34 C
Jakarta

Menteri Agama dan Bahasa Arab; Antara Tuntutan dan Kebencian

Artikel Trending

Milenial IslamMenteri Agama dan Bahasa Arab; Antara Tuntutan dan Kebencian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas viral lagi. Setelah beberapa waktu lalu viral karena netizen menganggapnya sesumbar mengatakan Kemenag hadiah untuk NU, kali ini Menag viral karena netizen menganggapnya tidak bisa bicara bahasa Arab. Di media sosial, ramai komentar antara yang menghujat dengan yang membelanya. Sebenarnya, seberapa penting bahasa Arab bagi seorang Menag? Mengapa masalah itu saja bisa viral?

Potongan video yang viral itu berlatar di Arab Saudi, ketika Menag Yaqut bertemu dengan Gubernur Makkah dalam rangka membahas kesiapan pemerintah Indonesia untuk kembali memberangkatkan jemaah umrah seiring sudah terkendalinya penanganan Covid-19. Penerjemah Menag waktu itu ialah Habib Ali bin Hasan Al-Bahar, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) sekaligus dosen tetap Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Saya hari ini bertemu Gubernur Makkah, Khalid bin Faisal. Saya menyampaikan informasi bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia secara umum sudah terkendali,” ujar Menag Yaqut melalui keterangan tertulis di sosial medianya.

Kepada Gubernur Makkah, Khalid bin Faisal Al Saud, Menag Yaqut mengatakan kementeriannya terus melakukan edukasi kepada calon jemaah haji dan umrah untuk disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan. “Pemerintah Indonesia juga telah melakukan vaksinasi untuk calon jemaah haji dan umrah,” imbuhnya, seperti dilansir dari VOI.

Menag juga mengatakan, rangka mengupayakan kesehatan bagi calon jemaah umrah, ia membuat kebijakan umrah satu pintu. Kebijakan lainnya yaitu terkait dengan PCR bagi calon jemaah umrah, yang akan difokuskan pada fasilitas kesehatan di Indonesia yang direkomendasikan oleh pemerintah Arab Saudi. Jelas pertemuan bilateral tersebut merupakan kabar baik bagi jemaah haji. Namun, sayang, yang menyeruak dan viral justru bukan itu.

Tokoh Papua Christ Wamea, melalui akun Twitter-nya, mengatakan bahwa Menag Yaqut memalukan. Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) Mohamad Guntur Romli kemudian membalas Wamea begini,

Ini yg hrus didampingi oleh penerjemah, bhs Arab kitab2 klasik itu beda dgn bhs Arab percakapan saat ini. Ini yg komen di bawah gak ngerti apa2 soal bhs Arab. ini terkait perkembangan bhs Arab itu sendiri, antara bhs Arab klasik dgn bhs percakapan. Kunjungan Menag Gus @YaqutCQoumas itu unt memastikan pelayanan negara thdp ibadah & jemaah haji & umroh, makanya ketemu dgn Menteri Haji, penyebaran paham moderat & Toleransi, ktmu dgn Menteri Urusan Islam, ketemu dgn Gub Makkah, lah Kadrun cuma sibuk soal penerjemah.

Jadi begitu kronologinya. Masalahnya sepele, tapi tanggapannya kompleks. Guntur sampai membawa nama Kadrun, ungkapan stigmatis yang semakin menandakan bahwa polemik ini bernuansa kebencian belaka. Polarisasi politik 2019 lalu ternyata belum reda: antara Cebong, Kampret, dan Kadrun. Maka, ini perlu dicatat, yang viral bukan soal bahasa Arab belaka, melainkan lebih kompleks dari itu: antara Menag Yaqut dan kebencian.

Yaqut dan Kebencian

Tulisan ini bertolak dari kenyataan bahwa, viralnya Menag ini bukan karena masalah bahasa Arab belaka. Ini perlu ditegaskan bahwa keviralan tersebut tidak terjadi di ruang hampa. Ada tiga elemen yang berperang penting dalam polemik Menag dan bahasa Arab ini. Pertama, sosok Yaqut sebagai menteri kontroversial. Sejak awal diangkat sebagai Menteri Agama, Yaqut sudah menuai pro-kontra netizen. Netizen yang tidak suka beralasan: Yaqut arogan.

Ini diperparah melalui kebijakan-kebijakan Menag Yaqut yang tegas, yang kemudian malah semakin memperkeruh anggapan negatif tadi. Sejak itu, apa pun yang berhubungan dengan Menag Yaqut akan mengalami dua kemungkinan. Jika positif, prestasi misalnya, maka netizen tidak akan mengapresiasi. Tetapi jika negatif, kontroversi misalnya, maka netizen akan menggorengnya. Menag Yaqut menjadi menteri yang dikerumuni kebencian. Ini adalah elemen utama setiap polemik Yaqut.

BACA JUGA  New-Khilafah dan Pemerkosaan Demokrasi di Indonesia

Kedua, netizen yang suka nyinyir. Ini adalah elemen penting lain, bahwa netizen Indonesia berhasil memecah rekor sebagai warganet paling julid dan ahli nyinyir. Tentu saja kenyinyiran ini tidak hanya satu pihak, melainkan kedua pihak dari sesuatu yang diseterukan. Misalnya, segala yang berkenaan dengan Presiden Jokowi akan ditenggapi pro-kontra. Yang kontra berkomentar nyinyir penuh hujatan dan kebencian, sementara yang pro juga menghujat balik. Mereka sama saja. Setunggal.

Ketiga, arus Arabisasi. ini terjadi, paling sedikitnya, lima tahun terakhir. Segala yang berbau Arab dianggap ras unggul. Seorang yang dianggap habaib, misalnya, betapa pun dia memiliki sikap buruk dan suka mencaci-maki, dan sama sekali tidak mencerminkan akhlak Rasulullah, masih akan dipuja-puji oleh sebagian kalangan. Demikian pula bahasa Arab, yang oleh sebagian kalangan dianggap lebih mulia daripada bahasa lokal.

Elemen ketiga ini butuh diskusi yang panjang dan tidak sesimplistis itu, sebenarnya. Namun di sini tidak mungkin untuk menguraikannya secara menyeluruh. Inti yang harus disampaikan di sini ialah bahwa di Indonesia, hari ini, disadari atau tidak, ada upaya sakralisasi segala sesuatu yang berkenaan dengan Arab: manusia atau bahasanya. Terlepas dari fakta bahwa bahasa Arab memang bahasa mulia karena menjadi bahasa Al-Qur’an, perdebatannya sudah lebih jauh dari itu.

Tuntutan vs Kebencian

Kebencian sebagian masyarakat kepada diri Menag Yaqut menjadi elemen pertama mengapa video kemarin bisa viral. Seandainya bukan Yaqut, misalnya Menag Lukman Hakim Saifudin, maka akan beda hasilnya: tidak akan viral. Lagi pula, bahasa Arab adalah bahasa biasa, kecuali bahwa hari ini ada kecenderungan membandingkan. Islam Nusantara misalnya kerap kali dibandingkan dengan Islam Arab: ditabrakkan, diperdebatkan, dan masing-masing saling direndahkan.

Tetapi, memangnya seberapa besar Menteri Agama dituntut bisa bahasa Arab?

Jujur saja, tidak urgen. Bahasa adalah perantara belaka, tetapi yang terpenting adalah tercapainya kepentingan-kepentingan birokratis. Artinya, Menag tidak dituntut untuk bisa bahasa Arab. Yang menjadi tuntutan adalah kecakapan diplomasi demi kepentingan nasional. Adalah percuma seseorang bisa bahasa Arab, fasih bahkan, tetapi dia tidak punya kapasitas untuk bernegosiasi. Bahasa hanyalah penunjang, dan yang esensial adalah integritas.

Ketidakharusan Menteri Agama menguasai bahasa Arab adalah sama halnya dengan ketidakharusannya menguasai bahasa Inggris dan bahasa asing yang lain. Posisi penerjemah hanya mengantarkan komunikasi, bukan menghasilkan keputusan. Keputusan tetap ada di tangan birokrat, dalam konteks polemik ini ialah Menag Yaqut. Kecuali karena kebencian yang diuraikan sebelumnya, tuntutan ini tidak ada tetapi dibuat-buat.

Namun yang harus dibenahi dalam polemik ini adalah keahlian nyinyir kedua pihak. Pihak pro-Menag juga banyak yang ahli menghujat, sama buruknya dengan pihak yang kontra-Menag. Ini yang membuat hal-hal sepele ini jadi besar: kedua belah pihak sama-sama tidak dewasa. Guntur Romli, umpamanya, sudah baik ketika menjelaskan bahwa bahasa Arab begini dan begitu. Tetapi Guntur juga tidak bijak ketika berujar Kadrun. Bukan meredam, itu justru menyulut polemik.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru