26.6 C
Jakarta

Genderang Perang Jenderal Dudung Melawan Terorisme

Artikel Trending

EditorialIndonesiaGenderang Perang Jenderal Dudung Melawan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdurachman ingin melibatkan anggota TNI dalam memberantas gerakan radikalisme. Mantan Pangdam Jaya tersebut akan meminta para prajurit TNI AD hingga tingkat yang paling bawah atau Babinsa untuk peka terhadap perkembangan situasi.

“Saya akan perintahkan seluruh prajurit peka terhadap perkembangan situasi menyangkut ekstrem kiri dan kanan. Saya bilang, kalau ada informasi-informasi, saya akan berlakukan seperti zaman Pak Soeharto dulu. Para Babinsa itu harus tahu, jarum jatuh pun dia harus tahu. Jadi, kalau ada organisasi yang coba mengganggu persatuan dan kesatuan, jangan banyak diskusi, jangan terlalu banyak berpikir tetapi lakukan,” kata Jenderal Dudung, dengan bergelora, dalam sebuah wawancara bersama Kompas.id, Senin (22/11) kemarin.

Namun upaya melibatkan TNI menangani radikalisme mendapat kritik dari banyak pihak. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya, mengkritik pernyataan Jenderal Dudung tersebut.

Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS, Rivanlee Anandar, mengingatkan agar Jenderal Dudung bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi bangsa dari segala ancaman.

“Pada hakikatnya, kewenangan untuk mengatasi radikalisme merupakan tupoksi dari kepolisian dan BNPT sebagaimana diamanatkan UU Terorisme. TNI seharusnya fokus kepada tupoksinya sendiri,” ujar Rivanlee, Rabu (23/11).

Menurut Rivanlee, wacana pelibatan TNI dalam ranah sipil jelas tidak sesuai dengan undang-undang dan amanat reformasi. Selain itu, pengerahan kekuatan TNI sebagai angkatan bersenjata untuk mengurusi ranah sipil juga berpotensi mencederai demokrasi dan memperburuk kondisi hak asasi manusia.

“Dengan adanya ketimpangan relasi yang tinggi antara prajurit TNI dan masyarakat sipil, gesekan dan potensi pelanggaran HAM akan semakin besar terjadi. Ketimbang melakukan hal-hal di luar tupoksi, KSAD seharusnya dapat fokus untuk membenahi pekerjaan rumah institusi TNI yang tak kunjung usai, seperti kultur kekerasan yang terus terjadi, keterlibatan TNI yang masif di ranah sipil, dan mandeknya reformasi peradilan militer,” imbuh Rivanlee.

KontraS menilai ucapan Jenderal Dudung berbahaya, karena dapat menjadikan prajurit di lapangan punya legitimasi melakukan stigma terhadap berbagai kelompok yang dianggap radikal. Belum lagi, menurut KontraS, definisi dan standar radikal tidak jelas ukurannya selama ini dan hanya menggunakan tafsir tunggal negara.

Selain KontraS, protes pada genderang perang Jenderal Dudung melawan radikalisme juga datang dari sebagian umat Islam. Kritik sebagian umat Islam pada Dudung disebabkan pernyataannya yang lain, bahwa TNI harus merangkul para separatis KKB di Papua. Mereka, dalam pandangan Dudung, harus dirangkul bukan dimusnahkan. Mereka yang tak paham NKRI harus dihadapi secara persuasif dan tidak bersifat ofensif.

Umat Islam ada yang merasa tindakan Jenderal Dudung tidak adil. Genderang perangnya hanya nyaring untuk terorisme yang dilakukan oknum umat Islam, tetapi sunyi dan lembek ketika berhadapan dengan terorisme para separatis KKB. Padahal, kata mereka yang memprotes, umat Islam tidak pernah membunuh TNI sebagaimana yang dilakukan para separatis KKB. Sebaliknya, TNI sering terlibat pelanggaran sipil Muslim.

Tetapi kenapa, menurut umat Islam yang tidak terima, hanya Islam yang selalu dipojokkan?

Kritik-kritik ini lahir atas dasar perasaan ketidakadilan. Karenanya, tanggapan terhadapnya juga tidak boleh sembarangan. TNI harus mengkaji ulang rencana keterlibatannya menanggulangi terorisme di ranah sipil. Tupoksi TNI dan Polri harus menjadi pertimbangan utama. Bagaimana pun, BNPT sudah berperan terdepan dalam menanggulangi terorisme yang dilakukan fundamentalis Islam.

Tabuhan genderang perang Jenderal Dudung, meski demikian, tidak perlu dihujat. Dalam memberantas radikalisme-terorisme, seluruh pihak memang harus saling berpangku tangan. Masyarakat, TNI, dan Polri adalah kesatuan yang utuh agar teroris tidak bisa bergerak.

Namun demikian, KKB di Papua juga tidak bisa dipandang remeh. Mereka sama bahayanya, bahkan mungkin lebih berbahaya, daripada fundamentalis Muslim. Kontak senjata antara Satgas TNI-Polri dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua terjadi, Kamis (18/11) lalu, yang berlangsung sekitar tiga jam, adalah bukti bahwa KKB bukan separatis bodoh yang memberontak karena tidak paham NKRI.

Para separatis KKB punya pasokan senjata yang besar. Mereka berbahaya dan tidak bisa dirangkul. Cara militeristik adalah cara yang sudah sangat tepat.

Ada dua cara yang bisa ditempuh TNI untuk menengahi polemik ini. Kunci utamanya adalah tabuhan genderang perang yang merata. Pertama, jika TNI mau menggunakan cara persuasif, maka fundamentalis Muslim dan separatis KKB harus diperlakukan sama. Jika tidak, maka masyarakat akan terus memprotes sebagai ketidakadilan menanggulangi terorisme.

Baik teroris Muslim atau teroris Papua harus sama-sama dibasmi. Genderang perang Jenderal Dudung harus nyaring pada keduanya. Para radikalis dan para separatis tidak boleh diberi ruang sedikit pun. Atau, NKRI akan menjadi taruhannya. Jenderal Dudung harus memikirkan protes masyarakat ini. Ini PR untuknya, dan untuk TNI secara umum.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru