27.4 C
Jakarta

Filsafat Teleologis: Counter Filosofis terhadap Teologi Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifFilsafat Teleologis: Counter Filosofis terhadap Teologi Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Mengapa Muslim mengalami kemunduran secara multidimensional dibanding saudaranya di Barat yang notabene non-Muslim? Jawaban atas pertanyaan ini dielaborasi oleh Ahmet T. Kuru dalam Islam, Authoritarianism and Underdevelopmet dengan tesis aliansi ulama-umara.

Aliansi dua pihak penentu peradaban ini menciptakan situasi feodal-paternal yang memangkas kreativitas Muslim di berbagai lini, terutama pemikiran keislaman. Secara ideologis, al-Ghazali paling bertanggung jawab atas kemunduran ini, meskipun T. Kuru berusaha merehabilitasi nama baik al-Ghazali dengan menyebut Dinasti Seljuk sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, karena menempatkan pemikiran al-Ghazali secara ideologis.

Sementara itu, di belahan Barat, intelektual Muslim justru menjadi embrio lahirnya Renaissance, selaku cikal-bakal modernitas. Gerakan intelektual di Barat berhutang besar pada khazanah keilmuan Muslim yang sempat berpusat di Andalusia (Spanyol).

Salah satu intelektual Muslim Andalusia yang menjadi mobilisator pemikiran Barat ialah Ibn Rusyd. Bagaimana gagasan tokoh yang satu ini yang sekiranya dapat kita reaktualisasi guna menerobos stagnasi intelektual Islam di Timur yang masih mengangkang sampai sekarang? Tulisan ini akan mencoba mengangkatnya.

Ibnu Rusyd bernama asli Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, lahir di Andalusia (kini bernama Spanyol) pada 14 April 1126 M yang bertepatan pada 520 H. Ia lahir dari keluarga ilmuwan. Ayah dan kakeknya pernah menjabat sebagai hakim negara. Ibnu Rusyd di Barat terkenal dengan nama Averroes.

Filsuf Muslim ini telah melahirkan 78 karya. Sayangnya, sebagian karyanya hilang, karena semasa hidupnya, banyak karyanya dibakar oleh penguasa saat itu. Pembakaran ini dipicu oleh fitnah yang merebak kala itu menyangkut Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd wafat pada 10 Desember 1190 M di Marakesh, Maroko.

Ia pernah terlibat polemik filosofis dengan al-Ghazali. Al-Ghazali menulis sanggahan terhadap filsafat melalui karya yang bertajuk Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Ibnu Rusyd melontarkan sanggahan balik melalui karya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dalam Tahafut). Pengaruh Ibnu Rusyd tidak begitu kentara di bumi belahan Timur, karena wacana sufistik al-Ghazali telah mencengkeram kuat di kawasan ini.

Tidak jauh beda dengan para filsuf sebelumnya, khususnya filsuf Muslim peripatetik, semisal al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, pemikiran Ibnu Rusyd di bidang filsafat menobatkan Tuhan sebagai tujuan utama. Hanya saja, tiga filsuf pendahulunya menjadikan Tuhan sebagai pijakan pertama sekaligus sebagai tujuan purna.

Adapun Ibnu Rusyd menjadikan alam sebagai pijakan perdana, sedangkan Tuhan sebagai tujuan pamungkas. Lantaran ini, filsafat Ibnu Rusyd menurut Aksin Wijaya layak disebut teleologis. Filsafat teleologis bersifat menanjak, yakni merenungi dan meneliti aneka ciptaan sebagai jalan menuju Tuhan.

Merenungi ciptaan tidak sesederhana pemahaman awam, yaitu cukup mengakui kekuasaan Tuhan tanpa meneliti bagaimana kekuasaan tersebut mengejawantah dalam peristiwa. Pemahaman awam mudah bersikap fatalis alias pasrah dan memasrahkan kejadian kepada Tuhan.

Bilamana mendapati batu terbang, misalnya, orang awam cenderung meresponsnya dengan subhanallah atau dengan pernyataan, “Kalau Allah sudah berkehendak, apa pun bisa terjadi”.

Filsafat teleologis bukan seperti demikian. Filsafat ini mengincar dua agenda sekaligus. Pertama, meneliti alam secara tekun, masif dan dinamis. Kedua, menjadikan hasil penelitian sebagai sarana memperbaiki kehidupan. Perbaikan ini tidak hanya untuk memudahkan masyarakat, tetapi lebih dari itu, yakni sebagai pengabdian kepada Tuhan.

BACA JUGA  Matikan Islam Radikal, Hidupkan Islam Moderat

Filsafat teleologis meniscayakan perhatian lebih kepada pengembangan sains dan teknologi. Alam diciptakan bukan hanya untuk menumbuhkan kekaguman fatalis pada Tuhan, namun diteliti, dimanfaatkan, didayagunakan guna membenahi kehidupan dan meningkatkan iman pada Tuhan. Pada masa kini, perhatian Muslim sedunia pada sains dan teknologi sangat memprihatinkan.

Agus Purwanto melansir bahwa alokasi dana negara-negara yang didominasi Muslim untuk pengembangan sains dan teknologi hanya 0,45 persen dari GNP. Sumbangsih karya ilmiah mereka hanya 1,17 persen. Bandingkan dengan negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang meluangkan 2,30 persen dari GNP untuk keperluan yang sama. Sementara itu, satu negara maju, semisal Jepang, menyumbangkan 7,1 persen pada penerbitan karya ilmiah.

Di pihak lain, Indonesia yang 88 persen warganya adalah Muslim, hanya mengalokasikan dana untuk penelitian dan pengembangan sebesar 0,18 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) dalam rentang waktu 1986-2002. Adapun ranking korupsinya menurut Amien Rais menempati posisi ketiga di dunia. Pun juga dengan ranking kemalasan, tidak disiplin, rendahnya etos kerja, efisiensi waktu, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia.

Lebih lanjut, filsafat teleologis Ibnu Rusyd secara tidak langsung bisa dikembangkan sebagai gugatan terhadap kapitalisme yang menyingkirkan sakralitas alam demi keinginan atau mungkin kerakusan manusia. Menyangkut kerakusan, Yoval Noah Harari melaporkan bahwa obesitas pada 2010 telah menewaskan tiga juta manusia. Sementara itu, kelaparan dan gizi buruk menewaskan satu juta manusia.

Tentu, laporan ini bukan klaim bahwa obesitas, disebabkan kerakusan. Akan tetapi, kalau bukan karena makan yang tidak teratur (di mana hal ini mendekati kerakusan), lalu obesitas kira-kira lebih cocok ditengarai oleh apa? Pada akhiranya, tidak lain dan tidak bukan kecuali rakusnya manusia akan kenikmatan hingga mengabaikan kesehatan.

Secara sederhana, bisa disimpulkan bahwa bencana terbesar umat manusia masa kini bukan lagi kekurangan, melainkan surplus kenikmatan hingga abai pada yang lebih urgen, seperti keseimbangan, kesehatan dan lain sebagainya.

Lain lagi dengan pemanasan global yang kian meningkat. Tiga puluh persen pemanasan global dipacu oleh industri-industri yang ironisnya, menolak usulan dunia untuk mengurangi proyek industrinya dalam rangka mengurangi pemanasan bumi ini. Industri mengincar ekonomi. Demi pertumbuhan ekonomi dan bebeberapa lini lain yang kena imbasnya, maka ekologi (lingkungan) lantas menjadi korban. Tak heran, Amin Abdullah menyebut betapa musuh terbesar ekologi adalah ekonomi.

Filsafat teleologis adalah aspirasi dan inspirasi klasik untuk kecerahan masa depan manusia. Masa depan yang cerah adalah perhatian penuh pada sains dan teknologi tanpa harus merusaknya. Filsafat teleologis mendorong kita untuk mengimani Tuhan tanpa harus terperangkap dalam fatalisme kepada-Nya, seperti terorisme yang melakukan penghancuran semesta dengan dalih perjuangan di jalan-Nya. Wallahu A’lam.

Aldi Hidayat
Aldi Hidayat
Lurah Komunitas Kutub Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru