29.2 C
Jakarta

Filsafat Dapat Mengganggu Keimanan, Benarkah?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanFilsafat Dapat Mengganggu Keimanan, Benarkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Saya ingin bercerita tentang teman kuliah yang khawatir keimanannya ”remuk” sebab belajar filsafat. Kekhawatirannya sudah mencapai titik nadir, seakan sangat susah diubah. Saking khawatirnya, dia meragukan perguruan tinggi menaruh filsafat sebagai bagian dari matakuliah. Dia pikir, tidak ada manfaat sedikit pun dari matakuliah semacam itu.

Awal mula kekhawatiran teman saya kelihatan reaksinya ketika mahasiswa diskusi berargumen, ”Jangan bawa-bawa iman dalam filsafat”. Sebab, iman memiliki medium yang berlainan dengan filsafat. Iman muaranya di hati, sementara filsafat muaranya di akal. Kedua unsur ini jelas berbeda kerjanya. Lalu, sejauh mana filsafat menjangkau keimanan seseorang? Bukankah secara ontologis filsafat mengkaji persoalan ketuhanan (theos)?

Al-Ghazali mungkin satu-satunya tokoh yang dapat dijadikan contoh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Al-Ghazali, sebelum menggapai kebenaran sejati, menjelajahi beberapa disiplin ilmu dan satu di antaranya adalah filsafat. Tidak heran ketika dia sudah menemukan kebenaran yang dicarinya di ranah sufistik mengkritik secara filosofis beberapa filsuf yang sesat pikir. Kritik Al-Ghazali ini tertuang dalam bukunya yang cukup masyhur, Tahafuzh al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf).

Gagasan Al-Ghazali tersebut dinilai membunuh filsafat berkembang di persada dunia. Banyak orang akibatnya takut menggunakan daya akalnya berpikir kritis, radikal, dan sistematis. Dan, akibat ini benar-benar terbukti. Akhir-akhir ini banyak orang membatasi daya akalnya sehingga cenderung fatalis dan bersikap pasrah. Sedikit-sedikit langsung berpangku kepada Tuhan. Meski tiada usaha yang dilakukan.

BACA JUGA  Politik Dinasti Jokowi, Apakah Dibenarkan oleh Agama?

Akibat yang paling fatal lahirlah kelompok fundamentalis yang tertutup dalam melihat perbedaan. Apapun yang berbeda dengannya dianggap sesat. Kelompok semacam ini tidak siap bersinggungan dengan perbedaan. Mereka berkeyakinan kebenaran itu tunggal. Sesat-menyesatkan tak dapat dibendung. Budaya berpikir kritis mulai hilang. Sudah tidak dapat terlihat kembali bagaimana filsuf pertama Thales berpikir sampai menemukan air sebagai asal-muasal sesuatu.

Serangan Al-Ghazali tadi sampai ke telinga filsuf muslim Ibnu Rusyd. Ditulislah kritik balik oleh Ibnu Rusyd dengan buku berjudul Tahafuzh at-Tahafuzh (Kerancuan di atas Kerancuan). Meski karya ini cukup bagus memberikan komentar atas karya Al-Ghazali, berpikir fatalis sudah tersebar di mana-mana. Susah dibendung. Mungkin gagasan Ibnu Rusyd cukup berpengaruh di ranah akademik, bukan di ranah publik. Justru gagasan Al-Ghazali yang diterima oleh masyarakat umum.

Maka, teman saya tidak perlu khawatir sebab belajar filsafat. Karena, filsafat sesuai dengan maknanya ”cinta kebijaksanaan” akan membimbing siapapun menjadi pribadi yang bijaksana, termasuk dalam me-manage imannya. Iman yang dibentuk dengan sikap yang bijaksana akan memiliki imunitas yang kuat. Tidak gampang roboh sebab diterpa badai. Tidak gampang puas sebab menerima pujian.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru