perlu meneguhkan jati dirinya sebagai organisasi ulama waratsatul anbiya yang memiliki tanggung jawab besar mengawal perjalanan Muslim dan bang sa Indonesia ke depan menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

Kedua, ulama, khususnya pengurus MUI harus memiliki ilmu pengetahuan keagamaan yang mendalam. Kriteria yang disampaikan KH Zainut Tauhid Sa’adi bisa menjadi pegangan. Ketiga, MUI perlu memberikan perhatian khusus pada program kaderisasi ulama, dengan melakukan penjaringan kader-kader muda yang potensial di berbagai lembaga pendidikan. Keempat, MUI perlu meningkatkan peranannya dalam menyelesaikan persoalan dunia internasional

BACA JUGA  Idulfitri: Kembali ke Fitrah Keagamaan dan Kebangsaan

Kelima, MUI perlu merumuskan konsep pendidikan Islam yang ideal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi untuk menentukan konsep pembentukan insan Muslim yang ideal di masa depan. Keenam, meningkatkan peran pengawalan media massa. Media-media yang mengandung ekstremisme, baik ekstrem fundamentalis maupun ekstrem liberal, perlu diingatkan oleh MUI. Ketujuh, meningkatkan kemandirian MUI. Tujuh poin ini adalah khittah, yang MUI tidak laik melenceng darinya.

Sebagai organisasi nasional di bidang keagamaan, dan secara khusus keislaman, bersikap presisi bagi MUI merupakan keharusan. Seperti kata Presiden Jokowi saat membuka Munas MUI tadi malam, pemerintah harus dibantu, bukan dibiarkan sendiri—apalagi dimusuhi.  Menyelamatkan MUI jadi sarang para radikalis adalah tugas seluruh rakyat. Dalam menentukan ketua umum, misalnya, memilih yang mutafaqqih fi al-din  dan muharrik itu wajib, tetapi tidak berarti bergerak untuk mengoposisikan diri.

Infiltrasi oposisi pemerintah masuk ke MUI, boleh jadi, melalui dua faktor: longgarnya syarat kepengurusan dan atau karena bagian pimpinan berafiliasi kepada organisasi lain yang oposisi, sehingga ia memiliki kewenangan untuk memperluas jaringannya di MUI. Infiltrasi ini menemukan mewujud, umpamanya, melalui kebijakan yang partisa, fatwa yang tidak presisi, dan terus-menerus mengkritik pemerintah tanpa sama sekali mengapresiasi. Dan, tentu, bisa dilihat juga melalui pilihan politiknya.

Majelis Ulama Rakyat

Ada yang menarik saat Presiden Jokowi membuka acara Munas MUI, Rabu (25/11) malam. Mari perhatikan statemen berikut:

“Corak keislaman di Indonesia identik dengan pendekatan kultural, yang persuasive dan damai. Tidak menebar kebencian. Jauh dari karakter ekstrem dan merasa benar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa semangat dakwah keislaman kita adalah merangkul, bukan memukul. Karena hakikat berdakwah adalah mengajak umat ke dalam kebaikan, sesuai akhlak mulia Rasulullah Saw. Elemen MUI didukung oleh semua elemen bangsa yang menyadari untuk hidup berdampingan dan bekerja sama demi kebaikan dan kemajuan bangsa. Pemerintah tidak dibiarkan sendirian, namun ditemani, bahkan dibantu, oleh berbagai ormas Islam, bersama para ulama, para habaib, dan para cendekiawan Muslim. Inilah modal kita sebagai bangsa yang belum tentu dimiliki oleh negara-negara lain.”

Statemen tersebut merupakan kritikan sekaligus koreksi, dari Presiden, terhadap kenyataan di MUI selama ini. Melihat bahwa NU dan Muhammadiyah steril dari potensi Islam fundamental, menjadi mengherankan ketika ternyata MUI justru terjerembab di dalam fundamentalisme itu sendiri. Melihat bahwa NU dan Muhammadiyah menjadi mitra pemerintah, sulit dicerna akal bahwa MUI sendiri ternyata malah menjadi oposisi.

MUI diharapkan dapat menjadi majelis ulama rakyat, bukan eksklusif untuk satu kalangan saja. Kembali ke khittah yang dimaksud tidak identik dengan “menjadi corong penguasa”, melainkan bersatu, saling bahu-membahu, untuk memberantas tantangan kebangsaan, bukan malah terjerumus ke dalam tantangan itu sendiri. MUI tidak diminta untuk menjadi corong pemerintahan Jokowi, namun dilarang untuk menjadi kacung para oposisi. Ia harus mengayomi, bukan menebarkan kontroversi.

Melalui Munas ke-10 ini, harapan agar MUI kembali ke khittah adalah harapan seluruh rakyat. Nakhoda baru nanti diharapkan benar-benar mutafaqqih fi ad-din, mutawarri’, muharrik dan munadzdzim, seperti kata KH Zainut Tauhid. Berharap juga komitmen mengayomi umat benar-benar dipegang, tidak menjadi bualan belaka seperti yang Din Syamsuddin sampaikan lima tahun silam. Dan tentu saja, yang paling penting, semoga kepengurusannya benar-benar berasal dari ulama, bukan politikus oposisi yang menyamar. MUI, bagaimanapun, wajib kembali ke khittah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru